Selasa, 28 Agustus 2018

Bencana Itu di Lombok atau di Hati Kalian?

Bencana Itu di Lombok atau di Hati Kalian?
Sebenarnya saya enggan menuliskan ini dan lebih memilih untuk menyerukan fokus melakukan 'recovery' atas korban terdampak gempa di Lombok, NTB. Tapi, semakin banyak yang seolah-olah peduli Lombok namun di lain sisi menyalahkan Pemerintah Pusat yang dengan segala upaya telah ikut dalam penanganan gempa Lombok.
Hal yang jadi bahasan adalah status bencana. Mereka mendesak agar status bencana Lombok dinaikkan menjadi status Bencana Nasional. Agar apa? Supaya Pemerintah Pusat total membantu Lombok. Bukankah itu sudah dilakukan? Yah bagi mereka belum cukup. Harus dinaikkan menjadi bencana nasional.
Lalu apakah perlu status bencana Nasional itu? Sepengelaman saya yang pernah ikut pelatihan Pramuka Peduli (Regu Tanggap Bencana di Pramuka) 2011 silam, pemateri dari BASARNAS mengungkapkan bahwa status bencana itu diatur. Untuk status bencana nasional kriteria utamanya adalah komando ditangani Pemerintah Pusat, dalam artian status ini dinyatakan apabila Perangkat Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten) tidak bisa berfungsi sebagaimana seharusnya dalam menanggulangi bencana yang terjadi di daerahnya. Fix, jadi status bencana nasional itu dilihat dari siapa yang mengambil komando selain dari faktor lainnya.
Perihal status Lombok yang hari ini menjadi polemik. Seolah-olah semua menjadi gusar akan status bencana Lombok meskipun mereka tak tahu bahwa status bencana itu hanya dilihat dari siapa yang mengomandoi. Seakan lebih penting status bencananya ketimbang fokus penanggulangan daerah terdampak.
Untuk menjawab kegusaraan itu, Pemerintah telah memberi penjelasan mengenai status gempa lombok yang belum dinaikkan menjadi bencana nasional. Faktor ekonomi bagi wilayah sekitar yang tak terdampak gempa akan dipengaruhi jika status bencana nasional ditetapkan. Dan meskipun Pemerintah Pusat telah menyatakan bahwa bukan statusnya yang penting tapi upaya penanggulangannya, masih saja belum mau dimengerti. Mereka tetap menuntut status dinaikkan.
Terakhir, beredar Surat dari Menteri Dalam Negeri yang meminta dana bantuan dari setiap daerah (APBD) untuk ikut menanggulangi bencana Lombok. Tapi apa yang terjadi? Surat itu nyatanya tetap dijadikan alat untuk mencibir Pemerintah Pusat. Mereka bilang, ini alasannya sehingga status tidak dinaikkan menjadi bencana nasional. Pusat kekurangan uang dan meminta ke daerah, katanya. Itu seolah memalukan, menurut mereka.
Lah?. Apakah salah jika Pemerintah Pusat melakukan koordinasi ke tiap daerah seperti itu? Bukankah ini malah berarti bahwa Pemerintah Pusat lewat Mendagri telah mengambil komando (seperti status bencana nasional) untuk mengkordinasi secara nasional penanggulangan bencana di Lombok? Bukankah ini yang ditunggu mereka?
Tapi kenapa tiba-tiba surat itu malah dicibir? Salahkah Pemerintah Pusat meminta dana APBD Penanggulangan bencana ke setiap daerah yang ada untuk membantu lombok? Bukankah setiap daerah memang mendapat dana dari APBN (menjado APBDnya) untuk urusan penanggulangan bencana? Saat ini banyak daerah yang hampir tak ada bencana di wilayahnya, artinya dana penanggulangan bencana yang disiapkan pasti tidak terpakai. Jadi apa salahnya meminjam uang itu untuk menanggulangi Lombok? Bukankah ini justru seolah menjadi bencana nasional karena setiap daerah secara nasional sudah diminta ikut membantu meskipun Presiden belum menetapkan statusnya?.
Mungkin benar kata Presiden, statusnya tidak penting yang penting fokus penanganannya. Dan sekarang penanganannya sudah diambil alih pusat, satu diantaranya lewat Mendagri. Lalu, Menkopolhukam diutus langsung kesana mengomandoi dan langsung melaporkan ke Presiden. Beberapa waktu lalu, Presiden pun telah kesana sampai menginap di lokasi pengungsian. Tapi itu masih belum cukup untuk tidak mencibir Pemerintah Pusat.
Sekarang, kalau mereka mau minta status bencananya jadi nasional agar komando di tangan Pusat. Nah, sekarang sudah diambil komando dari Pusat untuk menanggulangi bencana secara nasional dengan melibatkan semua daerah yang punya dana tak terpakai.
Jika dengan ini mereka masih meminta status bencana dinaikkan. Maka bolehlah kita bertanya pada mereka, sebenarnya yang terjadi bencana itu di Lombok atau di hati dan otak kalian?
****
Maafkan tulisan ini.
Semoga kita kembali fokus untuk recovery korban berdampak bencana. Bukan malah saling menyalahkan siapa yang harus lebih bertanggung jawab. Dan seolah kitalah yang paling besar membantu.
#prayforlombok
#recoverylombok
#bersatuIndonesiaku

