Kamis, 28 April 2016

Seperempat Abad: Kehidupan Kedua, Melawan Kematian

Ibu bercerita bahwa dulu saya pernah mengalami keracunan dan membuat saya dirawat di Rumah Sakit. Waktu itu saya masih balita, baru pintar mengeja kata. Kondisinya dramatis sampai nenek dari ibu menyarankan semua untuk tabah merelakan saya menghadapi kemungkinan kematian.

Saya tak bisa membayangkan bagaimana kondisi hati ibu waktu itu menghadapi kemungkinan kehilangan anaknya.

Bahkan, nenek saya sudah menggantikan sarung memasrahkan semuanya. Tapi do'a mereka tak pernah lepas untuk memunajatkan kesembuhan bagi lelaki kecilnya yang sedang terbaring.

Saya tak tahu berapa banyak air mata yang terurai waktu itu. Namun, kepastian akan diijbahnya do'a ibu yang tulus itu 'benar adanya'. Saat semua telah pasrah, ibu tetap yakin bagi kesembuhan saya.

Nenek meraung kesakitan, meminta dokter dan perawat menyembuhkan cucunya. Do'anya tak kalah dari raungannya. Memohon kesembuhan untuk saya.

Saya yakin do'a mereka kabul. Saat tenaga medis mulai pasrah, diluar dugaan keajaiban datang. Saya 'menang melawan kematian' pada waktu itu berkat do'a mereka semua. Saya sembuh dan kembali sehat. Mereka menangis haru.

Yah, seperempat abad usiaku ini mungkin takkan pernah ada andai saat itu ibu menyerah untuk berdo'a dan berhenti yakin pada kuasa Tuhan. Ia meminta hidup untuk saya sekali lagi. Bagi saya, ini kehidupan kedua. Kehidupan yang dihadiahkan Tuhan atas do'a tulus.

Terima kasih untuk ibu, yang karena do'anya memberikan kehidupan kedua untuk anak lelakinya. Entah bagaimana bisa saya membalas kebesaran hati ibu.

Selasa, 26 April 2016

The Jungle Book : Memahami Individu dan Masyarakat

The Jungle Book

Hukum Rimba, Hukum Alam yang berlaku bagi setiap makhluk. Hukum ini tak hanya tentang siapa pemuncak rantai makanan. Tapi lebih kepada bagaimana kehidupan itu sendiri berjalan.

Setiap orang percaya bahwa jauh sebelum manusia modern menghuni Bumi, kehidupan rimba telah ada dan berproses mengikuti hukum alam yang ada. Ada yang lahir, menjalani hidup lalu kemudian mati.

Tapi yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana kehidupan itu selalu berkorelasi dengan 'saling membutuhkan' satu sama lain, saling melengkapi.

Hukum Rimba tak hanya bercerita tentang kompetisi rantai makanan. Jauh dari itu menyimpan cerita tentang kolaborasi untuk saling menjaga satu sama lain. Pengistilahannya 'berkawanan'. Inu mirip dengan istilah hidup berkelompok atau bermasyarakat dalam kehidupan manusia.

Dalam film 'The Jungle Book' ditampilkan bagaimana sebuah kehidupan di Hutan berjalan mematuhi hukumnya. Tak melulu dengan rantai makanan. Disana ada perjanjian damai, 'batu perdamaian' yang mana setiap jenis hewan bisa berkumpul untuk sama-sama minum dengan aman meskipun ada yang seharusnya menjadi makanan bagi yang lainnya.

Tapi inti yang dapat dipetik dari kisah ini adalah bagaimana pentingnya hidup dalam kawanan dimana saling melindungi. Seorang anak, 'Mowgli' bisa hidup dalam kawanan apapun. Ini berarti betapa pentingnya beradaptasi dengan orang baru. Ketulusannya membantu yang lain menghilangkan jarak antar yang lain.

Di akhir cerita, Mowgli yang dibesarkan kawanan Serigala diajarkan untuk menjadi dirinya sendiri agar bisa mengalahkan Si Harimau yang kejam. Penting bagi kita untuk berada dalam lingkungan masyarakat, beradaptasi terhadapnya dan membaur, namun lebih penting lagi kita harus tetap menjadi diri kita sendiri mmamfaatkan potensi yang ada. Bukan menjadi sama dengan orang lain.

