Rabu, 19 Desember 2018

Melarang Poligami, Bukan Solusi Perlindungan Terhadap Perempuan

Beberapa hari terakhir berlalu lalang opini sebuah Partai Politik yang lewat sebuah forum festival 11, menyatakan bahwa Partai mereka tegas 'Menolak Praktik Poligami'. Alasannya hasil penelitian sebuah lembaga yang menyatakan bahwa perempuan yang suaminya poligami rentan mendapatkan tindak kekeresan dalam rumah tangganya. Bagi PSI, menolak poligami adalah melindungi perempuan.

Pernyataan ini bagi saya kurang punya korelasi. Sebab poligami belum tentu menghasilkan tindak kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini istri. Sebab meskipun tingkat persentase kekerasan terhadap istri yang suaminya poligami tinggi, itu karena sampel dari yang berpoligami tentu jauh lebih sedikit dari yang monogami. Lalu, apakah yang monogami punya jaminan melindungi perempuan dari tindak kekerasan? Tidak. 

Persoalan pernikahan adalah hal berbeda dari tindak kekerasan terhadap perempuan. Kita bisa menemukan kasus monogami dimana perempuan di dalamnya mendapat perlakuan kasar. Dan bisa menemukan orang yang poligami mengalami hubungan yang baik-baik saja. Bahkan ada kasus di India,  misalkan, bahkan sampai punya puluhan istri dan mereka baik-baik saja.

Sekali lagi, poligami adalah satu sisi dan kekerasan terhadap perempuan sisi lainnya.

Jika berbicara teologi, maka kita bisa menilik kembali sejarah.terbentuknya agama-agama. Ibrahim As (Abraham) yang disebut sebagai Bapak agama-agama besar telah mempraktikan poligami. Dimana dari dua istrinya lahir putra-putra yang melanjutkan keNabian. Andai kata praktik poligami bukan ajaran agama yang dibolehkan, maka bisa jadi ujian perjalanan Ibrahim As akan berakhir tanpa keberlanjutan keturunan. Sebab senyatanya, putra pertama lahir baru setelah Ibrahim As dibiarkan menikah oleh istrinya yang pertama. 

Hal ini berlanjut seterusnya dan meskipun ada yang menjadikannya budaya lalu disalah gunakan, maka bukan praktik poligaminya yang harus dipertentangkan. Tapi tindak kekerasannya. 

Bisa dibayangkan, apa yang dialami Nabi Ibrahim As pada waktu lalu saat hendak memiliki keturunan. Pada istri pertama belum juga diberikan sampai umur yang cukup lama, hingga mereka merasa resah akan kerinduannya memiliki putra. Barulah pada saat setelah menikah untuk kedua kalinya, mendapat harapan punya keturunan.

Nah, contoh kasus yang dialami Ibrahim As saat hendak mempunyai keturunan bisa saja dialami oleh pasangan sekarang. Memang ada banyak hal yang bisa diusahakan, tapi jika sang istri benar-benar tidak bisa mengandung?  Apakah adil bagi suami jika keinginannya memiliki keturunan dihilangkan dengan aturan tidak boleh poligami? Apakah harus menceraikan istri pertama supaya bisa menikah lagi agar punya keturunan? Rasanya ini malah akan ikut menzalimi istri pertama yang harus diceraikan, sementara (bisa jadi)  ia ikhlas sebagaimana istri Nabi Ibrahim As dulu saat merelakan suaminya menikahi St. Hajar agar memiliki keturunan. Dan tentu saja akan sangat merugikan lelaki yang tak bisa berketurunan hanya harus melanjutkan prinsip monogami bersama istrinya yang tak bisa mengandung.

Lalu, apakah Poligami benar bukan ajaran islam? Jika mau berdalih sebagai budaya arab yang hobi kawin-mawin terus dibatasi hanya sampai empat saja. Maka praktik yang dilakukan oleh Ibrahim As di masa lalu, apakah bukan produk dari kebolehannya poligami? Jika poligami tidak direstui Tuhan maka kita akan menemukan sebuah sejarah yang mana silsilah keturunan sekarang akan berubah. Bisa jadi saya dan anda tidak hadir karena (mungkin) silsilah  keturunan saya ke atas, ada anak  hasil dari poligami. Sama seperti silsilah keturunan Nabi Muhammad Saww yang dianggap pembawa ajaran islam. Bisa jadi terputus dan tidak berakhir pada Ismail As.

