Bagi masyarakat suku bugis tentu
biasa mendengar sebuah kata mana'.
Makna kata itu bisa diartikan sebagai suatu hal yang diterima dimana memiliki
fungsi tertentu dari seorang yang dianggap memiliki ilmu ghaib.
Hal ini rupanya memiliki kaitan
dengan keyakinan masa lalu yang dikenal sebagai dinamisme. Dinamisme adalah
keyakinan tentang adanya kekuatan magis, ghaib atau supranatural yang dikandung
oleh benda-benda tertentu atau biasa disebut mana'. Dan rupanya keyakinan tentang mana' itu bertahan sampai
sekarang dan masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat bugis.
Biasanya dalam hal ini, mana' dimaksudkan sebagai warisan
sakral yang diberikan kepada generasi bugis utamanya laki-laki sebagai bagian
dari budayanya. Bahkan dalam lingkungan bugis seorang lelaki yang beranjak
dewasa biasanya diminta oleh ibunya atau neneknya agar mencari mana' pada kakeknya atau bapaknya jika
dianggap ada. Kadang juga mana' itu langsung diberikan oleh orang yang memilikinya
jika dimaksudkan bahwa sang penerima sudah siap untuk menerimanya.
Beberapa benda yang biasa diyakini
memiliki mana' berupa badik, batu
cincin, atau benda-benda apapun yang dimaksudkan memiliki kekuatan magis dan
bermamfaat bagi yang memilikinya di masa lalu.
Lalu, apakah hal itu salah dan
mengandung kemusryikan? mengingat bahwa keyakinan dinamisme adalah ada di masa
lampau dan setelah melalui beberapa perubahan keyakinan dalam tradisi
masyarakat bugis sampai kepada kerelaan memeluk ajaran islam. Bagi masyarakat
Hindu dan Buddha pun tetap mengakui adanya mana'
ini pada tiap benda yang dianggap sebagai pusaka. Sehingga tidak heran dalam
masyarakat hindu dan buddha ada beberapa benda tertentu yang dianggap pusaka
dan dijaga serta dimuliakan karena memiliki mana'.
Akhirnya kita akan mencoba
melihatnya dalam pandangan islam tentang bagaimana mana' ini mengambil posisinya. Sehingga dalam situasi ini bisa
dikatakan bahwa meyakini mana' memang
bisa menimbulkan kemusyikan tapi juga tidak jadi masalah jika pandangan
ketauhidan kita dibenarkan.
Kemusryikan bisa terjadi apabila
pandangan ketauhidan kita memang dari awal salah dalam menyikapi alam semesta.
Bahkan tanpa keyakinan pada mana’pun
bisa dihukumi sebagai musryik apabila menganggap bahwa sesuatu itu tidak
berasal dari Tuhan yang Esa. Misalnya kita hidup dalam lingkungan masyarakat
yang menganggap bahwa ketika orang sakit maka akan mengalami kematian jika
tidak dibantu oleh dokter ini. Dalam posisi ini kita meyakini bahwa kekuatan
penyembuhan adalah dari dokter dan obatnya, bukan sebagai perantara. Tapi akan
jauh berbeda halnya jika kita menganggap bahwa penyembuhan dokter itu ada
karena dia sebagai perantara Tuhan yang telah dititipkan ilmu padanya sehingga
mampu mendiagnosa penyakit pasien dan memberikan obat bagi penyembuhannya.
Kenyataannya bahwa Tuhan sendiri
yang telah mengajarkan pada manusia tentang mana’
itu ada di tiap benda dengan kekuatan yang berbeda. Misalkan mana’ diberikan kepada besi sehingga
menjadi lebih kuat daripada batu dan bisa menghancurkannya. Namun ada pula batu
yang diberikan mana’ lebih besar
daripada besi sehingga bisa memotongnya yaitu intan. Ataukah mana’ yang ada dalam tongkat Nabi Musa
As yang bisa berubah jadi ular, memancarkan air dari batu dan membelah laut
merah atas izin Allah. Atau hal yang paling dekat dan masih bisa disaksikan
sampai saat ini adalah batu hitam hajar
aswad yang mendapatkan mana’ dari
Allah sehiingga memiliki daya tarik yang begitu hebat sehingga membuat banyak
manusia yang ingin menciuminya. Padahal kita bisa memastikan bahwa kenapa tidak
menggunakan batu yang lain jika memang batu hitam itu tidak memiliki kekuatan
magis? Bukankah ini telah cukup menjadi fakta bagi kita bahwa mana’ memang dititipkan Tuhan pada tiap
benda dengan kapasitas berbeda.