*****
Ahhhh... saya teringat saat masih sering berceramah di Himpunan tentang 'Individu dan Masyarakat'.
Rasanya film ini amat cocok dengan materi itu.

Senin, 25 April 2016

Pinisi dan Panrita Lopi, Dua Makna yang Sulit Dipsahkan

Saya kembali berpijak di Bumi Panrita Lopi.

Entah kenapa selalu ada yang memaksaku untuk kembali datang. Di tanah ini harum hujan november tercium. Meski kutahu gelombang selalu saja pecah di tepian.

Para manusia tangguh berdendang mengirama, menghalau Pinisi menuju tepian. mereka selalu berkata "tidak" untuk mundur dari ganas gelombang.

Jika ada yang lebih kuat dari karang maka tekad mereklah yng mampu memecah gelombang bersama biduk- biduk yang ditunggngi.

Jika ada yang lebih pemaaf dari bukit pasir, tentulah hati kalian yang merelakan gelombang bergulung mengombang-ambingkan biduk tunggangan.

Pernah kubilang, suatu saat aku ingin kalian ajak menunggangi Pinisi. Sebagai simbol kemegahan tekad masyarakat Butta Panrita Lopi yang terkenal sampai eropa itu.

Tapi, kali ini saya memilih untuk bersandar di pantaimu. Menyaksikan senyum hujan bulan november mekar di ufuk barat. Menyaksikan senja berlarian bersama gelombang yang menggulung ke tepian.Dia pecah, berulang kali.

Saya akhirnya tersadar.
Biduk Pinisi itu tak sempurna. bagaimanapun jauhnya berlayar suatu saat akan karam juga. Ia hanya berusaha untuk terus bertahan menantang ganas gelombang. Tapi tekad mereka takkan pernah gentar meski Pinisi telah hancur disapu ombak.

Pinisi dan Panrita Lopi, kalian dua makna yang sulit dipisahkan yang entah kenapa selalu saja memanggilku untuk kembali kesini.

Sabtu, 23 April 2016

Captain America: Civil War, Persepsi Harus Divalidasi

CIVIL WAR

Ada hal yang menarik dari film ini. Pertarungan dua orang sahabat. Satu bertindak atas aturan yang disepakatinya untuk dijaga. Lainnya sesuai dengan kebenaran yang diyakininya meskipun harus melanggar aturan yang dibuat.

Si Captain yakin pada sahabat kecilnya, Bucky. Sementara persepsi orang lain terhadap Bucky berbeda. Ia masih tetap penjahat yang berbahaya dan harus diamankan.

Yah, perbedaan persepsi membuat dikotomi di Tim Avengers. Mereka bertarung sebagai penjaga aturan bersama Ironman ataukah bertarung bersama keyakinan Captain yang penuh resiko.

Rasanya seru juga melihat para super hero bertarung. Kita ingin semuanya menang. Padahal harus ada yang kalah.

Dan hebatnya, setiap kelompok bertarung sesuai dengan persepsi kebenaran masing-masing. Sebagaimana dengan setiap perang yang terjadi di dunia ini.

Seperti Nazi misalkan di masa lalu. Mereka terprovokasi bahwa suku arya lah yang berhak menguasai dunia sebagaimana mereka dicipta unggul. Ataukah perang antar keyakinan di Rohingya, ISIS di Suriah. Mereka semua berjuang untuk mewujudkam kepentingan pimpnan kelompok mereka yang dianggap kepentingan semua kalangan kelompok.

Civil War hanyalah contoh bagaimana perang akan terus berulang dikarenakan semua yang terlibat merasa berada di jalan benar dan lawannya layak untuk diingatkan. Seperti itu, persepsi selalu membawa manusia meyakininya dan menjadikannya dasar bertindak.

Kamis, 21 April 2016

Membesarkan Jiwa dengan Memaafkan

Membesarkan Jiwa

Apa yang terjadi di jalanan kadang di luar prediksi. Bagaimanapun kita berhati-hati, sebuah 'trouble' bisa menghampiri kita. Datangnya bisa dari orang lain yang sedang lalai. Yah, semua punya resiko tentunya.