Selasa, 07 Agustus 2018

Interpretasi Perang Badar Ala Jokowi, Perlawanan Saat Musuh Datang

Interpretasi Perang Badar Ala Jokowi, Perlawanan Saat Musuh Datang


Perang Badar yang dilakukan Nabi Muhammad Saww di masa awal membawa risalahnya adalah sebuah perlawanan terakhir saat tak ada pilihan untuk lari. Tuhan yang selalu mengajak manusia untuk hidup dalam damai melalui utusannya, pada satu titik tertentu membolehkan melakukan perlawanan. Perang Badar adalah contoh, bagaimana saat Nabi telah menghindari konfrontasi fisik dari musuh-musuhnya. Baginda bersama pengikutnya malah mencoba untuk beranjak dari Mekkah ke Madinah, peristiwa ini dikenal dengan Hijrah. Bersama kaum muhajirin Nabi menghindari musuhnya. 

Tapi kenyataannya, sebagaimanapun Nabi mencoba menghindar. Para musuh terus saja mengusik, memfitnah dan ingin mencelakai Nabi. Puncaknya para musuh bersatu dalam ribuan pasukan untuk menyergap Nabi. Dalam kondisi ini, saat tak ada lagi pilihan untuk lari, maka akhirnya diperbolehkan untuk melawan musuhnya. Meski dengan hanya 313 pasukan, dengan pertolongan Tuhan perang dimenangkan. Itulah perang badar. 

***
Nah, belakangan malah muncul orang-orang seperti Neno Warisman yang mengampanyekan tagar 2019 Ganti Presiden dan mengibaratkannya seperti perang badar. Ia mencoba membakar semangat pejuangnya untuk membara memenangkan pilpres. Bukan kali ini saja, Amien Rais pun pernah memakai istilah perang badar saat menganalogikan Pilpres yang dimana ia ikut menjadi Tim Pemenangan. Bahkan lebih parah, AR menyebut Partai di kubunya sebagai Partai Islam dan di luarnya Partai Setan.

Tapi semua baik-baik saja bagi kelompok sebelah. Mereka tak ada yang protes penggunaan istilah perang yang ingin mengalahkan musuh serta klaim kubu sebagai yang paling benar.

