Rabu, 28 Desember 2016

Melawan Emosi dengan Diam

Melawan Diam

Saya teringat seorang teman di sebuah warung kopi di suatu malam. Ia bercerita dengan rasa penyesalan kepadaku.

"Saya tak bisa mengontrol emosiku. Saya rasanya menjadi lega ketika meledakkannya lewat kata yang keluar dari mulutku. Tapi, setelahnya menjadi tak sama lagi. Umpatan yang keluar tak mungkin kutarik dan terhapus. Orang yang mendengarnya pasti akan mengingat ucapanku yang kasar", ceritanya padaku.

Saya tersenyum.
"Semua orang pasti mengalami kondisi emosional apabila ada sesuatu hal yang membuatnya kebingungan dan tak tahu harus bagaimana, membuatnya kesal dan merasa dipermainkan.

Pada sebuah kondisi seperti ini, saya lebih memilih untuk diam. Diam adalah pilihan terbaik saat ada emosi yang bergejolak di dalam dada. Berbicara dengan emosi yang membakar bisa meledakkan kata yang keluar dari kerongkongan. Saya memilih menahannnya, meski sesak dada. Masih lebih mending menepuk dada yang sesak agar lapang, ketimbang membiarkan emosi bercampur kata keluar menjadi suara yang bisa merusak banyak hal."

Teman saya mengangguk.
"Jadi saya harus diam dulu begitu?", selorohnya.

"Itu hal yang terbaik bagi kita. Tahanlah sebisamu, jika sesak dadamu, tepuklah agar lapang. Jangan biarkan emosi membakarmu. Setelahnya, jika kau ingin marah, marahlah. Marahmu jangan karena dikuasai emosi yang membakar. Jika menepuk dada belum redam, maka duduklah. Jika duduk masih bergejolak baringlah. Biarkan dirimu merendah agar ia ikut meredam. Selebihnya kamu bisa membasuh dengan air wajahmu, wudhu lebih baik. Puncaknya adalah sembahyang. Mintalah pada Tuhan membesarkan hatimu, melapangkan dadamu. Ia yamg akan menepuk dadamu untukmu. Berdamailah!'

*temanku memahaminya.

Setiap kali ia merasa emosi, terhinakan, diacuhkan, disepelekan dana apapun yang membuatnya ingin meledak, ia akan diam. Meredamnya dalam dada. Lalu menepuknya agar lapang. Atau meminta Tuhan menepuknya untuknya. Dia telah belajar berdamai.

Seperti temanku, saat kondisi sepertinya kuhadapi maka saya memilih diam. Itu karena ada yang tertahan di dalam dada. Berbicara kelak ketika dada benar telah lapang. Berdamailah!


Minggu, 25 Desember 2016

Mengucap Natal Bukan Sesuatu yang Haram

Mengucap 'Selamat Natal' Tak Merusak Akidah

Tahun 2009 setamat SMA saya akhirnya memilih untuk melanjutkan kuliah di Makassar. Saya harus meninggalkan kampung halaman di Pangkep dan menetap sementara waktu disana.

Pemilik rumah tempat saya 'nge-kos' adalah seorang nasrani. Kami memanggilnya 'Oma'. Saya hampir dua tahun menyewa sebuah kamar di rumahnya bersama teman-teman lainnya. Dalam masa itu, kami seringkali mendapati orang-orang datang ke rumah beribadah. Lantunan pujian kepada Tuhan yang dinyanyikan oleh mereka bagi kami merdu. Kami biasa sengaja menunggu di dalam kamar mendengar ibadah mereka selesai.

Pernah juga saya berada di rumah saat menjelang Natal. Mendengar mereka beribadah tak membuat iman saya bergeser. Tak seperti yang dikhawatirkan beberapa orang muslim lainnya. Kami biasa mendapat makanan dari 'Oma'. Dan di rumah tempat kami 'nge-kos', alhamdulillah teman-teman bisa salat dengan mengeraskan suara juga. Tak ada yang berkeberatan. Bahkan di bulan ramadhan 'oma' biasa membangunkan kami sahur dengan menyiapkan makanan berlebih yang dimasaknya buat kami. Oma juga kadang menegur kami untuk ingat ibadah. Ikut salat tarwih di masjid.

Sepanjang hampir dua tahun itu, iman saya baik-baik saja. Bahkan beberapa teman menyewa disana sampai selesai kuliah. Ada yang sampai lima tahun. Dan hari ini, iman mereka tetap baik-baik saja.

Ingin saya sampaikan bahwa serumah dengan orang nasrani, itu tak mengubah akidah kami. Kami baik-baik saja. Apatah lagi jika hanya mengucapkan 'selamat natal' pada mereka. Mengapa menjadi begitu susah harus memberi larangan mengucap natal pada mereka. Seakan agama yang dianut ini begitu lemah dan rapuh untuk dicemari hanya dengan berucap 'selamat natal'.

Bagi mereka, mengucap natal atau tidak tak memberi pengaruh pada perayaannya. Tapi menyampaikan larangan seakan-akan kita takut terpengaruh adalah hal yang akan menyakitkan bagi saudara kita. Menyampaikan larangan seakan mereka begitu jahat akan menjadikan kita seiman mereka. Itu akan menyakitkan hati.

Cukuplah pengalaman kami, bahwa 'mengucap natal' pada saudara nasrani tak membuat akidah kami bergeser. Saya punya banyak relasi, teman yang berbeda agama. Sepanjang kami berinteraksi tak membuat iman kami berpengaruh. Kami baik-baik saja. Kami saling memahami dan menghargai.

Kami tak mau dikotak-kotakan dengan fatwa-fatwa yang seakan saudara kita itu akan mengubah akidah kita. Biarlah Tuhan yang menilai keimanan kita masing-masing. Persaudaran kita sesama manusia tetap harus dijalani dengan baik-baik saja.

Saya jadi teringat Oma.
Selamat Natal untuk Oma, Kak Hans, Kak Hesty, Renold dan Brillyan.
Selamat Natal untuk saudara umat kristen.
Semoga damai selalu beserta kita.

Aameen.


Jumat, 23 Desember 2016

Plural Is Me

::::: PLURAL (IS) ME :::::

Mengenakan baju ini, saya tetiba ingat (alm) Gus Dur.

Ia adalah Bapak Pluralisme di Negeri ini. Ia tak hanya milik warga NU tapi juga semua golongan agama. Sikapnya yang menghormati pemeluk agama lain, membuatnya disayangi oleh segenap pemeluk agama di Negeri ini.

Negeri Indonesia, akhir-akhir ini mengalami sebuah goncangan yang hebat sebagaimana goncangan yang melanda banyak wilayah dibTimur Tengah dan bagia Asia lainnya. Isu agama dihembuskan entah dari mana. Perpecahan sektarian karena agama menjadi semakin tajam. Entah siapa yang mencoba menyiramkan 'bensin' pada isu agama ini. Kobarannya membakar banyak hati kaum agamawan yang menganggap agama yang dianutnya (yang kebanyakan hanya sebagai warisan orang tua) sebagai sesuatu yang superior dan ekslusif. Mirisnya, mereka memandang penganut agama lain sebagai manusia yang tak layak menghuni surga milik agama mereka kelak. Dari sini saya merasa seakan ada keterasingan yang melanda rasa kemanusiaan kita.

Hari ini, santer terdengar teriakan 'KAFIR' begitu mudahnya dilayangkan oleh mereka yang mengaku pemeluk agama yang taat. Seakan orang lain bukan ciptaan Tuhan yang disembahnya. Ia mengoloknya, menyangkal perbedaan agamanya sebagai kehendak ilahia. Seakan Tuhan tak kuasa mencipta makhluk yang serupa dengannya yang memeluk agama sama sepertinya.

Saya tak mau terasing dari rasa kemanusiaan ini hanya karena memeluk agama berbeda dari yang lain. Bukankah Tuhan memiliki kuasa menyamakan agama manusia jika Ia ingin berkehendak? Bukankah jelas di dalam ayat-ayat suci disebutkan bahwa Tuhan sengaja menciptakan kita dalam bermacam-macam suku, agama dan ras sebagai bentuk kemajemukan Tuhan (pluralisme)? agar kita saling mengenal. Agar kita saling belajar. Agar kita menjadi manusia.

Saya kira cukuplah perkataan ini,
"Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan" -Imam Ali K.W-

#PluralIsMe


Selasa, 13 Desember 2016

Jangan Mewarisi Sifat Iblis

::::: JANGAN MEWARISI SIFAT IBLIS! :::::

"Janganlah mewarisi sifat Iblis!", ini adalah pernyataan dari guru saya ketika itu saat memberikan sebuah kajian.

Maksudnya bagaimana?, tanyaku ketika itu.

'Dahulu Iblis bernama Azazil, ia makhluk yang paling rajin beribadah kepada Tuhan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa tidak ada tempat di Langit dan di Bumi dimana ia tak menyembah Tuhan. Atas penyembahannya itulah azazil diganjar tempat (paling) mulia di sisi Tuhan.

(Sampai ketika Tuhan menciptakan Adam As.)

Banyaknya jumlah ibadah yang dihitung Azazil telah dilakukan pada Tuhan membuatnya tergelincir. Ia membandingkannya dengan Adam As yang baru dicipta (belum menyembah Tuhan). Sifat sombong meracuni hatinya. Azazil menolak perintah Tuhan karena tak kuasa mengakui jika ada yang mulia selainnya. Ia menjadi tamak dan sombong. Menganggap selainnya tak lebih baik darinya.

Akhirnya Azazil terusir dari kemuliaannya. Ia amat menyesal (Iblis; yang menyesal) atas pembangkangannya. Dalam kondisi terusir, Si Iblis meminta ditangguhkan sembari mengucap sumpah serapah, 'Ia akan membuktikan manusia itu kafir di hadapan Tuhan'.

*Hari ini, saya mengerti maksud guru saya.
'Jangan mewarisi sifat Iblis!'.

Betapa banyak manusia yang merasa paling beriman dan mengukur ibadahnya kepada Tuhan sebagai kemuliaannya dibanding orang lainnya. Perasaan beriman inilah yang membuat mereka dengan mudah memandang yang lain tak lebih baik darinya. Bahkan tak sedikit yang dituduh 'kafir' di hadapan Tuhan. Tak terasa meteka seolah-olah ingin mengambil kuasa Tuhan, menentukan siapa kafir atau beriman di hadapannya.

'Jangan mewarisi sifat Iblis!', begitu pesan guru saya dahulu.


Senin, 12 Desember 2016

Peringati Maulid Nabi, Bid'ahkah?

Peringatan Maulid Nabi Saww, Bid'akah?

'Salam kak, benarkah bid'ah merayakan maulid Nabi?'
Sebuah pesan terparkir di kotak masuk.

Saya tersenyum.
Ini pertanyaan yang ke sekian kalinya saya dapatkan.

'Walaikum salam'
Tergantung niatnya dek.

'Maksudnya bagaimana kak?'

Yah, bukankah perbuatan yang pertama kali dihukumi adalah niatnya sebagaimana sabda Nabi?
Jadi memperingati maulid yah sesuai niatnya. Kalau ada yang menganggapnya bid'ah lalu ikut yah bid'ah. Kalau niatnya sebagai satu diantara syiar islam yah tentu akan bernilai baik. Kalau niatnya untuk hal lain juga pasti akan berbeda lagi.