Seperti itulah hidup.
Kita yang terpaut dengan yang lainnya tak bisa menjamin semua berjalan sesuai yang kita harapkan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi semua. Kita hanya bisa mengendalikan faktor yang bisa dijangkau selebihnya itu menjadi resiko yang harus tetap dihitung.

Seperti hari ini. Seorang pengendara motor menjadi faktor diluar kendali saya dalam sebuah perjalanan. Padahal saya sudah berjalan sesuai seharusnya. Inilah resiko yang bisa terjadi pada siapa saja. Sesuatu hal diluar kemampuan saya untuk mengendali.

Saya pantas marah? Tentu saja, saya layak marah padanya. Tapi, saya pilih berdamai. Memaafkannya yang tentu secara sadar tak mungkin ia akan sengaja melakukan hal ini. Mungkin ia kurang konsentrasi atau memang dalam kondisi tidak prima. Ia sedang lalai.

Saya bersyukur, hari ini Tuhan memberikan pelajaran dengan cara yang tak biasa. Sedikit 'trouble' di perjalanan yang memberikan pesan pada saya.

Hidup ini penuh resiko, beberapa hal terjadi diluar kendali. Kita berhak mengendalikan beberapa hal, selebihnya adalah resiko yang harus siap dihadapi. Tapi, yang penting adalah membesarkan jiwa untuk menerima hal yang tak diinginkan itu menjadi kesyukuran yang lain.

Terima kasih Tuhan, untuk sedikit 'trouble' hari ini. Saya bersyukur.

Rabu, 20 April 2016

Mengapa Harus Hari KARTINI yang Diperingati Untuk Perempuan?



Kenapa Harus KARTINI yang Diperingati?

Barangkali kita akan ikut mengajukan sebuah pertanyaan 'Mengapa harus Kartini yang menjadi simbol perempuan Indonesia?', sementara ada banyak tokoh perempuan yang berjasa pada negeri ini. Lalu kenapa harus Kartini yang hanya mengirimkan suratnya berisi curhatannya pada seorang temannya perempuan belanda?

Bahkan sampai ada yang menuliskan bahwa Kartini seorang perempuan yang suka menangis dan menumpahkannya pada lembar-lembar kertas dari tintanya lalu dikirimkan. Ia tak menenteng senjata untuk ikut berperang di medan tempur. Sangat jauh berbeda dengan tokoh perempuan lainnya semisal Cuk Nyak Dien, Cut Meutia yang ikut berperang. Ataukah dengan perempuan lainnya yang begitu gesit melakukan perlawanan di masa lewat senjata bukan sekedar pena.

Tapi, bagi saya mengambil Kartini sebagai simbol perempuan Indonesia tidak mendeskriditkan tokoh perempuan lainnya.

Apa yang jadi persoalan sebenarnya adalah 'Semangat Kartini' yang diubah ke dalam bentuk simbolis saja tanpa banyak menyentuh hakikatnya.
Kartini diingat dengan menggunakan kebaya atau dengan persoalan feminin lainnya.

Padahal apa yang dituliskan Kartini adalah bahasa kebebasan. Gagasan perjuangan untuk mengubah kondisi kaum perempuan yang selalu menjadi terbelakang karena dipingit dalam rumah pada waktu itu.

Memang begitu banyak perempuan yang menginspirasi di setiap zaman. Dan dijadikannya Hari Kartini untuk diperingati itu sebenarnya tidak mengabaikan fakta tentang bagaimana perempuan-perempuan lain telah berjuang dengan caranya.

Kita barangkali bisa berdiskusi panjang persoalan mengapa harus kartini? Tapi itu akan menjadi lama dan menyeret kita dalam ruang perdebatan. Namun ini juga bukan menjadi sebuah argumen final untuk tak mendiskusikannya.

Satu hal yang menjadi penting dari Hari Kartini adalah bagaimana kita akhirnya membandingkan perjuangan yang dilakukan oleh banyak perempuan di negara ini. Dimana seandainya tak ada Hari Kartini, mungkin kita juga tak pernah ingin tahu (membandingkan) dengan perempuan-perempuan yang luar biasa itu.

