Kamis, 19 Mei 2016

Manusia Bissu, Benang Sejarah Pangkep dan Bone

BONE dan PANGKEP

Selintas ini adalah dua entitas wilayah yang berbeda. Berbeda teritorial tapi siapa menyangka memiliki keterhubungan yang begitu erat. Adalah satu entitas budaya yang begitu masih melekat dan dekat buat keduanya. Budaya yang masih tetap hidup dalam menjaga sejarah kejayaan.

'Manusia Bissu', seperti itu dikenalnya. Komunitas manusia bugis yang masih bertahan di tengah modernisasi yang terus melaju mnggerus zaman. Komunitas manusia yang berada di jender terbelah. Saya menyebutnya terbelah dikarenakan mereka tak mewakili feminin ataupun maskulin secara utuh, mereka mengiris keduanya dalam satu rupa jiwa dan raganya. Mereka hidup dan terus menjaga tradisinya hingga kini. Sungguh sebuah usaha besar dari apa yang telah mereka upayakan untuk menjaga garis sejarah ini.

Manusia Bissu itu ada di Pangkep dan Bone. Pada kedua daerah ini mereka terus menjaga sejarah kejayaan kerajaan bugis masa lalu. Manusia Bissu inilah yang selalu mengingatkanku dengan Bone setiap kali memikirkannya. Bone adalah pusat kerajaan bugis, tempat manusia bissu yang ada di Pangkep berasal.

Pada sebuah kesempatan beberapa tahun lalu, saya sempat berbincang dengan Puang Matoa Saidi (Alm) yang rupanya masih kerabat keluarga saya. Diceritakan olehnya bagaimana Manusia Bissu ada di Pangkep. Katanya, leluhur Bissu dahulu adalah Bissu dari kerajaan di Bone yang mendapat tugas khusus dari Raja untuk mencari sesuatu. Dalam perjalanannya mereka menemukan apa yang dicarinya di Pangkep, tepatnya di Segeri. Tapi datang sebuah banjir yang membuat alat itu terbawa arus dan hilang. Dan karena janjinya pada Raja untuk tidak akan kembali dengan tangan kosong membuat mereka akhirnya tinggal di Pangkep, hingga sekarang.

Mereka secara turun temurun memilih penerusnya. Manusia Bissu tetap hidup hingga kini. Mereka di waktu dulu mendapat kedudukan istimewa di sisi Raja sebagai Penasihat Kerajaan. Mereka dianggap mampu menerjemahkan pesan-pesan langit. Memprediksi waktu memukai bercocok tanam dan memanen. Mereka adalah manusia yang mewakili keperkasan kaum maskulin dan kelembutan kaum feminin.

Setiap kali menyebut dan mendengar manusia bissu, saya selalu teringat dua daerah ini, Pangkep dan Bone.


Kamis, 12 Mei 2016

Dengan Mantan Penjajah Kita Berterima, Kenapa Tidak dengan 'PKI'?


Tentang Isu 'Palu Arit' yang mencuat akhir-akhir ini. Sepertinya benar bahwa kita telah membeo atas apa yang dipelajari di bangku-bangku sekolah. Dan di saat keterbukaan untuk menerima fakta ilmiah itu semakin menampakkan kemajuan, tampaknya ada saja pihak yang selalu merasa terancam atas pemikiran marx dan lenin ini.

Rasanya sudah begitu lama kita bersembunyi di balik penulisan sejarah yang tak berimbang. Warisan cerita yang tanpa disadari memupuk dendam yang membabi buta. Tidakkah kita ingin mengurai sejarah ini dan mempersaksikan kebenaran secara terang benderang?

Apakah lebih memilih merawat dendam yang belum tentu benar ketimbang merekonsiliasi kesalahan masa lalu untuk meluruskan sejarah?