Tapi, secara umum memperingati kelahiran Nabi Saww adalah suatu bentuk mengenang kembali Rasulullah Saww. Ini adalah momentum bagi umat islam, utamanya ditujukan bagi anak-anak agar tahu kapan Nabi Muhammad Saww itu lahir. Menumbuhkan kecintaan pada baginda itu dilakukan pertama kali adalah mengenalnya. Seperti pepatah lama, tak kenal maka tak sayang.

Adapun pendapat orang-oramg yang mengatakan bid'ah juga tak perlu dipermasalahkan. Sebagaimana bahwa mereka menilai karena tak dicontohkan maka menjadi bid'ah dan tak layak dilakukan. Itu urusan mereka. Tak mau memperingati hari lahir Nabi dengan acara maulid itu hak mereka. Tak ada paksaan untuk itu.

Tapi, bagi yang memperingatinya itu juga merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung lama. Bagi saya itu adalah satu momentum dalam melakukan syiar islam di masa lalu yang masih dipertahankan.

Mengajak anak-anak mencintai Nabi tentu bukan sesuatu hal yang mudah. Apalagi suatu kondisi masyarakat yang satu fan yang lainnya berbeda. Tarulah misalkan dalam sebuah keluarga yang pemahaman agamanya tentang Nabi Saww masih kurang, maka orang tua (atau orang yang dituakan dalam keluarga tersebut) tentu tak bisa banyak menjelaskan 'SIAPA RASULLLAH SAWW?' itu kepada anak-anaknya. Maka adanya peringatan maulid (sekali lagi) bertujuan untuk menapak tilasi kisah agung sang manusia mulia. Setidaknya, anak-anak akan bertanya dalam hati, siapa sih Nabi Muhammad Saww sampai diperingati hari kelahirannya? Kenapa orang-orang dewasa begitu antusias mewarnai telur, dihias dan dibagikan gratis ke yang lain?

Pertanyaaan-pertanyaan seperti inilah yang mungkin dinafikan oleh mereka yang mengatakannya bid'ah.

'Ada banyak jalan menuju roma', ini juga sebuah pepatah yang bisa berlaku. Janganlah kita membatasi orang lain yang ingin berkhidmat untuk agama dengan caranya. Jangan terburu-buru menghukumi sesuatu itu 'bid'ah' dan melarangnya. Kita tak tahu niat seperti apa dalam diri oramg tersebut. Biarlah menjadi urusannya dengan Tuhan kelak. Sebagaimana banyaknya jalan menuju roma dengan motif yang berbeda. Maka peringatan maulid Nabi pun bisa jadi demikian. Barangkali karena keikhlasan orang mengikuti maulid sebagai satu bentuk berkhidmat dalam syiar islam akan tercatat sebagai pahala di sisi Tuhan karena banyak anak-anak yang menjadi mengenal Nabi Muhammad Saww lewat peringatan itu lalu mencintainya dan meneladaninya.

Sudahlah, usailah perdebatan peringatan maulid dengan mereka yang menyatakannya bid'ah. Memandang sesuatu dari celah lobang kunci akan sangat berbeda dengan memandangnya dari atas balon udara yang bergerak bebas.

'Oh iya kak. Terima kasih atas penjelasannya'
Menutup sebuah perbincangan di kotak masukku pagi ini.

'Semoga keselamatan tercurah bagi junjungan baginda Rasulullah Muhammad Saww di hari dilahirkannya'

#allahummashallialamuhammadwaalimuhammad


Seringkas Cerita Kelahiran Nabi Muhammad yang Agung

Nun jauh di sana, di Roma, tatkala hening merambati istana yang megah, dan satwa-satwa malam sedang menyelenggarakan konser rutin di semak-semak kebun yang rimbun dan basah.

Tiba-tiba sang Kaisar terjaga dengan wajah kutu bersimbah peluh lalu memanggil-manggil Juru Takwil mimpi yang tak lagi diingat namanya. Dengan tergopoh-gopoh, sang penakwil berlari menghadap juragannya yang terbujur lunglai di atas ranjangnya. "Hai," teriaknya membahana. "Dalam tidurku kulihat kerajaan Romawi tumbang dan istananya runtuh lalu berubah menjadi tumpukan puing yang betapa mengerikan," tanyanya tersengal-sengal.

Penakwil tua itu menundukkan kepala sambil berbisik : "Baginda, telah terlahir seorang bayi di Jazirah Arabia yang bernama MUHAMMAD !!

Dan di Yazd, Neyshapour dan seluruh negeri, masyarakat Persia tercengang. Api abadi Dewa Ahura Mazda yang telah menyala selama berabad-abad, tiba-tiba padam. Lamat-lamat, seorang Pendeta Majusi mengabarkan kepada khalayak :

"Inilah hari kelahiran seseorang yang akan mengubah Tanah Persia. Dialah MUHAMMAD !!

Thola Al Badru 'Alaina, Min Tsaniyatil Wada'
Wajaba Syukru 'Alaina, Ma Da'a Lillahi Da'

Dialah yang disebut Yaasiin.
Dialah yang dipanggil Thahaa.

Dialah yang Allah dan Malaikatnya memuliakan namanya.


Melepaskan Diri dari Persepsi Orang Lain

Saat makan malam kemarin, istri saya yang mengenakan 'daster' (pakaian rumahan buat perempuan katanya) saya tantang untuk untuk memakainya ke luar rumah. Ia berkeberatan dengan segala macam persepsinya akan persepsi (penilaian) orang lain terhadapnya.

Saya mencoba mengajaknya menempuh jalan para darwis, melatih diri untuk tidak terjebak dalam persepsi keduniaan orang lain terhadap dirinya. Entah bagaimana saya teringat guru saya malam itu dan mencoba meyakinkan istri untuk bisa melatih dirinya keluar dari bayangan persepsi orang lain.

Pelajaran dari guru saya ketika itu adalah melatih diri melepaskan diri dari persepsi orang lain. Dimana tujuannya adalah membuat kita tak peduli lagi pandangan yang lain kecuali pandangan Tuhan terhadap diri kita. Katanya, disitulah kelak letak keikhlasan bisa didapatkan (hal yang selalu saya coba dapatkan). Segenap perbuatan yang kita lakukan hanya mengharap ridha Tuhan, mengharap keberkahan Ilahi.

Alhamdulillah dengan sedikit berkeberatan istri saya mau melakukannya. Jadilah kami mengenakan pakaian seperti ini berbelanja ke 'supermarket' dan mengunjungi beberapa tempat malam itu.

*saya belum tanya bagaimana pendapat istri saya tentang perkara malam kemarin.
Semoga ia mau memberikan tanggapannya malam ini. 😁😀


Minggu, 11 Desember 2016

Ziarah Kubur, Menjaga Ikatan Leluhur

Ziarah Kubur.

Dalam keluarga kami ziarah kubur adalah satu diantara ritus yang harus dijalani bagi setiap anggota keluarga yang telah melangsungkan pernikahan.

Ziarah Kubur ini adalah upaya menjaga keterikatan dengan leluhur dari keluarga kami. Setiap yang baru menikah akan diantar untuk menziarahi beberapa makam dari leluhur. Hal ini bertujuan agar yang muda tetap tahu tentang dari mana asal usul keluarganya. Menjaga nama baik leluhur tentu saja juga merupakan poin penting dari ritus ini.

Sebagaimana makna ziarah, adalah upaya menapak tilas sebuah perjalanan yang ada. Maka ziarah kubur ini pun untuk memperkenalkan leluhur pada pasangan yang baru dinikahi/menikah dalam keluarga kami.

Dalam ziarah, kami mengirimkan do'a-do'a untuk kebaikan leluhur kami yang berada di dimensi lain. Kami percaya bahwa do'a-do'a yang dikirimkan akan sampai pada mereka. Dan bagi kami, ada spirit baru yang didapatkan dari ritus seperti ini. Mengenal bahwa leluhur adalah orang yang baik membuat kami termotivasi menjaga nama-nama baik itu.

#selamatdatangdikeluargabarusayangku


Sabtu, 10 Desember 2016

Apa yang Harus Dilakukan Bagi Penista Agama?

Apa yang harus dilakukan bagi Penista Agama?

Andai kata Nabi dan Umat muslim dulu begitu reaktif dan represif menanggapi penghinaan terhadap Al Qur'an bahkan pribadi Rasulullah, maka sesungguhnya Umar Bin Khattab takkan pernah menjadi khalifah, bahkan menjadi muslim pun tak akan.

Tapi, Nabi dan Umat muslim yang bersamanya paham bahwa Al Qur'an takkan ternista, pribadi agung Rasulullah takkan terhina.

Bahkan, Umar Bin Khattab adalah orang yang paling getol menganggap Nabi sebagai pemberontak dan ancaman bagi Bangsawan Quraisy pada waktu itu. Ajaran Al Qur'an yang disampaikan melalui lisan Nabi tentang kesetaraan kedudukan manusia di hadapan Tuhan dianggap sebagai penghinaan bagi Bangsawan Quraisy, termasuk Umar. Karenanya, Umar Bin Khattab mengangkat pedang untuk membunuh Rasulullah. Ia kala itu menganggap membunuh Nabi sebagai jalan menjaga martabat kebangsawanan Kafilah Quraisy.

Apakah Nabi tak sanggup berdo'a kepada Tuhan pada waktu itu agar Umar Bin Khattab dihukum dan ditimpakan musibah? Tentu, do'a Nabi akan langsung kabul jika hanya menginginkan Umar ditimpakan musibah.
Atau apakah tak ada ksatria yang mampu membunuh Umar pada waktu itu untuk membela Nabi?

Umar Bin Khattab dimaafkan. Ia diberi kesempatan bertaubatvdan memeluk islam. Bahkan di kemudian hari, umat yang dia musuhi menjadikannya khalifah.

Pikirkanlah.
Bagi anda, bukankah Umar pada waktu itu layak dihukum karena trlah menista Al Qur'an bahkan pribadi Nabi?

Lalu, lihat ke dalam diri anda.
Hari ini, anda aksi dan mengutuk orang yang sudah meminta maaf untuk membelas apa dan siapa?
Seperti itukah Nabi mencontohkan sikap?


Karena Dia, Separuh Hatiku Tersenyum

Karenanya Separuh Hatiku Tersenyum

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Bukan tentang parasnya.
Itu sungguh akan menua seiring waktu yang berputar.

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Ia adalah perempuanku.
Perempuan yang kutemukan di sebuah pagi dengan senyum mekar di wajahnya.
Senyum yang mengalahkan ribuan bunga yang pernah aku saksikan sepanjang hidup.

Apa yang membuat aku begitu mencintainya?
Perempuan yang dua matanya berbinar meneduhkan jiwaku.
Tatapannya mampu meredam gejolak dalam diriku.
Menenangkan emosi, penghibur laraku.

Apa yang membuat aku begitu mencintanya?
Adalah elok perangainya yang menentramkan jiwaku.
Perempuan yang selalu percaya pada mimpi-mimpiku.
Menopangnya dan mendorong untuk merebutnya dalam nyata.

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Adalah keberaniannya berdiri di sampingku.
Bersamaku merajut untaian asa yang berserakan.
Perempuan yang selalu percaya pada mimpi besarku.

Apa yang membuat aku begitu mencintainya?
Adalah keteguhannya untuk yakin pada yang kuyakini.
Paradigmanya yang memahami keyakinanku.
Perempuan yang mampu menjadi teman diskusiku.
Membicarakan banyak hal yang aku sukai dibincangkan.
Perempuan yang mampu mengikuti gelora kecintaanku belajar.