Anggaplah Kartini menjadi wakil bagi perempuan di masanya yang telah mencoba menuliskan gagasannya. Ini juga menjadi penanda bahwa menuliskan gagasan itu menjadi sangat penting ketimbang kita mengangkat senjata. 'Akan abadi yang ditulis', seperti kata Pramoedya Ananta Toer.

Selamat Hari Kartini, 21 April 2016.
Jadikanlah semangat perjuangan perempuan bertahta dalam jiwamu wahai perempuan!

Sabtu, 09 April 2016

Zaskia Gotik Jadi Duta, Hukuman yang 'Tak Menghukum'

Hukuman yang 'Tak Menghukum'

Dijadikannya Zaskia Gotik sebagai duta (ambasador) Dokter Klinik Pancasila barangkali banyak yang memandang sebagai sesuatu yang tidak adil. "Ini melanggar kok malah dijadikan duta? dasar hukum di indonesia", seperti itulah komentar yang banyak beredar.

Memang jika melihatnya dari sudut itu tampak sangat tidak sepadan. Tapi, sebenarnya menjadikan Zaskia sebagai Duta adalah keputusan yang tepat. Pertama karena Zaskia sendiri memang tak paham tentang Pancasila, karenanya menjadi Duta mengharuskannya belajar tentang apa itu Pancasila, bagaimana pemaknaan dan pengamalannya dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Kedua, kedudukan Zaskia sebagai 'fublik figur' tak bisa dinafikkan. Sehingga menjadikannya Duta (secara gratis, tanpa perlu dikontrak) akan memberi nilai tambah. Media akan heboh meliputnya sehingga 'suaranya akan lebih nyaring' ke ke pelosok negeri. Sebagai artis yang tentunya mendapat banyak undangan menghibur akan lebih banyak bersentuhan dengan masyarakat langsung. Sehingga kehadirannya di panggung-panggung tentu saja akan tetap melekatkan dirinya sebagai Duta Dokter Klinik Pancasila yang bisa memberi informasi kepada hadirin disana.

Ketiga, menunjukkan bahwa negara itu sangat manusiawi terhadap mereka yang mau mengakui kesalahan atas tindakan yang serupa itu. Sebagaimana Pancasila itu sendiri yang memandang manusia sebagai makhluk yang harus diperlakukan adil.

Keempat, Zaskia sekaligus menjadi contoh bahwa rupanya masih banyak masyarakat yang ada di negara ini yang belum sepenuhnya paham tentang dasar negara Indonesia serta yang terkait dengannya. Ini membuka mata bahwa kita semua masoh perlu belajar menghargai, memahami dan mengamalkan Pancasila yangbyelah menjaga kedaulatan negeri.

Akhirnya bahwa menajdadikan Zaskia Gotik sebagai Duta Dokter Klinik Pancasila adalah hukuman yang tepat baginya. Namun, tentu saja hukuman itu akan terasa dianggap sebagai keuntungan karena jadi Ambasador. Inilah kemenangan negara lewat pihak yang berwenang atas keputusan itu. Sebagaimana sebuah pepatah, "kemenangan sejati adalah saat lawan anda merasa tidak pernah dikalahkan." Semoga saja, Zaskia yang (sebenarnya) dihukum merasa itu bukanlah hukuman. Menjadi Duta tanpa dibayar.


Aku Rindu, Mantra Sakti yang Meluruhkan

"Aku rindu" satu pesan yang tak kutemui di sebuah beranda seperti waktu-waktu lalu.

Mungkin kamu sudah lupa tentang bagaimana cara menuliskan dua kata itu. Atau mungkin juga karena memang kamu tak ingin menuliskannya.

"Tak mengapa" kataku membatin.

Toh, jika pada waktunya kamu juga akan lelah untuk terus menahan diri dari menuliskan kata-kata yang selama ini terlanjur terbiasa kamu tuliskan.

Saya tak bisa memaksakan.
Saya hanya bisa menunggu dua padanan kata itu kembali muncul di berandaku. Atau kalau kamu cukup mampu, langsung saja ucapkan padaku.