Entahlah, tapi sekeyakinanku tak pernah berubah bahwa tak mungkin si penenteng palu dan arit bisa menciduk, menculik dan membunuh para jenderal berbintang yang dikelilingi prajurit bersenjata laras panjang. Ini propaganda untuk memecah bangsa agar para kapitalis bisa seenaknya menjajakan kakinya di bumi pertiwi. Lihatlah faktanya hari ini.

[Ini hipotesa yang pernah saya tuliskan berkenaan dengan simbol palu arit yang dituduh berbahaya , G30 SPKI Siapakah Dalang Kerusuhannya ?]

Begitu lamanya dendam dipupuk dan dibumbui cerita bahwa PKI pun ikut dalam pembantaian umat islam karena mereka tak mengakui keTuhanan, mereka anti agama. Diantara banyak isu pendeskreditan, isu inilah yang paling kuat pengaruhnya. Ditambah dengan sulitnya mengakses informasi yang valid (juga karena kemalasan mencari), komunis yang disebut anti keTuhanan merebak begitu mudahnya di masyarakat. Tak hanya awam, bahkan para orang yang menganggap diri terpelajar.

Titik terang untuk adanya rekonsiliasi ini memang bukan kemustahilan, tapi juga tidaklah gampang. Selama 32 tahun lebih PKI hingga hari ini masih dianggap sebagai ancaman. Bahkan buku-buku yang berkenaan dengan simbol palu arit ini ingin dimusnahkan. Gencarnya usaha pengupayaan rekonsiliasi pun dibarengi dengan upaya penolakan dari banyak pihak yang tidak mau menempatkan perkara ini dalam sebuah diskursus ilmiah. Tampaknya mereka lebih senang untuk tetap mempercayai keyakinannya bagaimana berbahayanya PKI bagi negeri, lalu melupakan bahwa PKI pernah menjadi satu diantara Partai di negeri ini di awal kemerdekaan.

Sebagaimana kelupaan mereka atas PKI sebagai Partai yang diakui, mereka pun takkan ingin percaya bahwa sederet nama yang jadi pendiri dan pengurus PKI adalah muslim seperti mereka. Bahkan diantaranya keturunan kiyai dan pernah menjadi pengurus Serikat Islam. Bahkan mereka lupa bahwa komunisme pernah menjadi ideologi bersama ideologi lainnya yang disebut NASAKOM (Nasionalisme, Agamais dan Komunisme). Mereka lupa bahwa Bung Karno bersama Founding Father merestui itu. Bahkan itu menjadi akar dari dasar negara.

Jadi, apakah kita masih akan bersikeras menentang pengungkapan sejarah dalam sebuah fakta ilmiah untuk mengungkap cerita sesungguhnya? Masihkah penting bagi kita merawat dendam pada PKI (yang jikapun sejarah itu benar) para pelakunya sudah lama tinggalkan jazadnya. Bukankah kita hari ini malah sudah begitu amat dekat dengan rakyat Belanda, Portugis dan Jepang yang secara nyata pernah menjajah nenek moyang bangsa kita?

Lalu, jika dengan negara itu (Belanda, Portugis dan Jepang) -sebagai organisasi- kita baik-baik saja, lantas apakah masih perlu kita memelihara kebencian yang begitu besar untuk tidak mengurai fakta yang belum tuntas dengan banyak penelitian ilmiah yang menyimpulkan adanya propaganda atas PKI (menyudutkan PKI sebagai Kambing Hitam) untuk memecah belah bangsa? Jika kita masih ingin merawat kebencian pada PKI, maka seharusnya pun kita tak pernah bisa menerima kembali Belanda, Portugis dan Jepang yang sudah menjajah bangsa kita. Tapi, karena kita bisa menerima kembali negara penjajah, harusnya kita mampu menerima dan merekonsiliasi kembali sejarah itu.

SANG ALKEMIS; Harus Berani Memilih Untuk Wujudkan yang Termaktub

Sang Alkemis

Tokoh yang coba dinampakkan dalam sebuah novel. [Butuh dua hari menyelesaikan Novel ini]

Memahami bahasa universal, bahasa yang semua mampu mengertinya meskioun tak terjabarkan secara verbal. Bahasa yang merupakan suara dari jiwa dunia.