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Adalah kerelaannya mempertaruhkan keyakinannya padaku.
Ketabahannya untuk selalu menjadi pembelaku.
Kebesaran hatinya yang menerima segenap pengharapanku.

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Ia adalah perempuanku yang tersenyum padaku di sebuah pagi.
Senyum yang merebut hatiku.
Perempuan yang karenanya, separuh hatiku tersenyum.


Minggu, 27 November 2016

Peneduh Jiwaku

Duhai Peneduh Jiwaku...
Perjalanan menujumu telah kutempuh.
Langkah yang kutatih sampai jua menjemputmu.
Kini perjalanan kita mulai bersama.

Duhai Pelipur Laraku...
Janjiku telah kusematkan pada diriku.
Telah kusampaikan pada Tuhan dan dihadapan wali mulia.
Tertanam rasa kerinduan yang kusemaikan untukmu, hanya untukmu.

Duhai Penghibur Hatiku...
Langkah-langkah adalah denganmu.
Mengasihi dan menyayangi sebagai diriku, bagian diriku.
Mencintaimu sebagaimana yang kuikrarkan, sampai aku mati dan kelak hidup kembali.

Duhai Cahaya Mataku...
Kaulah pelengkap imanku.
Penyempurna jiwaku.
Pendamping hidupku.
Tetaplah bersamaku.


Sabtu, 19 November 2016

Dua Cangkir Kopi di Malam Minggu

Dua Cangkir Kopi di Malam Minggu

Selamat malam kekasih.
Aku ingin hidangkan secangkir kopi untukmu.
Lalu secangkir lagi untukku.
Seruputlah kopinya maka kau akan tahu.

Tahu bahwa kopi itu pahit, lalu kita tetap meminumnya.
Tahu bahwa kopi itu pekat, dan kita tetap menikmatinya.
Tahu bahwa hidup seperti kopi, pahit tapi kita menjalaninya.
Tahu bahwa hidup seperti kopi, pekat tapi kita melewatinya.

Dua cangkir kopi terhidang di atas meja.
Di malam minggu yang sunyi.
Kopi untukku dan kopi untukmu.
Dihidang di waktu akan datang.


Jumat, 18 November 2016

Tak Ada Purnama Malam Ini

Tak ada purnama malam ini.
Bulan bersembunyi dalam hitam malam.
Tapi musim selalu musim semi.
Bunga-bunga bermekaran penuh pesona.
Tumbuh di matamu, mekar di senyummu.

Tak ada purnama malam ini.
Tapi senyummu selalu meneduhkan.


Rabu, 16 November 2016

Doctor Strange, Dunia Astral yang Maujud

Doctor Strange

(Ahhh, saya baru bisa menuliskannya. Saya terlalu disibukkan membahas kasus dugaan penistaan Ahok, membalas banyak chat yang bertanya langsung mengenai perkara ini.)

Doctor Strange, ia seorang Ahli Bedah Saraf. Banyak kasus yang mampu ditanganinya melalui keahlian dalam mengoperasi pasien. Tiba pada satu titik, sang dokter merasa tinggi. Kesombongan merasuki jiwanya. Ia kehilangan dirinya.

Pada saat itulah ia diuji. Mengalami kecelakaan dengan kehilangan saraf di tangannya membuatnya tak bisa lagi melakukan operasi bedahbsaraf seperti selama ini dilakukannya.

Ia merasa dunianya runtuh. Tapi disinilah menjadi titik baliknya. Dintengah rasa frustasinya ia masih melihat kemungkinan. Semangatnya untuk bisa kembali melakukan operasi membuatnya tak pernah berhenti.

Ia akhirnya ke India, di sebuab kuil dia belajar. Dia diajarkan tentang dimensi astral. (Sebuah dimensi yang beberapa tahun lalu pernah saya coba geluti bersama teman-teman semasa kuliah). Sampai pada tahap ini saya melihat bahwa produser film pun ingin menyampaikan sebuah fakta bahwa di barat pun tengah mengalami pergeseran paradigma ilmu yang selama ini cenderung empirik. Sebuah pola induktif dalam memahami sebuah pengetahuan.

Dimensi astral, sebuah dimensi yang dimana ruh ada disana. Keyakinan kami (saya dan teman-teman) bahwa makhluk serupa jin ini masuk dalam dimensi astral. Kami senang ketika bisa merasakan adanya makhluk astral ini di sekitar kami.

Nah, kenapa saya merasa perlu menuliskan ini. Dikarenakan ini Doctor Strange akan masuk dalam Tim Avenger yang tentu masihbakan kita nikmati filmnya di masa akan datang. Pada tahap ini saya melihat bahwa dimensi astral ini akan semakin menarik untuk diketahui lebih luas. Mungkin berangkat dari asumsi yang hadir saat menonton film Doctor Strange.

Tapi, ketahuilah bahwa Dimensi Astral itu jelas ada. Dan keyakinan kami bahwa dimensi astral itulah yang merupakan roh terbentuk. Dimana perilaku dan sikap kita berjalan di muka bumi ini membentuk wujud kita yang ada di dimensi astral. Ada yang berupa wujud yang elok dan tak sedikit yang wujud astralnya adalah hewan-hewan yang menyeramkan. Tergantung perbuatan kita.

Kata kiyai saya dulu, wujud astral itulah kelak akan dibangkitkan di hari penghakiman (yaumul mizan). Manusia akan hidup kembali dengan rupa yang macam-macam sebagaimana rerumputan tumbuh di musim hujan. Maka perbaikilah wujud kita di kehidupan akan datang atau di dimensi astral yang ada.

#DoctorStrange


Selasa, 15 November 2016

Tak Ada Supermoon Malam Ini (Puisi untuk Intan Olivia)

Sayangku,
Temani aku sejenak menulis sajak-sajak ini.
Beri aku ruang untuk merasakan di dunia ini masih ada kasih.

Sayangku,
Di luar sana penuh sesak dengan umpatan kebencian.
Udara seakan tercemar dari mereka yang menganggap Tuhan sebagai Pemabok yang lemah.

Sayangku,
Aku ingin menuliskan tentang gadis kecil yang pergi dalam sunyi.
Ia meredam sendiri lukanya yang ditanggungnya bukan kepalang.

Sayangku,
Betapa sesak dunia ini dengan benci.
Agama menjadi pelatuk meledak orang lain.

Sayangku,
Aku mengisahkan gadis kecil itu untukmu.
Mengisahkan betapa kejamnya tangan-tangan mereka merenggut jiwa-jiwa lugu tak berdaya.

Sayangku,
Tak ada hal yang romantis malam ini.
Tak ada supermoon yang dinanti antariksawan.

Sayangku,
Saya ingin mengisahkan gadis kecil itu.
Gadis kecil yang pergi dengan dua sayap di punggungnya.

Sayangku,
Gadis kecil itu menjadi saksi betapa dunia sesak dengan kebencian.
Gadis kecil yang menanggung kebodohan kaum beragama.

Sayangku,
Aku menceritakan sesaknya dunia oleh kebencian.
Tapi, kau adalah tempatku bersandar yang menyisakan cinta untuk kuhirup dalam-dalam.

Sayangku,
Gadis kecil itu telah berpulang.
Tak ada supermoon malam ini.


Senin, 14 November 2016

Islamkah yang Kita Bela?

Kenapa massa tergerak begitu banyak? Bukankah itu menandakan bahwa mereka benar-benar membela Al Qur'an?

Di zaman dulu, selepas mangkatnya Rasulullah Saww pun umat muslim mengangkat senjata untuk berperang satu sama lain. Puncaknya khalifah ke 3, Usman Bin Affan terbunuh karena tuduhan yang dipakai memprovokasi massa saat itu. Ribuan massa dari luar madinah dan mekkah datang. Sahabat dari mesir dan sekitarnya pun ikut datang mengepung kediaman Usman Bin Affan.

Lalu, khalifah ke 4 digantikan oleh Ali Bin Abi Thalib. Umayyah yang tak setuju memprovokasi massa dan menuntut Ali Bin Abi Thalib bertanggungjawab atas kematian Usman. Ummat yang tak kritis itu pun mengikuti Umayyah dan melawan khalifah Ali.

Apa yang bisa ditarik?

Bahwa semangat membela islam memang menggebu pada dada mereka yang mengaku muslim. Memakai ayat Al Qur'an drngan imbalan mati syahid dan surga tentu akan semakin membakar dada-dada mereka.

Hal serupa terjadi pada ISIS. Dengan motif yang sama 'MEMBELA ISLAM' mereka ikut Abu Bakar Al Bhagdadi. Mereka 'yakin' membela islam dengan menghancurkan situs bersejarah karena dianggap bid'ah, melakukan purisitas terhadap ajaran tauhid (katanya). Bahkan sangat jelas bahwa mereka mempertontonkan kebiadaban pembunuhan dengan memenggal kepala orang-orang yang dianggap musuh.

Saat ditanya, apa yang mereka bela?
Pasti dengan bangga mengatakan 'SAYA MEMBELA ISLAM, MEMBELA AGAMA ALLAH, DAN BARANGSIAPA YANG MEMBELA AGAMA ALLAH MAKA ALLAH AKAN MEMBELANYA'.

Lalu, hari ini dengan motif yang sama.
'Kami turun jalan untuk membela Agama Islam'.

Sudah benarkah sikap itu?
Membela Agama Allah tentu adalah sikap yang benar.

Tapi apakah demikian yang harus dilakukan?
Seperti pertanyaan kita menyangkut umat islam yang mengepung kediaman Usman. Seperti massa Umayyah yang melawan khalifah sah Ali Bin Abi Thalib, seperti ISIS yang berdalil membela islam.


Jumat, 11 November 2016

Untuk Seorang Lelaki yang Merampas Waktu Tidurku

Dia datang membicarakan sebuah perang di hatinya.
Ia sedang beradu dengan dirinya sendiri.
Terjebak dalam pilihan yang berdiri di depannya.
'Dia' atau 'Dia'?

"Perempuan.
Memang makhluk yang paling misterius.
Percayalah, kau akan mengetahuinya segera.
Jika selama ini kau abai dan berjalan bebas di Bumi ini.
Perempuan inilah yang akan menarikmu dalam kemelut."

Dia mencoba membetulkan senyum di wajahnya.
Menyembunyikan batinnya yang berkecamuk.
Kutahu dia sedang meredam peperangan di hatinya.
Dia mungkin segera melewatinya atau menjadi perang dingin berkepanjangan.

'Apa yang harus kupertimbangkan?', seperti itulah tanya yang menancap di kepalanya.
'Ini hanya fase yang akan berlalu.
Lelaki akan selalu diuji lewat perempuan.
Hatimu harus kuat untuk meredam dan menerima kepedihan ini.
Kau melepas keduanya, atau merelakan satu diantaranya.'

Amat mudah, lihatlah ke dalam dirimu.
Temukan pada siapa hatimu tersenyum.

(Untuk seorang lelaki yang merampok waktu tidurku malam ini)


Kamis, 10 November 2016

Musim Semi di Matamu

Musim Semi di Matamu

Apa yang membuat saya selalu rindu adalah matamu.
Matamu yang menyimpan musim semi di dalamnya.
Musim dimana bunga-bunga merekah bermekaran.
Musim dimana burung-burung berkicau merdu.