"Rindu" adalah mantra sakti yang bisa membuat kebekuan jadi luruh. Tapi, ia juga yang bisa mencipta kebisuan dan kesunyian yang menyekat sesak padamu. Ia pula yang sering diam-diam melukai empunya.

Memang ia sesakti itu.
Pada setiap penikmatnya bahkan menjadikannya candu yang terus menjadi adiktif bagi yang terlanjur merasakannya.

Tapi, tentang rindu.
Sudah saya ceritakan padamu tentang apa yang pernah saya buat.
"Ruang Rindu Imaji", begitu kumenyebutnya.

Sesekali jika kamu tak hendak menuliskan dua kata, maka datanglah kesana berkunjung. Di ruang imaji itu telah kupajang bingkai tentangmu dan tentangku.
Masuklah dan pandanglah.
Barangkali darinya kita masih bisa mengenang pada sebuah kenyataan yang walaupun kini menjadi sebuah memoar (luka).

Mengenanglah, saat dua kata itu tak lagi ada dalam beranda yang biasa kutemukan.

Tulislah, "Aku (tak) rindu".

Membela Sonya Depari, Siswi Pembentak Polisi di Medan

Membela Sonya Depari, Siswi Pembentak Polwan dI Medan

Sedang menjadi tenar, beredarnya video seorang siswi bersama teman-temannya membentak seorang Polwan setelah mobil (Honda Jazz) yang dikendarainya dihentikan paksa saat mereka sedang konvoi sehabis melaksanakan Ujian Nasional.

Adanya persoalan ini menjadi bukti bahwa kita masih mempunyai persoalan di bidang pendidikan. Masih banyak upaya yang harus digalakkan untuk membuat mental siswa menjadi baik. Sangat disayangkan bahwa siswa yang telah hampir menyelesaikan jenjang pendidikannya di bangku SMA melakukan hal yang demikian, dimana menurut pandangan umum adalah sesuatu yang sangat tidak sopan.

Tapi, tolong jangan salahkan siswa tersebut. Dia seyogianya hanya peserta didik, seorang anak yang berperilaku sesuai apa yang selama ini dia serap dari lingkungannya. Baik lingkungan keluarga, sekolah maupun pergaulan. Sungguh saya yakin bahwa sepenuhnya itu bukan murni lahir dari kesadarannya. Tapi cerminan dari bagaimana selama ini dia tumbuh dan meniru perilaku. Saya juga sangat yakin bahwa masih banyak juga di luar sana siswa yang akan berperilaku demikian karena kurangnya perhatian dalam mendidik mereka.

Justru dengan kejadian ini, memberikan kita informasi serius bahwa ternyata apa yang dibutuhkan siswa-siswi (sebagai generasi penerus) bukan sekedar di sekolahkan agar menjadi tahu tentang matematika, berbahasa indonesia atau asing, belajar kimia, fisika ataupun biologi. Bukan juga untuk belajar ekonomi dan pelajaran semacamnya saja. Sungguh bukan hanya itu.

Apalagi dengan peranan orang tua yang hanya memberikan segenap fasilitas bersekolah bagi anaknya dengan memenuhi semua permintaannya beruoa mobil (kendaraan) pribadi saja, beri uang jajan, baju sekolah dan pembeli buku. Sungguh itu tak cukup membuat anak-anak itu bisa sesuai harapan orang tuanya.

Marilah kita semua berkaca dari kejadian ini!. Berkaca yang sungguh-sungguh ke dalam diri dan lingkungan kita.

1. Jika anda seorang Ayah/Ibu, berkacalah!
Apakah anda sudah memberikan perhatian bagi anak anda sendiri? bukan hanya sekedar menyekolahkannya di sekolah favorit, memberikan uang jajan, memenuhi keperluan sekolahnya sampai membelikan kendaraan sebagai fasilitas sekolah. Jika, 'tidak', maka anggaplah bahwa Sonya itu adalah cerminan anak anda yang tentu tidak hanya butuh semua fasilitas yang anda anggap bisa memenuhi kebutuhannya.