Sebagaimana orang-orang cina yang
sampai pada hari ini meyakini akan kekuatan dari giok yang dipakai mampu
mengeluarkan energi posistif untuk mengeluarkan racun atau melawan energi
negatif lainnya maka tentu saja hal ini telah terjelaskan secara ilmiah. Oleh karena
keilmiahan inilah menyebabkan banyak ilmuan barat mengembangkannya pada
produk-produk kesehatan yang bisa dipakai dalam mencegah atau mengobati
penyakit berbahaya. Yah, secara tidak sadar mereka meyakini tentang mana’ itu,
energi yang terkandung dalam benda-benda semisal batu.
Sekarang bagaimanakah dengan
fenomena batu permata yang menjadi populer di tanah air. Dimana selain
keindahannya yang menawan juga diyakini merupakan sunnah dari rasul sebagaimana
beberapa riwayat menyebutkan tentang itu. Dalam posisi ini riwayat menjelaskan bahwa
cincin yang dikenakan rasulullah adalah sesuatu yang memiliki faedah. Dimana
cincin itu mampu menentramkan hati, menghindari wabah, menjauhkan kezaliman
seseorang atau mempermudah rezky. Maka jika riwayat hadis-hadis itu mau
diterima sebagaiman pendapat beberapa ulama yang menerimanya, maka tentu disini
jelas bahwa faedah dari batu-batu yang dikenakan sebagai permata cincin
memiliki energi yang memiliki fungsi tertentu dan secara tidak langsung ini
bisa disebut sebagai mana’ dalam
tradisi bugis.
Sehingga bagi mereka yang meyakini
bahwa ada energi tertentu yang dititipkan pada batu-batu tertentu yang
mengakibatkannya memiliki faedah yang bisa bermamfaat bagi pemakainya dengan
ketentuan bahwa meyakini semua itu dari Allah Swt adalah bukanlah kemusryikan,
apalagi jika batu-batu itu dipakai dalam kondisi mengharap faedah dari Allah
Swt dan dalam beribadah kepadaNya. Namun jika menyinggung kemusryikan,
sebagaimana setiap sesuatu bisa membawa kepada kemusryikan maka tentu batu-batu
cincin itupun bisa menjerumuskan kepada kemusryikan jika kita dalam posisi
meyakini bahwa itu semata-mata kekuatan darinya dan bukan berasal dari Allah
Swt.
Oleh karena itu, meyakini batu
tertentu meiliki mana’ sebagaimana
tradisi dalam masyarakat bugis adalah sesuatu yang tidak salah lantaran itu
telah berkembang jauh sebelumnya sebagaimana benda-benda tertentu diberikan
faedah khusus oleh Allah Swt agar memfaat pada manusia. Bukankah mengagumi
keindahan bisa mendekatkan kita pada Allah Swt sebagai pemiliki keindahan
hakiki. Apalagi dengan meyakini faedahnya maka kita akan tahu betapa hebatnya
Allah Swt menitipkan kasih sayangnya pada benda-benda agar bisa mamfaat bagi
manusia. Dan wajarlah jika hari ini masyarakat bugis kembali begitu menyukai
batu-batu permata selain karena keindahan juga karena tradisinya mengenai mana’ itu sedang kembali digelorakan.
Tapi satu hal yang harus diwaspadai
adalah berubahnya fungsi dari batu permata pada cincin itu yang sebelumnya
untuk mendapat faedah menjadi ajang kesombongan dan kemegah-megahan sebab
dihiasi emas. Karena kesombongan adalah menyerupai kemusryikan yang membuat
Iblis tergelincir dari syurganya Allah Swt.