Di matamu aku ingin berlarian diantara rerumputan hijau yang membentang.
Menghirup wewangi bunga yang kuncup dan merekah.
Aku ingin tertidur di bawah pepohonan yang mekar daunnya.
Menghirup aroma tanah musim semi yang lembut.


Kamis, 03 November 2016

Sebuah Pagi di Dekat Bandara Wamena

Sebuah pagi di Dekat Bandara Wamena.

Desing gemuruh pesawat yang lepas mengangkasa dan datang membumi. Kami berada di halaman depan sebuah penginapan. Suhu yang tak biasa membuat harus tetap mengenakan jaket dan penutup kepala.

Pengurus penginapan datang membawakan secentang kopi.
"Kalau kopinya terlalu pahit bilang pak yah?", katanya.

"Kopi memang harus pahit, kalau tak pahit ia tak layak disebut kopi. Seperti hidup, kalau tak pahit tak layak disebut hidup."

"Tapi, sesekali bisa minum susu saja toh? Atau Madu?" kataku.

*Di sebuah pagi yang dingin di daratan Papua.


Rabu, 02 November 2016

Balada Rindu

Balada Rindu

Apakah kau menyaksikan malam ini, kekasihku?
Tak ada rembulan yang memancar manis.
Tak banyak bintang yang menari beruntai..
Tapi, ada aku yang memanggul rindu.

Malam yang kelam, gelap dan petang.
Hitam, pekat menyimpan rahasia.
Selepas berkas senja menggelinding mesra.
Menelaah rindu di tepian malam.


Lihatlah bintang di balik mata jendela.
Riuh laksana gelombang yang datang berlomba.
Menyusuri karang pecah di tepian.
Menghitam kelam menyimpan ribuan rencana pertemuan.

Lihatlah malam yang tak berlentera purnama.
Rindu bergelantungan bagai burung yang mengangkasa.
Berterbangan memenuhi langit sesaat senja.
Ribuan rindu itu kini berbunyi untukmu

Apa yang kau saksikan dari malam, kekasihku?
Selain rinduku yang mencekam.


Minggu, 30 Oktober 2016

Senyum di Pelataran

Senyuman di Pelataran

Hari ini aku menapaki kembali pelataran.
Lantas aku diseret ke sebuah ingatan.
Hari dimana kita dalam perjumpaan.
Aku luruh melihat diriku di bingkai kenangan.

Ketika itu layar masih coba dikibarkan.
Layar Pinisi baru dirajut untuk dibentangkan.
Dan kita terjebak malu berkenalan.
Begitu kaku, berbincang sekadar kepentingan.

Aku tak mengenal nama yang kau sebutkan.
Hanya sekilas lantas aku mengabaikan.
Hanya senyummu yang selalu membekas di pelataran.
Dan dua binar matamu yang meneduhkan.

Di Pelataran Pinisi itulah kita dipertemukan.
Melewati rentang waktu, beranjak ke masa depan.
Di Pelataran Pinisi itu pulalah pertemuan demi pertemuan direncanakan.
Di bawah layar Pinisi yang tak pernah bosan.

Aku tak sempat menghitung banyak pertemuan.
Biarlah Layar Pinisi yang menjaga dalam kebisuan.
Layar yang membentang melakukan pelayaran.
Menuju perwujudan berbagai harapan.

Entah berapa sering aku berdiri di bawah layar Pinisi menunggu kehadiran.
Membayangkan diri sebagai nahkoda yang mengarahkan.
Pinisi akan berlayar kemana menantang gelombang mengalun.
Akulah nahkodanya yang akan menuntun ke depan.

Di Pelataran ini aku terlatih menjadi nahkoda sebelum kau datang mebebus penantian.
Sudah terbiasa bagiku membayangkan diri menantang gelombang bertautan.
Di Pelataran Pinisi kau selalu datang dengan sebuah senyuman.
Senyum yang amat aku kenal saat awal berkenalan.

Hari ini, di Pelataran Pinisi aku berpijak pada ingatan.
Menapaki kembali kenangan, membingkainya dalam harapan.
Layar Pinisi yang menjulang dalam kebekuan.
Menjadi saksi seberapa banyak aku melakukan penantian.
Menanti senyummu yang aku saksikan di awal pertemuan.


Sabtu, 29 Oktober 2016

Menanggapi Rencana Aksi 4 November

Menanggapi Rencana Aksi Demonstrasi 4 November 2016.

Selesaikan dululah urusan kalian dengan Allah Swt, lihat diri apakah sudah benar menjalankan amanah yang sesuai anjuran Al Qur'an sebelum kalian turun ke jalan menuntut orang lain diadili karena dianggap menista agama.

Menurut saya, menista Al Qur'an itu adalah memahaminya tapi tidak menjalankan sepenuhnya. Saya pribadi masih sering menjadi penista Al Qur'an dikarenakan ada banyak tuntutannya belum bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Selesaikanlah dulu urusan dirimu, keluargamu sendiri sesuai tuntunan Al Qur'an sebelum berteriak orang lain menista Al Qur'an.

Al Qur'an itu tidak akan pernah nista, karena Allah Swt yang menjaganya. Kitalah yang kadangkala mempolitisasi ayat Al Qur'an itu untuk digunakan sesuai kepentingan kita.

Seperti Fadli Zon yang tiba-tiba tampil ke depan mau membela Islam padahal selama ini dia berdiri di belakang orang yang sikapnya terhadap islam jelas (Donald Trump), lalu dia bangga. Selebihnya apakah Islam yang benar sudah diterapkan oleh Fadli Zon dalam keluarganya untuk istri dan anak-anaknya?

Fadli Zon hanya contoh, ada sederrt nama semisal Ahmad Dhani dll yang juga berteriak lantang (katanya) membela islam. Tapi lihat apa yang dicontohkan dalam kehidupannya? Sudahkah menerapkan amanat islam dalam kehidupannya?

Kebanyakan kita itu gampang tersinggung (kata Arifin Ilham, cepatnya emosi menunjukkan akalnya tidak bekerja) atas kekeliruan yang dilakukan orang lain. Padahal dalam ajaran kita, islam menganjurkan welas asih, memaafkan yang sudah mengaku kekeliruan.

Lalu, coba kita bandingkan.
Ahok dianggap menista Al Qur'an dan dia klarifikasi bahwa tidak pernah bermaksud melakukan itu. Itu disalah artikan.
Sementara di sisi lain, kita abai terhadap upaya yang dilakukan Pemprov. DKI (Gubernurnya Ahok) yang memberangkatkan Marbot masjid untuk Umrah.

Kenapa (yang mengaku) umat islam itu gampang tersinggung dan lupa terhadap aibnya sendiri sampai orang yang sudah meminta maaf masih saja diprovokasi untuk dituntut?

Itukah Wajah Islam yang mereka anut?


Jumat, 28 Oktober 2016

Aku, Kau dan Puisi

Aku, Kau dan Puisi

Aku adalah lelaki yang mencintai hujan.
Mencintai setiap bulir yang jatuh berserakan.
Membuat basah, lembab, menggenang dan terkenang.
Aku mencintai hujan yang gerimis.
Kata orang itu romantis.
'Seperti Aku', begitu katamu.

Kau adalah perempuan yang kusebut Pelangi.
Pelangi yang datang terbias selepas hujan berhenti.
Hujan dianggap kesedihan bagi sebagian orang.
Dan Pelangi datang menghapus jejak tangis hujan.
Tapi 'tidak' bagiku.
Hujan dan Pelangi adalah dua hal yang aku cintai.
Hujan yang romantis dan Pelangi yang manis.
Kau adalah Pelangiku.
Memberi warna dan warni dalam cakrawala hidupku.
Bukan hanya tujuh, tapi banyak warna.
Sebanyak rindu yang tumbuh untukmu.

Dan puisi,
Puisi adalah hal lain yang aku cintai.
Tentang hujan, pelangi selalu aku menceritakannya dalam puisi.
Puisi adalah caraku mengobati rindu.
Rindu yang kadang datang tiba-tiba bagai anak panah yang melesat tepat mengena ke jantung hati.
Saat itulah aku menuliskannya.
Menuangkan rasa sakit itu dalam rupa kata agar ia tak berpura.


Aku adalah lelaki yang mencintaimu seperti mencintai hujan.
Kau adalah Pelangi setelahnya.
Dan puisi adalah caraku mengabadikannya.


Rabu, 26 Oktober 2016

Hujan yang Tak Bisa Kueja

Hujan yang Tak Bisa Aku Eja

Apa yang bisa kueja dari hujan kali ini
Selain duka di pelupuk mata cakrawala
Tangisnya jatuh berderai mendenting hujan
Adakah rindu yang tersisip disana?
Ataukah hanya gersang pada hati yang tak tahu muaranya

Hujan jatuh di peluk Bumi
Ia membasuh luka-luka yang kita buat
Seakan berbisik lirih bahwa ia baik-baik saja
Tapi kutahu hujan kali ini bukan hanya tentang rindu yang terurai

Ada teriakan yang terpenjara di kerongkongan saat ingin kuteriak memaki.
Hujan tak peduli. Ia tetap saja jatuh berderai
Aku semakin terkulai
Tak tahu apa yang harus kueja.

Aku berhenti

Segera kutapaki jalan menuju pulang
Tak kutemukan pelangi
Mungkin kali ini ia enggan untuk menemani

Aku ingin rebah
Menyandarkan jiwaku yang lelah
Mungkin esok hujan bisa kueja
Mungkin esok ada pelangi
Mungkin esok luka-luka terbasuh
Mungkin esok kita akan kembali tersenyum bersama derainya.
Karena esok adalah rahasia
Dimana hujan pasti akan datang lagi.


Senin, 24 Oktober 2016

Hujan adalah Rindu yang Menitih Lirih

Hujan adalah Rindu yang Menitih Lirih

Hujan adalah rindu.
Ia datang menitih, merintih saat rindu tak terbendung.
Ia datang bergemuruh seakan marah, menunjukkan betapa sakitnya rindu itu.
Ia datang pelan, mengalun mengirama menunjukkan betapa indahnya merindu itu.

Hujan selalu saja begitu.
Ia bisa datang bergemuruh atau pelan mengalun.
Tergantung apakah rindu itu sanggup ditanggung atau sakit digantung.

Hujan penghapus luka.
Duka karena merindu.
Bahkan ia sebenarnya adalah luka itu sendiri.
Ia rela jatuh berulang kali dan kembali jatuh.
Sakit? "tidak", karena menahan rindu lebih menyakitkan dari sekedar jatuh itu sendiri.
Ia memilih jatuh untuk menyampaikan rindu.
Seperti itu, kadang lama tanpa jeda.

Dan kita yang masih berteduh di bawah atap, menatap di balik mata jendela  melontar tanya, "Kapan hujan berhenti?"


Sabtu, 22 Oktober 2016

Kau Kekasih Hati

Kau Kekasih Hati
(22 Oktober 2016)

Hujan mengiring hari.
Cincin melingkar di jari.
Menautkan dua hati.
Untuk tepati janji.

Kau kekasih hati.
Buat hidup lebih berarti.
Tetaplah mendampingi.
Kelak sampai nanti.

Kau kekasih hati.
Tetaplah mencintai.
Laksana prasasti.
Tulus sampai mati.


Jumat, 21 Oktober 2016

Kau adalah Sajak Rindu

Kau Adalah Sajak Rindu

Kau adalah sajak yang aku narasikan.
Laksana Oase di padang tandus atau hujan yang jatuh di kemarau.
Kau datang menghapus dahaga bagiku yang seorang musafir.