2. Jika anda adalah Guru, berkacalah!
Apakah anda sudah benar mengajarkan peserta didik anda mengenai persoalan yang menyangkut moralitas lewat keteladanan anda? Jika belum, maka anggaplah bahwa Sonya adalah peserta didik anda yang ternyata tak hanya cukup diajarkan bagaimana menjumlahkan angka-angka, mencari besaran gravitasi, balance ekonomi, rumus oksidasi atau kepiawaian berbahasa asing. Tidak cukup, itu semua belumlah sebagai modal yang cukup bagi mereka menjaga perilaku kepada sesama manusia.

3. Jika anda seorang yang membenci kelakuan Sonya dan menganggapnya kurang ajar, maka mengertilah!
Sonya adalah seorang anak, siswa yang tumbuh dan belajar dari lingkungan sekitarnya. Apa yang dilakukannya adalah cerminan bagaimana selama ini dia bersikap. Bayangkanlah apabila anda adalah Sonya, tumbuh dengan kondisi yang sama. Apakah anda yakin akan menjadi lebih baik darinya? Jika tidak, maka berhentilah untuk mem-bully-nya. Anggaplah dia adalah seorang anak yang belajar tentang kemanusiaan tapi lingkungannya tak memberikan keteladanan. Marilah menahan diri, Karena sesungguhnya usianya masihlah tergolong peserta didik yang tentu harus terus diajarkan mengenai makna kemanusiaan. Bagaimana menghargai yang lebih tua dan menghargai profesi orang lain yang sedang menjalankan tugasnya.

Saya kira, kejadian ini menjadi hal serius yang harus kita sadari bersama. Bukan hanya Sonya di Medan sana. Ada banyak serupa Sonya yang tersebar di negeri ini membutuhkan pendidikan yang sesungguhnya (memanusiakan manusia). Bukan hanya dari sekolahnya, tapi dari lingkungan keluarganya sendiri.

Jadikanlah ini pembelajaran sembari kita mengawasi sekitar masing-masing, kepada keluarga (anak, adik, kakak, keponakan, cucu, sepupu atau status apapun) yang kehilangan teladan dalam belajar menjadi manusia. Sekolah belumlah cukup. Para Guru belumlah sanggup. Dibutuhkan seluruh elemen masyarakat jika kita ingin melihat sekitar kita tak ada lagi Sonya yang bertindak seperti itu.

Mari berbenah diri!

Senin, 04 April 2016

Sepeti Ceritamu; Karena Ara Benci Hujan

Tik... tik... tik....

Bunyi hujan sepanjang perjalanan meninggalkan halamanku ke halaman lainnya di kota ini.
Menembus derai rintihan hujan yang meringis tak lagi gerimis.

Sekali lagi... sepertinya hujan memang adalah mantra yang mampu menyeret kita pada sebuah kenangan. Seperti itu yang dialami oleh jiwaku malam ini.

Entah kenapa, hujan dan malam menjadi paduan yang tepat untuk membuat kita terseret. Seperti banjir bandang yang meluap dan menyeret tebing di sepanjang alirannya. Kecuali sebuah rumah yang tetap berdiri kokoh disana waktu itu. Rumah dimana rindu bersemayam.

Sebenarnya saya ingin menuliskan tentang seorang dan hujan. Namanya Ara, panjangnya Sahara. Dia seorang perempuan yang sedang menunggu di sebuah terminal bus di saat hujan turun. Sebagaimana hujan yang berderai, di matanya ada mendung yang tiba-tiba ikut menitih membasah di pipinya. Ara menangis. Ara tak suka hujan, ia membencinya.

Tiba-tiba datang seorang lelaki sebagaimana tiba-tiba tangisnya semakin deras. Berbeda dengan Ara yang membenci hujan sebagaimana namanya Sahara. Sebuah gurun yang teramat jarang didatangi hujan. Tapi bukan karena itu Ara membencinya. Hujan punya kenangan yang sama saat Ara harus menjadi yatim katanya pada Mikail yang datang itu.

Saya tak mampu memahami sebelumnya kenapa dengan mikail dan sahara? Mikail menyukai hujan, ia mencintainya seperti saya mencintai hujan. Tapi saya tak bisa ikut nimbrung dalam percakapan Ara dan Mikail disana. Saya hanya bisa memahami tentang dua insan yang berbeda dalam mengenang saat hujan turun. Ara yang membencinya karena kenangan pahitnya. Dan Mikail yang mencintainya karena baginya hujan adalah waktu tepat untuk berdo'a. Ia selalu berdo'a untuk rezky yang dilimpahkan sebanyak bulir hujan yang jatuh itu.