Hal yang paling saya ingat dan paling lucu pada 2014 silam adalah anggapan bahwa mereka kubu paling beriman dan benar. Mereka bilang bahwa Tuhan akan memenangkan kebenaran, Tuhan selalu bersama orang-orang baik yang berjuang di jalannya. Kenyataannya, Jokowi-JK menang pada 2014 silam. Lantas apakah do'a mereka terkabul? Bagi mereka mungkin saja Tuhan keliru saat yang menang adalah yang dianggap musuh.

Tak hanya disitu, bahkan mereka suka membawa analogi lain. "Kalau hanya membangun, maka Fir'aun pun membangun". Kira-kira apa maksudnya ini? Ditambah lagi tuduhan-tuduhan rezim yang dianggap memusuhi islam padahal dekat dengan pesantren. Dianggap memusuhi ulama padahal takzim pada ulama sampai diundang ke istana.

Tapi, kenyataannya memang semenggelikan itu. Di saat pak Jokowi menginterpretasikan makna perang badar. "Jangan mencari musuh, hindari fitnah, jangan sebar hoax. Tapi (kalau segala upaya itu sudah dilakukan, namun musuh tetap saja mengusik) kita juga harus berani melawan. Jangan lari". Jadi bukan mengajak atau memprovakasi sebagai mencari permusuhan. Bukan. Itu hanya sekadar ajakan bertahan. Sebab di tengah derasnya api fitnah, kita harus melawan mereka agar tidak membakar lebih banyak lagi akal-akal sehat masyarakat. 

Terakhir, jika pernyataan Jokowi berikut dianggap provokasi.

"Jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah. Tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang lain. Tapi kalau diajak berantem juga berani."

Bagaimana dengan pernyataan Neno Warisman dan AR yang merepresentasikan diri sebagai kubu yang benar dan lawannya (Kubu Jokowi) musuh islam? Apakah mereka mengabaikan banyaknya ulama di kubu Jokowi? Dengan apa kalian menganggapnya? Proposalkah? Atau proyektor? Itu jelas PROVOKASI.

Minggu, 05 Agustus 2018

Masalah Vaksin: Ikhtiar vs Kepasrahan Diri yang Tak Pasrah dan kehalalan yang Lebay