Bahasa yang bisa didengarkan oleh setiap orang, bahkan setiap makhluk.

Saya mencoba memahami nalar berpikir Seorang Paulo [Penulis Novel] dan sedikit membandingkannya dengan seoran Jostein Gardeer. Keduanya bisa menceritakan pemaknaan tentang hal yang substansi dari sebuah esensi yang terpandang oleh indrawi kita. Bukan hanya sebatas pada aksiden yang melekat pada penilaian indra.

Saya menerawang jauh.

Dalam lembaran-lembaran cerita ini hendak menggambarkan kehidupan yang zuhud, menuju pada sebuah kesederhaan yang selalu terpaut hakikat. Alkemis bagi saya adalah Sufi yang mencari rahasia dunia dengan menemukan hakikat.

Merekatl telah sampai pada puncak pemaknaan tentang kehidupan.yang berasal dari Satu.

Selebihnya, dalam novel ini seakan menjelaskan konsep-konsep tasawuf begitu kental. "man arafah nafsahu faqad arafah rabbahu" (barang siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya). Anak kecil itu melakukan empat perjalananya (red ; perjalanan menjadi Sufi) sehingga akhirnya sampai pada tingkat  Alkemis.

Dia belajar memahami bahasa dunia yang universal lewat dirinya sendiri. Ia mengerti bahwa konsep reinkarnasi itu benar adanya, tentang oroses evolusi menuju kesenpurnaan. Sebongkah debu, pasir, tembaga kemudian emas. Atau tumbuhan, elang, memanusia kemudian menjadi padang pasir. Semua mengalami fluktuatif.

Namun, satu hal yang abadi dari semua itu adalah Jiwa yang tersambung dengan jiwa dunia. Dengarkanlah, karena suara bahasa universal itu ada dalam diri setiap manusia. Amat dekat dari urat nadi.

"Jauh tak berjarak, dekat tak bersentuhan"

Setiap orang harus berani memutuskan pilihan-pilihannya untuk mewujudkan apa yang sudah ter-MAKTUB.

Rabu, 11 Mei 2016

Masalah adalah Hadiah dari Tuhan

Masalah, Hadiah dari Tuhan

Pagi ini saat berangkat ke kantor, ban kendaraan yang saya tumpangi bocor. Ahhh... sedikit ada rasa menggunpat di hati. Namun tiba-tiba hilang saat saya mencoba mengganti ban dan datang dua orang bapak 'tukang bentor' yang menunggu di sudut jalan. Mereka datang menawarkan bantuan dan tanpa banyak basa basi langsung mengambil keperluan yang dibutuhkan.

Saya terenyuh. Di balik rasa menggumpat tadi, saya bersyukur. Dan itu mengingatkanku pada sebuah pagi saat mengikuti wawancara kerja di sebuah perusahaan ternama di kota ini.

Awal april 2013, kala itu saya berhadapan dengan OM Perusahaan yang mewawancarai. Saya mengingat jelas pertanyaan yang diajukannya. "Apa yang kamu lakukan saat menghadapi masalah?", tanyanya.

Saya tersenyum.
"Masalah adalah hadiah dari Tuhan kepada manusia, agar kita melihat seluruh sisi kehidupan", jawabku waktu itu dengan sedikit filosofis. Sang OM sedikit keheranan, ia pun tersenyum. Ia nampak tertarik dengan jawaban pembukaku.

"Karena masalah adalah hadiah Tuhan, maka hal pertama yang akan saya lakukan adalah bersyukur. Tuhan telah memberikan hadiahnya" kulanjutkan.

"Dengan memandang sebuah permasalahan sebagai hadiah, maka itu akan mengubah cara pandang kita untuk menghadapinya. Bagi kita mendapat hadiah tentu akan senang. Saya menganggapnya sebuah puzzle yang ada dalan bingkisan itu. Puzzle yang harus dirangkai (dihadapi) untuk dicari bentuknya", jelasku.