"Karena Ara benci Hujan", entah siapa penulis cerita pendek itu yang saya temukan di sudut surat kabar kenamaan waktu hujan turun di sebuah perpustakaan sekolah. Ketika itu Ara dan Mikail masih saling bercakap saat kutemukan dua mata yang menatapku di balik mata jendela di ruang itu.

Saya sadar itu tatapan penuh makna buatku. Rasanya hangat tatapan itu. Saya baru tersadar saat terdengar suara memecah keheningan ruangan perpustakaan. "Dek, masih mau tinggal? Perpus sudah mau tutup." Urai ibu penjaga perpustakaan sekolah mengisyaratkan saya segera bergegas.

Tik... tik... tik...

Di luar masih hujan. Tapi saya harus meninggalkan ruang perpustakaan, begitupun dengan Ara dan Mikail yang masih bercakap di terminal bus saat hujan turun. Entah bagaimana akhir percakapan mereka waktu itu.

Saya segera pulang di bawah guyuran hujan. Serasa di film-film india, saya sangat senang bisa berbasahan di guyur hujan. Hanya saja saya tak sempat menari dan bernyanyi. Namun, seingat saya bahwa dari sejak itu saya mulai mencintai hujan dan selalu senang bila bisa berbasahan di bawah derainya.

Tik... tik... tik... (sebenarnya ini sedikit romantik)


Sabtu, 02 April 2016

Demokrasi dalam pandangan Plato dan Aristoteles


Sebelum menguraikanpandangan-pandangan kedua filosof yunani ini , terlebih dahulu perlu di camkan bahwa ketika mereka berbicara tantang demokrasi, maka yang dimaksudkan tentu saja demkrasi pada abad ke-4 dan ke-5 di yunani. Yakni, suatu demokrasi yang bila diukur dengan gagasan modern tentang konsep tersebut dapat disebut dengan cepat sebagai “demokrasi yang ekstrem”. Bangsa yunani pada zaman itu hidup di Negara-kota (polis), yang jumlah penduduknya relatif sangat kecil. Jumlah total pemberi suara yang memenuhi syarat dalam masyarakat itu sekitar 40.000. Dan dalam majelis penduduk pemberi suara ini, kendali rakyat benar-benar paripurna. Orang-orang yunani tidak pernah menemukan system pemerintahan perwakilan, barangkali sebagian karena jumlah penduduknya yang kecil itu. Badan yang berdaulat di Athena adalah Majelisnya, suatu pertemuaan massa yang terdiri dari penduduk pria dewasa yang bersedia bersusah-susah untuk hadir.

Jumat, 01 April 2016

Jean Jacques Rousseau: Psikologi Eksistensialisme dan Psikologi Humanistik

Int

Pemikiran Jean Jacques Rousseau
Jean Jacques Rousseau (lahir di JenewaSwiss28 Juni 1712 – meninggal di ErmenonvilleOisePerancis2 Juli 1778 pada umur 66 tahun) adalah seorang tokoh filosofi besar, penulis dan komposer pada abad pencerahan. Pemikiran filosofinya memengaruhi revolusi Prancis, perkembangan politika modern dan dasar pemikiran edukasi. Karya novelnya, Emile, atau On Education yang dinilai merupakan karyanya yang terpenting adalah tulisan kunci pada pokok pendidikan kewarganegaraan yang seutuhnya. Julie, ou la nouvelle Héloïse, novel sentimental tulisannya adalah karya penting yang mendorong pengembangan era pre-romanticism dan romanticism di bidang tulisan fiksi. Karya autobiografi Rousseau adalah: 'Confession', yang menginisiasi bentuk tulisan autobiografi modern, dan Reveries of a Solitary Walker (seiring dengan karya Lessing and Goethe in German dan Richardson and Sterne in English), adalah contoh utama gerakan akhir abad ke 18 "Age of Sensibility", yang memfokus pada masalah subjectivitas dan introspeksi yang mengkarakterisasi era modern.
Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.