Kau adalah sajak yang aku narasikan.
Laksana ombak yang menggulung bergelombang menuju tepian.
Meski pecah, tetap datang menjumpai pantai dan menghapus jejak tapak di atas pasir.
Berulang kali tak pernah bosan.

Kau adalah sajak yang aku narasikan.
Kau juga kusebut sebagai jingga senja yang melewati detik waktu hingga kemerahan di langit ufuk barat.
Selalu membawa rindu untuk melihatnya datang memerah bersama keindahan.

Kau adalah sajak yang aku narasikan.
Laksana Pelangi yang datang terbias selepas hujan.
Membujur di cakrawala biru.
Memayungi rindu yang menderu.

Tetaplah sebagai sajak yang tak pernah berhenti bernarasi.
Sebagai oase yang terus menghapus dahaga.
Sebagai hujan yang datang di kemarau.
Seperti, selaksa jingga, ombak, pelangi atau apapun yang membuatmu begitu berarti.

Kau adalah sajak yang aku narasikan.


Rindu yang Kau Seduh

Rindu yang Kau Seduh

Jarak membentang merentang jauh.
Kita menikmati secangkir rindu yang kau seduh.
Kau datang sebentar menghapus jenuh.
Lalu, beranjak kembali membuat hati gemuruh.

Kau adalah penyeduh rindu ulung.
Menyajikan rindu yang lekat tanpa ujung.
Dan aku penikmat rindu yang menggunung.
Menyeruput rindu untuk ditanggung.


Kamis, 20 Oktober 2016

Catatan Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Dua Tahun Pemerintahan JOKOWI-JK

Banyak hal yang sampai haribini telah ditorehkan. Pemerintahannya merajut kembali Indonesia. Berupaya membuatnya sambung menyambung menjadi satu. Memeluk satu demi satu pelosok yang selama ini terpinggirkan.

Jokowi-JK tentu bukan manusia super yang bisa melakukan semua sekaligus. Mereka bukan pula tabib sakti yang bisa meramu obat yang bisa manjur sekali minum. Pun mereka bukan pesulap yang bisa menghilangkan setiap persoalan yang ada di depan mata. Mereka tetaplah manusia biasa yang ingin terus bekerja bagi bangsanya.

Jokowi-JK bergerak cepat. Ada banyak hal yang sudhlah dikerjakan, pun ada banyak hal yang masih dalam list perencanaannya.

Lalu apa yang mereka perbuat untuk bangsa ini?

Saya melihat Jokowi-JK menjadikan dirinya jarum untuk merajut kembali Indonesia. Mereka memeluk papua, mengusap bagian terluar kalimantan, menjaga blok natuna dan masuk ke pedalaman kalimantan.

Jokowi-JK merajut Indonesia. Membangun Tol Laut kawasan timur Indonesia, mendirikan banyak bandara, jalur Kereta digenjot, jalanan baru dibuka melintas gunung, jembatan dididirikan. Pabrik sagu terbesar di Papua, Papua dijadikan pusat Swasembada Pangan, Tax Amnesty, penyamaan harga BBM seluruh Indonesia.

Toh, diantara yang diperbuat masih banyak yang belum. Menyelesaikan konflik di Sampang, masih banyak masyarakat miskin di pedesaan dan pinggiran kota yang belum mendapat hidup layak, pendidikan yang masih belum merata, rumah sakit yang belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Jokowi-JK masih terus bekerja. Masih banyak hal yang belum dikerjakan. Dua tahun telah berlalu, sisa tiga tahun lalu kesempatan bekerja. Berbuatlah untuk negati yang kita cintai ini.

Sehat dan kuatlah! Kita bersama merajut bangsa ini.


Cinta Itu (Memang) Gila

Cinta itu (memang) Gila

Tentu kau bukanlah Layla dan aku Bukan Qais.
Qais menjadi gila karena Layla maka disebut si Majnun.
Qais tak memiliki Layla di kenyataannya.
Ia hanya memiliki di dalam hatinya, tanpa orang lain selainnya.

Qais berjalan sembari menyebut-nyebut nama Layla.
Dingin malam yang menusuk tulang tak dihiraukannya.
Ia bertahan di depan pintu istana pujaannya.
Ia rela menahan laparnya hanya untuk sekilas melihat paras kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Aku lebih beruntung darinya.
Tapi, aku sama seperti Qais.
Menjadi gila karena kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Cintanya terhalang dinding istana.
Tapi, aku sama seperti Qais.
Menjadi gila karena kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Sepenuh hidupnya untuk memikirkan kekasihnya.
Tapi aku sama seperti Qais.
Sepenuh hati merindukan kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Yang rela tak memiliki kekasihnya di kenyataannya.
Tapi, aku sama seperti Qais.
Sepenuh hati merindukan kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Tapi, Aku sama seperti Qais.
Cinta itu memang gila.
Kalau tak gila, bukan cinta namanya.


Selasa, 18 Oktober 2016

Selamat Datang di Tanah Karaeng

Selamat Datang di Tanah Karaeng

Semilir angin kemarin datang saat senja.
Menggiring berita apa yang akan terlihat mata.
Selamat datang kembali memijak tanah karaeng.
Tanah dimana rindu disemai dan dituai.

Selamat datang kembali.
Senyummu lekas sumringah.
Menghempas rindu yang tertahan di pelupuk mata.
Di tanah karaeng, rinduku tertawan.


Sabtu, 15 Oktober 2016

Inilah Kita

Inilah Kita

Entah berapa banyak umpatan yang pernah kita lontarkan.
Sejumlah bisikan yang berubah jadi teriakan.
Seulas senyum yang tiba-tiba menjadi beku.
Kita pernah melakukannya.

Entah berapa banyak kita mengurai air mata.
Mengoyak emosi menjadi kecamuk.
Memaksa sabar meledak kasar.
Kita nyatanya bukan insan sempurna.

Entah berapa banyak kita menoreh luka.
Menggores pilu pada hati merindu.
Menulis kepedihan dalam kehidupan.
Kita masih terus belajar.

Inilah kita.
Insan tak sempurna yang terus belajar.
Inilah kita.
Ada untuk saling menjaga kasih.
Inilah kita.
Entah berapa banyak yang dihitung, kita tetap akan berdampingan.
Inilah kita.


Selasa, 11 Oktober 2016

Mengenang Kesyahidan Imam Husain As di Karbala

Mengenang kesyahidan Insan Mulia, Imam Husain As Syahid As di Karbala (10 Muharram 61 H).

Biarlah mereka melupakan tragedi ini.
Di dada kami akan selalu menggema "Labbayka Ya Husain!"

Labbayka Ya Husain
Adalah teriakan menentang kezaliman yang melintas zaman.

Labbayka Ya Husain
Adalah semangat semangat seorang istri untuk mendorong suaminya datang menjumpai kesyahidan.

Labbayka Ya Husain
Adalah teriakan seorang ibu yang merelakan anak-anaknya maju ke depan menantang anak panah kezaliman.

Labbayka Ya Husain
Adalah tangis perempuan yang menyaksikan suami, anak, ayahnya tersambar pedang-pedang tajam.

Labbayka Ya Husain
Adalah suara tangis bayi Asghar yang meregang nyawa ditembus anak panah.

Labbayka Ya Husain
Adalah dua tangan Abu Fadl Abbas yang terputus saat mengambil air.

Labbayka Ya Husain
Adalah upaya gemetar Ali Zainal Abidin As Sajjad yang meringkih maju menahan sakitnya.

Labbayka Ya Husain
Adalah teriakan Zainab yang nanar menyaksikan saudaranya terpenggal.

Labbayka Ya Husain
Adalah tangisan-tangisan pecinta Nabi Muhammad Saww yang berbelasungkawa atas keyahidan cucundanya.

Labbayka Ya Husain
Adalah semangat yang takkan pernah mati, akan terus mengiring dada-dada pecinta untuk selalu tegak menantang kezaliman.

Labbayka Ya Husain
Adalah panggilan untuk tetap tegak berdiri di Padang Perjuangan meskipun banyak yang meninggalkan.

Labbayka Ya Husain
Adalah semangat merindukan kesyahidan, di setiap waktu di setiap tempat.

"Kullu yaumin asyura kullu ardin Karbala"

Izinkan kami memenuhi panggilanmu Ya Husain...


Aku Pengelana

Aku Pengelana

Aku menjadi pengelana saat jatuh di dua matamu.
Berkelana di lubuk hati yang dalam.
Aku melihat dari dua pasang mata.
Sepasang mataku dan sepasang matamu.

Aku menjadi pengelana yang mengembara bersamamu.
Aku melangkah bersama sepasang kaki lainnya.
Berdiri lebih tegar dari biasanya.
Menopang hidup yang dijalani.

Aku menjadi pengelana.
Mendengar lebih banyak nada dan suara.
Lewat sepasang telingamu dan sepasang milikku.
Mendengar lebih banyak mengajarkan untuk memahami.

Aku menjadi pengelana.
Bertualang bersama mimpi-mimpimu.
Mimpi-mimpi kita yang saling bertautan, kita mengembara di atasnya.
Menariknya satu demi satu ke alam nyata.

Aku menjadi pengelana saat kusebut 'aku mencintaimu'.
Seketika leburlah diriku menjadi pengelana.
Menjadi dirimu dan menjadi diriku.
Kau adalah Aku dalam raga yang lain.

Aku menjadi pengelana saat kutemukan senyummu.
Senyum yang selalu ingin kusaksikan merekah bersama bunga-bunga dalam hatiku.
Senyum yang akan terus aku rawat.
Senyum yang menjadikan aku sebagai pengelana.


Senin, 10 Oktober 2016

Memahami Perempuan

Memahami Perempuan

Perempuan adalah bait-bait sajak.
Ia bagaikan karya sastra.

Senyum tak selalu tentang senang hatinya.
Ia mampu menyembunyikan kecamuk di dalam dirinya.

Tangisnya tak selalu tentang kesedihannya.
Ia bisa amat bahagia di balik yang terurai.

Perempuan mampu menyimpan kerinduannya sendiri.
Tapi tak bisa menyembunyikan kecemburuannya.

Perempuan adalah peneduh jiwa tatkala lelah dunia.
Perempuan adalah pelengkap yang menyempurnakan.

Perempuan adalah sajak yang terus menulis bait-bait.
Dan saya, mencintainya.


Minggu, 09 Oktober 2016

Jarak Panjang yang Indah

Jarak Panjang yang Indah

Jarak yang panjang telah mengajarkan banyak hal.
Saat kita hanya bisa bertemu di wajah rembulan di malam hari.
Saat kita hanya bisa bertegur sapa lewat sepoi angin di siang hari.

Hujan adalah rindu yang menjelma di langit.
Terarak oleh angin kemudian jatuh luruh di tanah kita berpijak.
Pelangi datang lewat bias Matahari yang selalu setia menyinari.

Saya selalu beriang hati tatkala rindu itu telah luruh.
Setiap kali ada benih yang tumbuh di tanah lembab, kuncup bunga-bunga dan hijaunya pucuk daun menampakkan diri.
Saya selalu yakin jarak yang membentang ini mengajarkan banyak hal.

Kita menghitung hari yang kadang menjadi begitu panjang.
Bermain dengan sepoi angin atau menatap rembulan dengan mesra.
Kita menunggu datang hujan, membiarkan bias Matahari menjelmakan Pelangi setelahnya .
Kita merawat benih, mengabadikan mekar bunga dan memerhatikan kuncup dedaunan.