Sebagaimana masalah, kita tidak bisa memandangnya sebagai hal yang buruk. OM bersemangat. Ia melanjutkan pertanyaannya sampai kepada kesiapan saya untuk bergabung pada waktu itu. Dan ternyata saya diterima di perusahaan itu.

Pagi ini, saya kembali menemukan potongan puzzle yang dihadiahkan Tuhan. Saya hanpir lupa apa makna masalah itu sampai datang kedua bapak yang membantu.

Inilah hadiahnya, Tuhan mempertemukan saya dengan dua bapak yang punya jiwa yang besar. Saya belajar ketulusan dari mereka hari ini. Terima kasih Tuhan atas hadiahnya.

Selasa, 10 Mei 2016

Tahukah Apa yang Lebih Menyakitkan dari Rindu?

Aku berada disini, kembali mengurai waktu.
Bukankah disini, di waktu yang lalu kita pernah menyemai rindu.
Kubilang padamu, 'aku akan menjaga dan merawatnya'.

Aku melakukannya, sepanjang waktu hingga hari ini.
Tapi, tahukah apa yang lebih menyakitkan dari rindu itu.
Adalah harus memikulnya sendiri di tempat ini.

Entah sampai kapan harus kulakukan sendiri.
Entah sudah berapa ratus ribu detik kulalui bersama rindu ini.
"Tapi aku harus kuat", begitu katamu.
"Dan kamu juga harus kuat", begitu kataku.

Mengadulah pada malam saat rindu itu datang menyemai luka.
Bukankah hitamnya yang pekat adalah pengobat luka-luka.
Bicaralah padanya tentang semua yang terpenjara di kepala.
Bukankah kita juga butuh meng-'aduh' atas beratnya memikul rindu.

Aku disini teringat.
Menjaga rindu yang makin kuat.
Entah kapan jumpa kembali sempat?
Membasuh rindu yang pekat.

Selasa, 03 Mei 2016

Jangan Remehkan Dirimu: Setiap Orang Punya Potensi

Seorang temanku pernah bercerita, lebih tepatnya berkeluh kesah dengan apa yang dijalaninya. Rasanya semua begitu sulit ungkapnya. Saya mendengarkan baik-baik setiap kata yang mengalir dari bibirnya kala itu.

Terlalu banyak yang meremehkannya katanya. Dan ironisnya ia percaya itu. Ia percaya akan apa yang dikatakan orang lain terhadapnya. Ia menjadikan dirinya sebagai cerminan kata orang padanya. Hasilnya ia semakin merasa nyata terhadap penilaian orang lain.

Saya tersenyum.
Kusentak pundaknya. Setelah ia bercerita, saya sekarang mengambil alih.

Kawan, hidup itu memang demikian adanya. Selalu saja ada yang menjadi komentator dalam.kehidupan kita. Tapi nyatanya mereka tak berkontribusi apa-apa terhadap kita sendiri. Mendengarkan orang macam itu tentu akan semakin mengekerdilkanmu. Kamu secara perlahan di-bonsai olehnya. Jiwamu menjadi semakin menyerupai ucapannya.

Kawanku, satu hal yang harus kamu sadari bahwa kita takkan mungkin membuat setiap orang setuju dengan apa yang kita lakukan. Dan memang kita hidup bukan untuk membuat mereka senang. Bukan seperti itu tujuan penciptaan kita.

Mereka boleh saja percaya bahwa kamu lemah, mereka meremehkanmu itu sah-sah saja. Tapi, satu hal yang penting adalah jangan biarkan dirimu sendiri memandang dirimu lemah. Itu sama saja membuatmu tak berarti apa-apa.

"Setiap orang bisa meremehkanmu, tapi kamu tetaplah orang yang hebat. Kamu harus percaya itu!"