Masalah Vaksin: Ikhtiar vs Kepasrahan Diri yang Tak Pasrah dan kehalalan yang Lebay
Tiba-tiba jagad media dibuat heboh dengan soalan vaksin. Pro dan kontra menjadi hal lumrah atas apa yang terjadi ini. Tapi mengajak (memprovokasi) masyarakat lain untuk menolak dengan asumsi yang berlebihan juga tidak boleh dibiarkan. Apatah lagi kebanyakan malah menyebar hoax yang intinya ingin menyudutkan pihak Pemerintah yang sedang melakukan upaya vaksinasi (memberi daya kebal) bagi tubuh anak Indonesia untuk bisa melawan virus Measses Rubella (MR). Virus yang teramat berbahaya jika anak tak kebal terhadapnya.
Perkembangan pengetahuan yang terus diteliti oleh Para Ilmuwan Kesehatan atas kasus yang disebabkan virus MR ini intens dilakukan hingga ditemukan terobosan vaksin untuk menangkapnya dengan mengembangbiakkan dalam tubuh anak. Sekadara untuk diketahui, bahwa dalam tubuh anak-anak ada sistem imunitas yang akan aktif untuk membuat anti bodi saat ada virus dalam skala kecil (masih mampu ditangani) masuk dalam tubuhnya. Nah, rekayasa inilah yang diperlukan untuk menciptakan antibodi atas virus MR ini.
Banyak kemudian yang menuliskan seolah-olah dengan penuh kepasrahan, "biarlah Allah yang menjaga anak-anakku dari marabahaya. Dialah sebaik-baik penjaga dan penolong. Dulu kami juga tidak divaksin, tapi baik-baik saja kok.".
Rasanya saya ingin berteriak di telinga orang seperti ini. "Memangnya kau anggap Tuhan apaan?" kalau kau tidak vaksin waktu kecil dan baik-baik saja hingga hari ini ya syukur. Tapi kau harus tahu, bahwa beberpa virus berkembang belakangan dan itu rentan terhadap anak-anak. Entah karena pengaruh ekologi, pola hidup makan instan atau konspirasi, jelasnya virus itu ada dan mengincar anak-anak. Termasuk anak-anak kalian. Tuhan bilang segala penyakit pastinada obatnya, dan ilmuawan telah menemukan bahwa obat yang perlu disiapkan adalah membentuk sistem imun pada diri anak-anak melalui vaksin MR ini.
Saya beri analogi, proses vaksinasi itu adalah mempersiapkan diri bagi yang divaksin untuk kebal atas penyakit yang tidak diharapkan terjadi padanya. Misalnya, kita menggunakan sabuk pengaman atau helm saat berkendara itu semua proses vaksinasi (mempersiapkan diri) menghadapi kecelakan meskipun berharap kecelakaan itu tak pernah terjadi. Tapi jika kecrlakan tetap terjadi, setidaknya kita sudah ikhtiar (berusaha) melindungi diri sehingga bisa selamat atau meminimalkan cidera saat terjadi. Nah, begitulah proses vaksin bekerja. Kita tak tahu bahwa penyakit itu akan menyerang anak-anak kita. Kalau tida diserang yah syukur, tapi kalaupun kenyataannya diserang yah kita sudah mempersiapkannya agar bisa selamat atau paling tidak mengurangi dampaknya. Inilah yang disebut ikhtiar. Berusaha maksimal lalu pasrah. Bukan pasrah tapi tidak pernah berupaya melakukan tindakan yang jelas ada dan tersedia, gratis pula.
Lalu bagaimana dengan kehalalannya?
Ini juga menjadi lucu. Kenapa seolah-olah kita jadi mabuk sertifikat halal untuk sebuah vaksin yang tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit? Lah, selama ini makanan yang kita makan dalam kemasan itu tak semua berlabel halal dari MUI. Lalu apakah berbeda posisinya vaksin ini dengan makanan kemasan lainnya?
Kenapa misalkan saat kita beri anak-anak uang jajan, kita tanyakan apa yang mereka beli? Permen. Apakah permennya sudah ada label halalnya? Kenapa kita tak peduli itu, padahal frekuensi memakan permen bagi anak-anak kita jauh lebih besar dari vaksin yang cuman sekali. Belum lagi makanan kemasan lain. Coklat, mie instan, kerupuk dll. Apakah kita peduli label halalnya sebelum dikonsumsi anak-anak kita?
Saya ingin membidik ke telinga mereka. Coba pahami fiqih agama anda. Bukankah dibolehkan memakan daging babi (yang dianggap haram) dalam kondisi tertentu? Lalu atas dasar apa itu dibolehkan? Tentu karena melihat mamfaatnya untuk menyelamatkan jiwa anda. Sama halnya penggunaan narkoba atau zat bius lainnya. Apakah dalam kondisi normal itu dibolehkan? Tidak. Tapi ini atas dasar pengobatan maka dianggap dibolehkan. Kalaupun misalkan vaksin itu memang mengandung babi, yah bagaimana lagi jika baru itu satu-satunya vaksin yang ditemukan. Bisa jadi itulah manfaat Tuhan menciptakan babi di dunia. Bukan hanya unyuk ditunjuki di hidungnya bahwa si hewan haram.
Sekali lagi, bukankah segala penyakit ada obatnya kecuali tua? Maka itulah obat yang diciptakan orang berilmu (ilmuwan) yang dalam setiap kitab agama diapresiasi.
Terakhir, vaksin MR itu telah dijelaskan tidak mengandung babi. Sama seperti makanan kemasan lain yang juga tidak mengandung babi dan tidak bersertifikat halal. Jadi apa masalahnya? Janganlah terlalu lebay.
Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.