Jarak yang panjang ini pada akhirnya akan menjadi begitu dekat, amat dekat.
Seperti detak jantung yang akan berdetak bersama.
Seperti nafas yang akan berhembus bersama.
Langkah kaki yang akan senantiasa beriringan.
Seperti mata yang akan selalu memperhatikan.

Pada saatnya, jarak yang panjang akan menjadi dekat.
Hingga suatu pagi saat kau membuka mata, aku akan selalu membisikimu "aku mencintaimu".


Jumat, 07 Oktober 2016

Ahok Menghina Al Qur'an?

Ahok Menghina Al Qur'an?

Seorang bertanya lewat pesan,
"Kak, bagaimana pendapatnya tentang penistaan Al Qur'an oleh Ahok?"

Saya tersenyum.
Akhirnya saya merasa punya keharusan menjawab meskipun sebelumnya saya niatnya cuman memperhatikan saja.

Tuduhan Ahok menista Al Qur'an memang tersebar begitu cepat, secepat tombol jari memencet bagikan sebuah link berita. Ada yang provokatif tak sedikit yang membela Ahok.

"Nah, lalu bagaimana menurut kakak?"

Saya kembali tersenyum. Rasanya saya didesak untuk menjawab.

Apakah sudah menyaksikan video pernyataan Ahok secara utuh? Bukan hanya dari link berita yang provokatif saja?

Ia tak membalas. Sepertinya ia hanya melihat potongan videonya saja.

Baik.
Jadi begini, sebelumnya saya pun merasa kaget saat link-link berisi video yang dimaksud itu menyebar di berandaku. Saya pun melihatnya secara sekilas dan terkejut bahwa memang kedengaran Ahok melecehkan.

Tapi, budaya 'tabayyun' harus selalu diutamakan. Dan itu adalah hal yang selalu saya lakukan. Jangan mendengar informasi dari pembenci saja, coba timbang dengan informasi dari yang dibencinya. Itulah yang saya lakukan. Mencari akun media sosial Ahok, berharap mendapat video yang utuh. Alhamdulillah saya bisa melihat video yang utuh kenapa bisa muncul pernyataan tentang Q.S Al Maidah 51 itu.

Disana tampak Ahok sedang 'audience' dengan masyarakat kepulauan seribu saat menjawab sebuah pertanyaan. Disana Ahok menjelaskan bahwa program yang dicanangkan olehnya itu adalah program pemerintah DKI, tak ada hubungannya dengan momentum politik yang tengah berlangsung di Jakarta. Ia mencoba meyakinkan masyarakat disana supaya tak perlu merasa 'tak enak hati' mengikuti program tersebut karena itu bukan program agar mereka kembali memilih Ahok. Hanya saja, untuk meyakinkannya Ahok mencoba mengutip Q.S Al Maidah 51 yang selama ini (ia rasa) dipakai untuk menyerangnya agar masyarakat tak memilihnya.

"Apakah Ahok salah?"

Tentu tidak bisa dikatakan demikian juga.
Karena berkenaan dengan Q.S Al Maidah itu, ada beberapa penafsiran yang berlaku atasnya. Pemimpin yang dimaksud adalah Imam (yang secara utuh dijadikan panutan dalam menjalankan hubungan dengan Maha Pencipta), sementara Ahok sebagai Gubernur lebih kepada fungsi manjerial administratif yang tugas dan wewenangnya diatur dalam undang-undang. Dalam tahap ini, Ahok bukan sebagai pemimpin (secara utuh),tapi hanya sebagai pelaksana fungsi manajemen.

Lalu, upaya 'tabayyun' berikutnya adalah mendengar pebjelasan langsung Ahok maksud dari pernyataannya yang ambigu. Dan apa yang didapatkan?

Ahok jelas tak memaksudkan bahwa Al Qur'an yang membodohi. Ia hanya mencoba menjelaskan bahwa agama kadang dijadikan sebagai alat politisasi, seperti yang dimaksudkan oleh Marx. Agama memang kerap kali disalahgunakan oleh orang tertentu untuk membodohi.

Kita bisa melihat contoh kasus yang mencuat akhir-akhir ini. Aa Gatot Brajamusti dan Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah dua orang yang telah dengan nyata mempermainkan agama untuk membodohi manusia lainnya. Dan lihat betapa banyak yang akhirnya tertitpu.

Lalu apakah tafsir Q.S Al Maidah 51 itu salah?

Ini pun tak bisa dikatakan demikian. Karena dalam beberapa persoalan ada ulama yang menyatakan bahwa penafsiran ayat itu berkenaan dengan semua jenjang pemimpin, baik fungsional administrasi, manejerial ataupun sebagai pemimpin agama. Itu penafsiran yang juga benar menurut penafsirnya. Kita tak bisa menyalahkannya secara langsung.

Saya teringat tulisan Prof. Harun Nasution dalam sebuah bukunya, Islam Rasional. Disana beliau menjelaskan bahwa universalitas Al Qur'an adalah begitu banyaknya penafsiran terhadap ayat-ayatnya. Ada yang jelas terang benderang, ada yang tersirat menguratkan makna. Terserah mau pilih yang mana. Tapi, memaksakan kehendak penafsiran atas penafsiran yang lain adalah sebuah kekeliruan.

Marilah kita berlindung pada Tuhan, semoga apa yang ditafsirkan dipahami masing-masing tentang ayat itu bisa dipertanggung jawabkan sendiri. Tapi jauh di atas itu semua, bahwa Al Qur'an menjelaskan bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Karenanya jangan mencederai kemanusiaan.


Perempuanku

Perempuanku

Aku melukis dari titik-titik imaji ini.
Sejenak terperangah dengan hitam yang datang memeluk terang.
Hanya petang.
Dan titik-titik imajiku bersatu menjadi hitam.

Aku mengeja rindu di titik-titik pusara waktu.
Menghitung-hitung rindu yang kupunya untukmu.
Jika rindumu 1000, aku punya 1001 untukmu.


Kamis, 06 Oktober 2016

Merawat Kerinduan

Merawat Kerinduan

Bersyukurlah untuk perasaan yang kita miliki.
Untuk rindu yang terjaga dan dirawat dalam hati.
Untuk ketabahan yang terus kita jalani.
Pada harapan yang terus kita percaya untuk dinanti.

Perjuangan yang tak sebentar rasanya.
Kutahu ada rapuh atas langkah yang kita usung bersama.
Kita pernah beberapa kali mengambil jeda.
Namun, kita tak berhenti untuk mengulur asa.

Tetaplah percaya pada perasaan.
Saling menjaga atas kerinduan.
Merawat kasih dalam harapan.
Pada apa yang kita ikrar dalam komitmen.

Seperti itulah memang mencinta.
Seperti inilah memang merindu.
Kita harus tetap percaya.
Seperti dua sayap yang selalu menjaga untuk mengepak.


Rabu, 05 Oktober 2016

Sebuah Perjalanan Menenteng Takdir

Sebuah Perjalanan

Apakah kita berkehendak atas semua pilihan?
Untuk setiap langkah yang telah kita jalani hingga hari ini.
Aku merenung di tepian senja sore ini.
Berusaha meraba jawaban yang mungkin kutemukan dari bias jingga yang melambai.

Perjalanan yang tak sebentar ternyata.
Dan kita, dua insan yang berjalan ini tetap beriringan.
Meskipun tak sedikit kesempatan satu diantara dua pasang kaki ini pernah mencoba berlari lebih dulu.
Tapi sepasang yang lain mengejarnya untuk tak tertinggal dan meninggalkan.

Tetaplah disini, kita berdampingan, berjalan menelusuri sisa perjalanan yang ada.
Berdua beban terasa ringan, berdua perjalanan lebih menyenangkan.


Membeli Sebuah Pertemuan

Membeli Pertemuan

Aku termangu menatap senja yang temaram.
Tak menjingga seperti senja di sebuah pertemuan.
Air mata langit yang menitih sore membasahinya.
Tapi tetap ada rindu sebagaimana kemarin.

'Aku ingin membeli sebuah pertemuan', kataku pelan.
Sebatang pohon kering yang masih lembab hanya diam.
Tanah halaman yang basah pun tak berbicara.
Hanya awan berarak yang masih terlihat bergerak.

'Aku ingin membeli sebuah pertemuan' kataku berbisik pada diri sendiri yang mulai termangu menatap senja yang tak menjingga.
Batang pohon masih terdiam, tanah basah, dan awan yang berarak tak menimpali.

'Aku ingin membeli sebuah pertemuan', kataku sebagai do'a pada Dia pemilik senja yang tak menjingga seperti senja pada sebuah pertemuan.
Aku ingin bisa membeli sebuah pertemuan seperti suatu senja yang menjingga di sore itu.
Senja yang ada aku dan kau disana.


Selasa, 27 September 2016

Kelak Nanti

Kelak Nanti...

Kelak kaki-kaki ini harus lebih kuat.
Sebab bukan hanya untuk menopang raga diri.
Ia harus mampu memikul beban sambil tetap berjalan.
Kaki-kaki yang menumpu ke dunia sambil menggendong mimpi-mimpi.

Kelak hati ini harus lebih tabah, bersabar menghadapi gejolak.
Sebab kapal tak lagi dibawa sendiri.
Gelombang menggulung senantiasa siap menerjang.
Kendalikan kapal agak tak karam.

Kelak tangan ini harus lebih gesit.
Sebab tak lagi menyuapi diri sendiri.
Tanggung jawab diemban untuk digenggam, bukan sekedar dikepal.
Tangan yang harus mampu mengusap luka, menghapus air mata.

Kelak, cinta kita harus lebih besar.
Cinta yang senantiasa bertumbuh diantara riuh gemerlap.
Dalam sunyi kesederhaan.
Cinta yang meyakinkan kita untuk terus berjalan.

Kelak, kita akan terbangun di pagi hari lalu mendapati sebuah senyum yang merekah dan menyadari ini tak lagi mimpi.
Aku akan menatap matamu lebih dalam dari kemarin.
Menebus segenap rindu yang aku jatuhkan di matamu.


Jumat, 23 September 2016

PILKADA DKI: Poros Cikeas dan 'SBY Syndrome'



Saya adalah orang yang paling menunggu hasil keputusan di Cikeas saat SBY menganggap PILGUB DKI adalah mini PILPRES dan mengundang Pimpinan Partai lainnya (PPP, PKB dan PAN) datang ke Cikeas.

Amien Rais bahkan sesumbar akan ada kejutan yang dihasilkan dari Poros Cikeas. Setelah digodok 2 hari akhirnya muncul pasangan nama. Anak Sulung SBY 'dikorbankan' untuk maju menantang Ahok. Keputusan yang premature dan sangat dipaksakan.

Kenapa Premature dan dipaksakan?

1. Agus Yudhoyono adalah Perwira aktif yang tentu masih lebih dibutuhkan oleh kesatuannya dibanding mengurus politik. Saya tidak bisa menemukan sebuah niatan tulus dari seorang Prajurit TNI yang masih aktif (bahkan dikata masih muda dengan potensi karir cemerlang) mau meninggalkan sumpah setia dan kesatuannya jika bukan karena tergiur tahta dan kuasa.