Temanku mengangguk.
Ia segera pergi mengambil cermin dan melihat dirinya sebagai pribadi yang baru. Seorang yang sungguh hebat.

Senin, 02 Mei 2016

Hari Pendidikan Nasional: Meneropong Masa Depan Pendidikan Indonesia

Setiap tanggal 2 Mei sudah menjadi kesepakatan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hari itu diambil dari Hari lahir Ki Hajar Dewantara yang dikenal memiliki semangat besar untuk mendidik manusia di zamannya. Ia dengan segala upayanya bersama temannya mendirikan National Onderwijs Institut Taman Siswa, dikenal sebagai Sekolah Taman Siswa. Ini dianggap sebagai cikal bakal sistem pendidikan di Indonesia.

Ing ngarsa sung tulada "(yang di depan memberi teladan), Ing madya mangun karsa (yang di tengah membangun kemauan/inisiatif), Tut wuri handayani (dari belakang mendukung). Dikenal sebagai Patrap Triloka.

Hanya saja, saat ini konsep pendidikan yang ada telah bergeser jauh dari yang seharusnya. Patrap Triloka tak lagi menjadi kompas pengarah dalam dunia pendidikan kita. 'Semua berubah setelah negara api menyerang', seperti ungkapan populer itu. 'Negara Api' adalah keserakahan yang membakar jiwa manusia yang berkecimpung di dunia pendidikan. Mereka tak lagi bertujuan memanusiakan manusia, Tapi lebih kepada mencetak klasifikasi yang dibutuhkan untuk jadi pekerja.
Para peserta didik lebih diarahakn untuk pandai berhitung, pandai mengukur, menghapal aksioma, rumus baku dan teori-teori yang ada. Anak-anak dianggap hebat jika di rapornya berjejer angka yang tak merah. Tanpa peduli sejauh mana moralitas yang dimilikinya.

Parahnya, ini melanda persepsi masyarakat umum. Anak-anak dianggap pandai (dan akan sukses di masa depan) jika pandai matematika, bahasa inggris, fisika, ekonomi dan sederet bidang ilmu lainnya. Dan itu harus dibuktikan dengan nilainya di sekolah.

Bermunculanlah sekolah-sekolah yang dikomersialisasi. Kapitalis melihat pendidikan sebagai komoditi. 'Disaster of Certificate' melanda sebagai badai yang mendeskreditkan kemanusiaan. Hanya yang bersetifikat (ijazah) yang dianggap kapabel. Tanpa peduli bagaimana moral yang dimiliki mereka.

Kejadian baru-baru saat seorang siswa SMA berani membentak seorang Polwan di Medan menjadi satu bukti bahwa sekolah tak menjamin moral kemanusiaan. Siswa teralienasi dari menjadi manusia bermoral. Mereka seakan terpenjara di sekolah dengan bejubel mata pelajaran yang semua mesti dikuasai. Padahal setiap manusia punya ketertarikan sendiri-sendiri pada sesuatu yang berbeda. Manusia memiliki passion masing-masing. Atau contoh yang sering terjadi adalah anggota DPR yang tak menunjukkan perilaku orang berpendidikan. Padahal mereka adalah lulusan sarjana yang secara sadar ingin mewakili kepentingan rakyat. Tapi nyatanya moralitas tak mereka dapatkan di bangku sekolah dan kampus. Mereka masih saja rakus, mengurusi dana untuk dikantongi walau harus terus membohongi.

Yah, rasanya akan begitu banyak hal yang menjadi catatan-catatan di dunia pendidikan kita. Guru yang malas mengajar, dosen yang lebih suka urus proyek, mahasiswa yang sibuk tawuran, siswa yang sibuk nonton sinetron, orang tua yang sibuk menitipkan anaknya untuk dididik sekolah tanpa memberi perhatian di rumah. Sangat banyak hal.