2. Sebagaimana hasil survey semua Lembaga Survey, tak pernah ada nama Agus Yudhoyono yang diusulkan untuk menentang Ahok agar bisa mengalahkannya. Harus diingat bahwa 'Politik itu adalah hitungan matematis yang kaku' meskipun juga dilain sisi sebagai sebuah seni yang begitu lentur dan abstrak (tapi ini dari segi strategi). Entah pertimbangan seperti apa sampai ke 4 Partai itu memutuskan nama Agus? Saya menduga itu adalah 'SBY Syndrome' (SBY Syndrome adalah sebuah kondisi dimana yang mengalaminya masih menganggap SBY sebagai orang yang berkuasa dan punya pengaruh besar sehingga keputusannya pasti benar).

3. Sylviana Munir, seorang perempuan yang digadang mendampingi Agus Yhudoyono. Masih ingat sebuah tendensi seorang Amien Rais terhadap keputusannya agar tak memilih Ahok dikarenakan sebagai Perintah Agama? Lalu bagaimana dengan posisi perempuan untuk menjadi Pemimpin? Bukankah dalam sebuah kondisi Perempuan baru boleh dimajukan jika tak ada yang lebih pantas dari dia? (Ini jika menggunakan logika yang sama saat melihat Ahok dari sisi agama Amien Rais). Jadi, apakah kejutan ini dibolehkan Amien Rais?
Sangat mungkin terpaksa. Toh, PAN disini dalam posisi tak memiliki nilai tawar karena hanya punya 2 kursi di DKI.

4. Poros Cikeas bukan bagian dari Koalisi Gerindra-PKS. Padahal semua pengamat telah memberikan pendapatnya bahwa Ahok hanya bisa (meskipun kemungkinannya kecil) ditumbangkan jika PILKADA DKI 'head to head'. Membuat pertarungan ini menjadi 3 poros, maka selesailah sudah setiap hitungan kemenangan di DKI. Masyarakat umum dan pengamat pasti tahu, kecuali mereka yang masih terus bermimpi karena sebuah 'SBY Syndrome'.

Pada akhirnya, kejutan yang dimaksud Amien Rais menjadi menggelikan. Dan keseriusan SBY yang menganggap PILKADA DKI sebagai mini PILPRES telah menguak sebuah fakta bahwa ia masih ingin berkuasa kembali. Dikorbankannya Anaknya akan menjadi sebuah catatan penting dalam dunia kemiliteran bahwa Godaan menjadi Gubernur DKI begitu besar dan menakutkan. Pantas Ahmad Dhani, Haji Lulung dan Bang Yusril 'ngebet' juga ingin jadi DKI 1.

Terakhir bahwa, kadang apa yang sangat ditunggu-tunggu ternyata 'TAK MENGEJUTKAN' sebagaimana 'KEJUTAN,' yang ditunggu.


Senin, 19 September 2016

Mempercayai Harapan

Mempercayai Harapan

Hanya segelintir yang tahu bagaimana kita bersabar menenun perasaan.
'Kenapa kau masih bersikeras merawat harapanmu?', tanyamu ketika itu.
Aku tertegun, merenung sendiri memikirkan pertanyaanmu.
Aku tak tahu alasannya, tapi aku hanya mempercayai harapan itu.

Bagimu aku terlalu nekat mempertaruhkan banyak hal.
Tapi itu adalah keyakinanku, itu harapan yang kupercaya.
Sebab aku tak ingin mengenangmu di sisi hujan yang menitih.
Aku ingin bersamamu menanti pelangi saat hujan berhenti.

'Apakah takdir akan bersikap baik untuk kita?'
'Ya', takdir akan selalu baik bagi mereka yang terus mempercayai harapannya.
Aku percaya pada mantra-mantra yang dilesatkan ke langit.
Mantra yang akan menjaga harapan kita.

'Kenapa kau masih ingin bertahan?'
Menjadi sulit bagiku untuk bisa pergi.
Seakan kakiku mengalami kelumpuhan jika berpikir untuk melangkah.
Aku tertawan pada rindu yang belum usai untukmu.

Kenapa kau masih disini bersamaku?
Sebab langkah yang kau ayungkan tak pernah beranjak dari bayanganku.
Kita telah dirawat dari mantra-mantra yang melesat ke langit.
Sebab aku selalu yakin pada harapan yang ada.


Sabtu, 17 September 2016

Aku dan Sepasang Sumpit

Aku dan Sepasang Sumpit

Sepasang sumpit berdiam kaku di atas meja.
Tak ada kata atau sekedar senyum.
Mereka masih saja terlihat beku.
Hingga sebuah tangan menggerakkannya keluar.

Sepasang sumpit yang kaku tak lagi diam beku.
Sebuah tangan menariknya, menggerakkannya.
Sepasang sumpit saling bertemu.
Saling menjaga menunaikan tugasnya.

Seperti itulah sepasang sumpit yang beku.
Mereka diam sampai sebuah tangan mempertemukannya.
Hanya mematung bisu.
Sebuah tangan mempertemukannya.

Sumpit itu tak bisa sendirian.
Ia selalu tercipta berpasangan.
Mereka beku sampai sebuah tangan mempertemukannya.
Seperti aku, sebuah tangan mempertemukan dengan dirimu.


Selasa, 13 September 2016

Kita Pejalan yang Terus Melangkah

Kita, Pejalan yang Terus Melangkah

Kita adalah pena-pena Tuhan yang menulis kisah pada waktu.
Kita adalah bagian puzzle yang saling menemukan bentuknya.
Kita adalah tapak-kaki yang terus berjalan pada kehidupan.
Kita adalah jejak masa lalu yang melangkah menuju mimpi-mimpi.

Kita pembelajar yang terus berusaha paham.
Kita mengeja waktu untuk menjadi arif.
Kita adalah komitmen yang terus dijaga dan dirawat.
Kita adalah kesabaran yang telah melewati banyak ujian.

Kita bisa sampai sejauh ini melangkah.
Kita mengarungi jejak yang retak.
Kita berpegang pada mimpi.
Kita ditopang oleh harapan.

Kita selalu percaya pada yang termaktub.
Pada jalur yang membuat kita melangkah.
Pada impian yang membuat kita terus berjejak.
Kita adalah prasasti masa lalu yang di masa kini.

Marilah, terus melangkah.
Terus belajar. Terus memahami.
Terus sabar. Terus berjejak.


Sabtu, 20 Agustus 2016

Merdeka adalah Pilihan

Merdeka adalah pilihan.

Banyak diantara kita hari ini ikut merayakan upacara peringatan Hari Kemerdekaan NKRI. Satu bentuk kesyukuran atas perjuangan para pendahulu yang pantang hina untuk dijajah. Mereka siap mengorbankan banyak hal bahkan sampai melepas nyawa untuk tidak ditindas.

Ironisnya, bahwa bentuk-bentuk penindasan senantiasa ada di setiap zaman bahkan saat bangsa ini sudah memproklamirkan kemerdekaan. Neo-kolonialisme atau penindasan gaya baru masih saja tetap dirasakan sebagian besar masyarakat kita. Sehingga pekik proklamasi kemerdekaan yang dibacakan setiap tahunnya tidak benar-benar dirasakan.

Jelas, bahwa kemerdekaan bukan pada kondisi kita menjadi mapan dan terlepas dari penindadan saja. Tapi sebagai bagian dari proses untuk terus berjuang melawan penindasan di setiap tempat dan setiap zaman. Penindas-penindas bisa berwajah 'bule' dengan rambut pirang, bermata biru, boleh jadi mereka bermata sipit dan bahkan bermuka sama persis dengan kita. Penindas bisa jadi adalah bagian dan saudara kita sendiri dalam suku dan agama. Mereka kerap hadir di tengah-tengah kita. Ada yang disadari dan ada yang tidak disadari.

Kemerdekaan adalah perlawanan pada penindasan, dalam bentuk apapun. Membela kaum mustadaifain adalah bentuk lain dari pernyataan merdeka.

Dalam konteks kekinian, merdeka adalah upaya untuk terus bergerak bersama mewujudkan kemandirian masyarakat, mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan sosial dan ekonomi. Merdeka juga berarti menolak setiap tindakan kolonialisme (penjarahan SDA oleh sekelompok orang) yang terus berlangsung. Merdeka adalah suara lantang ataupun lirih yang terus mengiring untuk melawan kesemena-menaan. Merdeka adalah pilihan kita untuk tidak tunduk pada kebijakan yang tidak pro rakyat dan merampas nilai keadilan serta nilai kemanusiaan.

Merdeka dalam bentuk lain adalah ikut berpartisipasi membangun dalam skala yang kita mampu. Saling menopang dan mendukung pada kesinambungan mewujudkan masyarakat adil makmur.

Merdekalah sejak dalam pikiran!
Lepaskan semua ikatan, terbanglah bebas. Jangan hiraukan segalanya kecuali kebenaran yang terungkap secara gamblang.


Selasa, 26 Juli 2016

Santoso, Teroris yang Disangka Tidur Bersama 70 Bidadari

Tidur Bersama 70 Bidadari

Betapa miris, ironis dan lucunya postingan dari satu akun di Facebook ini. Ia menduga bahwa Santoso (Pemimpin MIT) yang mati tertembak sedang tidur dengan 70 (biasanya 72) bidadari.

Ini semakin menambah daftar panjang keyakinan mereka tentang balasan 72 Bidadari bagi para syuhadah.

What? Saya merasa malu membaca postingan seperti ini. Kenapa mereka begitu suka menonjolkan 'Islam' dengan perilaku 'seksual' yang rupanya juga belum usai di dunia, sampai mereka mencoba mengimingi balasan bagi mujahid* (*mujahid yang dimaksud mereka adalah membunuhi yang berbeda pandangan dan dianggap kafir oleh kelompok mereka sendiri) dengan hal yang sifatnya sangat sensual seperti ini.

"Mayat Santoso berkeringat dan wangi karrna sedang tidur bersama 70 bidadari." Bisa anda bayangkan sendiri bagaimana keringatnya keluar dan wangi? Itu karena dia sedang bersama 70 bidadari. Bayangkan lagi seperti apa bidadari itu?
Nah, mengerti khan kenapa bahkan sampai mayatpun masih berkeringat?

Saya teringat pada sebuah diskusi di beberapa tahun lalu. Seorang teman pernah terlibat di sebuah lembaga kampus. Dalam beberapa kali tarbiyah dengan ustadznya, membuatnya menjadi gigih untuk mengejar bididari. Dia berubah drastis, ebtah berapa derajat. Keinginannya untuk mayi sebagai syuhadah selalu diceritakannya. Ya, dia ingin mendapatkan 72 bidadari di akhirat kelak katanya.

Itu teman saya.
Teman yang sama marah jika ada yang 'menghina' islam sebagai agama yang 'lewat poligami' dianggap sebagai agama yang 'haus seks'. Mereka sangat marah saat ada yang menyampaikan itu.

Tapi, di lain sisi mereka pun percaya bahwa di akhirat mereka akan diberikan pelayanan ekstra dengan 72 bidadari jika mati sebagai mujahid. Saya membayangkan betapa hebat imaji seksualitas mereka. Menakutkan saya bilang.

Mereka masih belum selesai dengan kondisi dunia dan berharap hasrat-hasrat yang dikekang di dunia, terbalaskan di akhirat. Tujuan mereka ke syurga lebih kepada bidadari. 72 bidadari tepatnya.

Mungkin seperti itu pulalah motivasi seorang Santoso. Dia gigih mengangkat senjata agar bisa bersanding bersama 72 bidadari.