Lalu bagaimana? akankah Hari Pendidikan Nasional berulang sebatas upacara yang wajib diikuti insan dinas pendidikan saja. Sebagai bagian dari rutinitas belaka, tak ada upaya berubah untuk mengembalikan yang seharusnya dan mengusir negara api yang menyerang itu.

Kalau begitu mari kita kembali merenungkan apa yang disebutkan Aristoteles. Bahwa PENDIDIKAN ADALAH MEMANUSIAKAN MANUSIA. Sebuah konsep yang disadur dan dikembangkan sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia disebut Patrap Triloka. Pendidik harus berada di depan untuk memberikan teladan, membaur bersama untuk mencipta inisiatif dan mendorong untuk terus maju.

Pendidikan adalah keteladanan untuk menjadikan manusia sadar sebagai manusia.  Dan itu adalah tanggung jawab bersama manusia. Di indonesia, kemajuan pendidikan harus diwujudkan bersama-sama, bukan hanya menyerahkannya pada Pemerintah, apalagi pihak swasta yang mengkomersialisasikannya.

(SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL)

[Selamat Hari Buruh], Mahasiswa Membela Buruh

Sepintas melintas di sore yang tak lagi panas. Baru saja hujan berhenti merinai di tanah keras. Terdengar jelas melantang tegas, suara yang melengking gusar.

Di jalan yang masih basah itu berdiri sekelompok Mahasiswa bersama pataka-pataka di tangannya. Ada keresahan dituliskannya disana. Bukan tentang keresahannya yang lagi galau diputus kekasih seperti banyak pemuda hari ini.

Bukan pula tulisan alay 'kapan kesini?' atau tulisan lainnya yang berakhir sebagai sampah di tengah keindahan alam, di atas pegunungan oleh kebanyakan pemuda yang mengaku-mengaku pecinta alam dan penyuka petualang.

Mereka ikut berkontribusi memperingati hari buruh. Mereka ini mahasiswa, bukan buruh. Tapi kesadarannya membuatnya berdiri di jalan ini. Sebuah kesadaran yang memanusia bahwa buruh adalah bagian dari kelas manusia yang juga mesti diperjuangkan.

Satu hal yang tak kalah menyita perhatian saya disana adalah seorang perempuan yang ikut berdiri menenteng patakanya. Entah apa yang dipikirkannya sehingga ia berani berdiri disana. Sebuah tindakan yang tak bagi anak perempuan hari ini mungkin sia-sia. Bagi kebanyakan anak perempuan lebih baik datang ke tempat wisata yang indah dan menenteng kertas ucapan lalu berfoto dan diposting ke medsos.

Aahhh...
Saya jatuh hati pada sikap perempuan ini. Rasanya itu adalah sisi paling indah dari seorang perempuan saat berani berdiri menyuarakan keresahan hati kaum tertindas. Dia 'Seorang Kartini' yang bukan sekedar menggunakan simbol kebaya dan sanggul belaka. Dia menyuarakannya meskipun lewat tulisan.

Tak kalah hebat lelaki-lelaki yang berderet mendampingi perempuan itu. Mereka ada yang gonrong, sebuah simbol yang dianggap pembangkang dan menakutkan bagi banyak masyarakat. Tapi, gonrong ini anomali. Dia membangkang pada ketidak adilan lalu menyuarakannya.

Bersyukurlah masih ada mereka yang berdiri di tengah jalan hari ini sambil menyuarakan keberpihakannya pada buruh tanpa merugikan pelintas jalan lainnya. Yah, mereka menyuarakan keadilan dan tidak merampas keadilan pengguna lainnya. Mereka mahasiswa yang keren. Saya harus angkat topi sebagai penghormatan atas tindakan ini.

Rasanya ingin kembali ke masa itu, dimana saya masih bergejolak turun jalan. Terima kasih untuk kalian yang telah menyiram kenangan padaku, sama seperti hujan hari ini.

(SELAMAT HARI BURUH, 1 Mei 2016)
Sejahtera Buruh, Sejahtera Negeriku
#BintangMerah

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.