Dan faktanya bahwa imingan 72 bidadari ini beredar sebagai motivasi para pelaku teror dan bom bunuh diri, termasuk anggota ISIS. Maka wasfadalah jika ada seorang Pemuda yang bercita-cita dapatkan 72 bidadari di akhirat nanti. Bisa jadi, anda akan dijadikan target untuk memudahkan mencapai tujuannya itu dengan terlebih dahulu melabeli anda sebagai Kafir! Waspadalah.

Dan jika bertemu demikian, tanyakan padanya, "Apakah di akhirat Tuhan juga sediakan obat kuat?"


Selasa, 19 Juli 2016

Pokemon Go, Jonru dan Sebuah Anomali

Pokemon Go, Jonru dan Sebuah Anomali

Menjadi marak postingan tentang Pokemon Go, game yang baru saja rilis awal bulan ini. Sebuah fakta mencenangkan bahwa belum sebulan sudah dimainkan puluhan juta orang di seluruh dunia. Termasuk Indonesia.

Kenapa akhirnya saya merasa perlu menanggapi ini. Hal itu dikarenakan tersebarnya postingan dengan asumsi-asumsi yang tak terkira mengenai game ini. Ada yang menyebarkan bahwa 'Pokemon artinya Saya Yahudi dalam bahasa Syriac' ataukah sebuah analisis dari seorang yang mengaku dekan fakultas psikologi di Universitas di Jogja. Bahkan sampai dikaitkan bahwa ini menjadi sebuah agenda inteligen untuk menangkap citra suatu wilayah. Katanya.

Lalu, apa hubungannya dengan Jonru?
Iya, saya menyerempet nama itu. Sebuah nama yang tentu pernah kita temui di media sosial belakangan ini semenjak Pilpres 2014. Meskipun saya tidak mengikuti fanpage ataupun akun media sosial miliknya, tapi saya biasa mendapati postingannya berseliweran di beranda saya dibagikan oleh teman-teman yang jadi fansnya. Ada juga yang membagikannya sekedar untuk jadi hiburan atas 'kemaha tahuan jonru'. Ya, dia maha tahu hampir semua persoalan di dunia ini. Kemaha tahuan itu menjadi tenar, mengingat dia hanya seorang penulis buku 'lelaki di seberang jendela' atau 'cara sukses jadi penulis' serta trainir penulis yang dihadiri puluhan (ribu) peserta ketika itu. Selain itu, dia juga rupanya endorse produk melalui fanpagenya. Tak tanggung-tanggung, semua produk bisa diiklankan disana, termasuk produk cina yanh sering negaranya sering dihinanya.

Saya menyeret nama Jonru kesini, lantaran adanya kemiripan dalam pola penyebaran menyangkut Pokemon Go ini. Ada pola 'kemaha tahuan' disana. Bayangkan saja, Seorang Psikolog (meskipun menurut sumber ini tidak valid jika dia benar dekan Fakultas Psikolog) memberikan analisis teknologi yang menyangkut misi intelejensi. Sangat hebat sepertinya jika kita sekikas membacanya. Tapi, jika dicermati maka kita bisa bertanya, bagaimana bisa seorang psikolog membahas mengenai misi intelejensi yang menyangkut teknologi?

Pertahanan Negara.
Saya yakin di setiap negara ada bidang kementerian (atau apalah namanya di negara lain) yang fokus pada persoalan pertahanan negara. Termasuk serangan dalam bentuk cyberg. Saya berpikir, apa 'iya' Tim Cyberg Militer (Pertahanan) setiap negara tak mampu membaca misi intelejensi (seperti yang dianalisis 'Sang Dekan') seperti itu. Malah orang awam (saya menyebutbya awam karena spesialisasinya adalah Psikolog, bukan Ahli Teknologi) yang menganalisis sedemikian dalam. Mungkinkah ada kerjasama Cyberg Militer setiap negara dengan Pemilik Game 'Pokemon Go' ini?. Sangat lucu, bukan? Seorang Psikolog berbicara sistem intelejensi dan langsung dipercaya oleh netizen lalu disebar beramai-ramai penuh percaya diri. Ini sangat Jonruis namanya.

Bagaimana lagi, Pokemon artinya 'Saya Wahyudi"? Helooooo... Ini juga langsung disebar beramai-ramai. Seakan kita lupa untuk berpikir dan merenungkan. Apa benar Pokemon yang merupakan kepanjangan dari 'Pokect Monster' itu berarti 'Saya Wahyudi"? Mengingat bahwa nama Pokemon ini rilis sudah sangat lama. Bahkan ini film kartun kesukaan saya dahulu. Kenapa bukan dari dulu yah makna Pokemon ini diteliti. Apalagi, buat apa coba ada peneliti bahasa yang mau habiskan waktunya hanya untuk sebuah kata yang hampir semua orang di dunia sepakat bahwa itu hanya sebuah akronim "Pocket Monster"?. Lagi-lagi, ini sangat jonruisme.

Melihat banyaknya info negatif yang menyerang 'game' ini maka barangkali benar bahwa kita bisa mengambilnya sebagai pertimbangan. Tapi, bukan karena sebuah ilusi melarang karena bahsa syriac mengartikannya sebagai 'Saya Wahyudi' atau sebuah analisis (kaum awam) yang mengatakan agenda itelejensi yang belum terbukti. Saya akan menerima pelarangan itu jika dikatakan berbahaya karena membuat kecelakan di jalan akibat tidak fokus dan segala macamnya yang berhubungan dengan memberi kesempatan terjadinya tindak kriminal. Atau karena akan menggeser nilai budaya dan segala macamnya. Itu alasan yang logis.

Sebuah Anomali...
Game ini bagi saya sebuah anomali. Dimana selama ini sebuah game dibuat untuk membuat para 'gamer' berdiam diri di suatu tempat berlama-lama untuk bermain. Membuatnya menikmatinya sendiri di rumah, di warung internet, game center atau di rumah. Kita jadi malas bergerak dan beranjak dari tempat bermain.

Tapi, Pokemon Go ini menjadi sebuah anomali dimana 'memaksa' para 'gamer' berjalan keluar rumah untuk mencari titik yang ditandai melalui peta spasial jalan. Gamer harus berjalan ke radius titik itu untuk memperoleh aitem ataupun melatih Monster yang (telah) dan akan ditangkap. Berdiam diri di suatu tempat sama artinya tidak memainkan game ini.

Tak hanya itu. Game yang ada sebelumnya cenderung membuat pemain asyik sendiri dan makas sosialisasi dengan lingkungan sekitar. Tapi 'Pokemon Go' seakan memaksa kita untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang baru di luar rumah, di taman, di halaman masjid, gereja dan tempat lainnya. Ini bagus untuk pertumbuham mental sosial. Karena menurut sebuah penelitian bahwa bermain game itu membuat seorang lebih menyukai kesendirian dan sepi. Tapi ini mendobrak kebiasan itu.

Terakhir, bahwa menjadi hal yang wajar saat ada yang merasa terganggu dan menolak game ini di tengah banyaknya orang yang merasa senang memainkannya. Itu bukan kesalahan bahkan jika mereka yang tak suka ingin melarangnya. Hanya saja, menolak game ini dengan alasan "Saya Wahyudi" atau "Misi Intelejensi" yang tidak terbukti menjadi sesuatu yang kurang 'fair'. Apalagi sampai menyatakan bahwa permainan ini adalah 'Pokemon Go (blok)'. Karena rasanya tak ada orang yang begitu go (blok) mau membangun game ini selama 20 tahun (menurut pengakuan pembuatnya). Ini hasil penelitian menggunakan analisis spasial ruang.

Tambahan, bahwa pada kesempatannya kita akan mengerti bahwa antara yang membuat, menerima dan menolak game ini akan ada hubungannya dengan bisnis. Bisa jadi mereka menolak karena game ini menjatuhkan ketenaran game (bisnis) lainnya. Dan kita yang menikmatinya karena merasa senang atas permainan ini. Dan kesenangan itu kadang memang membutuhkan biaya untuk menikmati, kita semua tahu itu.


Selasa, 05 Juli 2016

AHOK, AHER dan Pelarangan Takbir Keliling

Pelarangan takbir keliling akhirnya menjadi isu yang dipolitisasi atas nama agama. Di Jakarta 'Pelarangan Takbir Keliling' bukan kali ini saja. Sebenarnya Gubernur DKI sebelumnya pun melarang dikarenakan hampir setiap takbir keliling terjadi aksi tawuran antar warga. Mengganggu dan membuat kemacetan.

Tapi, hari ini semua berubah karena Gubernurnya adalah Ahok. Bukan Aher yang dianggap beriman karena berhasil menganggarkan dana 1 trilliun rupiah untuk bangun mesjid mewah sebagai solusi bagi wilayahnya Jawa Barat yang menjadi Provinsi Miskin di Indonesia. Aher adalah muslim, bahkan dianggap ustadz oleh pemuja rahasianya. Saat Aher sedih mencari dana untuk tambahan penanganan sampah, Ahok diserang bertubi-tubi karena membebaskan lahan untuk dibangun RS khusus kanker.

Salahnya Ahok adalah dia bukan muslim sehingga setiap kebijakannya dianggap untuk mendeskriditkan islam. Pelarangan Takbir Keliling yang sebenarnya (harusnya) dianggap bid'ah bagi mereka yang teriak karena tak pernah dicontohkan Nabi Saww takbir keliling dengan konvoi pakai unta menjelang Idul Fitri, ini tetap menjadi salah Ahok.

Anehnya, mereka yang teriak (nyinyir) itu menutup mata atas apa yang juga menjadi kebijakan Aher di Jawa Barat. Disana masyarakat muslim pun diminta takbir di masjid saja, tidak dianjurkan konvoi. Lebih aman dan tidak mengganggu. Itu karena Aher adalah muslim. Dia tak bersalah. Dia menjadi [di]BENAR[kan].

Takbir keliling juga ikut disandingkan dengan tahun baru, cap gomeh dll. Mereka lupa bahwa tahun baru, cap gomeh dll itu (dianggap oleh mereka sebagai pekerjaan orang kafir). Lalu mereka seakan tak ingat tentang dalil yang sering diteriakan ini "barangsiapa mengikuti suatu kaum, maka dia serupa kaum itu".

Mereka menuntut begini, 'masa tahun baru boleh, cap gomeh boleh, perayaan barongsai dll boleh, takbir keliling 'tidak' boleh'. (Kelihatan khan siapa yang malah ngotot mau meniru kegiatan yang dianggap kebiasaan kaum kafir oleh mereka sebdiri).

Yah, kembali lagi bahwa satu-satunya alasan 'logis' (bagi mereka) adalah karena di DKI itu Gubernurnya AHOK, bukan AHER. Ahok kafir dan Aher muslim. Meskipun dengan kebijakan yang sama, AHOK SALAH dan AHER BENAR.

Semakin kelihatan bukan bagaimana cara mereka beragama? Mengaku muslim tapi selalu menyandarkan penilaian terhadap orang lain dengan prasangka buruk mereka. "Ahok melarang takbir keliling, ingin mengucilkan islam".

Betapa primitifnya mereka beragama seperti kata August Comte. Sangat politis seperti menurut Karl Max. Dan hanya dibibir saja seperti kata Tuhan.

"Janganlah karena kebencianmu terhadap sesuatu, membuatmu tidak berlaku adil".


Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.