Ada banyak motif kenapa orang bisa poligami. Tentu baik poligami maupun monogami punya potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Tergantung dari pribadi si lelaki. Apakah mentalnya cukup kuat sebagai suami atau ayah, ataukah dia memang punya sisi tempramental yang akut dan sulit dikendalikan. Kekerasan bukan karena seseorang poligami atau monogami. Dan ketertindasan perempuan dalam praktik poligami bukan karena poligaminya tapi orang yang menjalankannya. 

Membolehkan poligami tidak sama dengan mewajibkan atau menganjurkan untuk dilakukan. Tuhan sendiri membolehkan, tapi dengan syarat, berlaku adil. Lalu apakah setiap orang pasti sama untuk tidak bisa berlaku adil? Ada kemungkinan mereka bisa berlaku adil dan itu sudah pernah terjadi. Malah melarang poligamilah yang membuat paradigma sosial kita berubah, sehingga selalu menganggap (akan) tertindas perempuan yang suaminya poligami.

Melihat fenomena ini, maka membatasi setiap orang dengan kasus yang tak serupa (rumah tangga tak normal) malah bentuk diskriminatif. Membuat undang-undang pelarangan seolah-olah mengasosiasikan bahwa poligami praktik yang (pasti selalu) buruk. Padahal kebolehan poligami adalah solusi dari sebuah pernikahan yang 'tidak normal' ini. 

Bagi saya, akan lebih setuju jika upaya perlindungan terhadap perempuan diperkuat dari undang-undang perlindungan terhadap ini. Satu langkah maju, misalkan, penambahan pembatasan umur minimal untuk usia pernikahan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun yang akan segera diberlakukan. Perempuan mendapat hak-haknya dalam hal pendidikan, menempati jabatan publik dan hal yang lainnya. Sebab persoalan pernikahan adalah ranah privasi yang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang. Jika memang dalam praktik pernikahan (baik monogami maupun poligami)  terjadi kekerasan terhadap perempuan, maka harus didampingi untuk menyelesaikan kasus itu setuntas mungkin. Dan yang melakukan kekerasan harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Dan saya kira itu sudah ada produk hukumnya, sisa diperkuat dan ditambah bila masih perlu.

Sekali lagi, kebolehan poligami adalah solusi atas sebuah pernikahan yang tidak berjalan normal sebagaimana "seharusnya". Dan itu tidak dianjurkan. Sama ketika dibolehkan tayamun dengan syarat tertentu sebagai pengganti wudhu. Kalau syaratnya terpenuhi, maka hukumnya boleh. Karena itu jangan dilarang-larang.

Kamis, 13 September 2018

Kebencian yang Terlampau

Kebencian yang Terlampau
Begitu hebat dan kuatnya provokasi kepada Masyarakat untuk membenci Pimpinan Negerinya dengan cara yang telah terlampau jauh. Membenci memang bukan sesuatu yang jelek, membenci dibolehkan bahkan dianjurkan dalam kadar dan ketentuan yang sesuai. Kebencian yang terlampau itu tidak dibenarkan, apalagi sampai merendahkan derajat kemanusian di hadapan orang lain.
Dan paling parah adalah, mereka membenci mengatasnamakan iman yang dianutnya. Merasa agamanya terzalimi dan dianggap mereka dikucilkan di negerinya sendiri. Sungguh tragis, mereka di satu sisi mengaku berima, lalu mengarahkan kebenciannya begitu melampaui kadarnya. Lalu darimanakah mereka mendapati keteladanan dalam menyampaikan kebencian secara terbuka?
Ada banyak kisah keteladanan, bagaimana seyogiayanya kita bersikap atas apa yang dibenci. Nabi Musa As mencontohkan bagimana Tuhan memintanya tetap berlaku lemah lembut saat menghadap dan berbicara pada Fir'aun. Kita tahu siapa Fir'aun yang dikisahkan ini, Raja yang sampai pada tahap mengakui dirinya sebagai tuhan yang punya kuasa besar. Tapi itulah keteladanan. Tuhan mencontohkan (menganjurkan) manusia untuk tetap berlaku adil bahkan pada apa yang seharusnya amat dibenci. Disini kita belajar pengendalian diri.
Kemudian, Ibrahim As saat menghadapi Namrud. Adakah manuskrip yang kita dapati dimana Ibrahim As memuntahkan cemoohan yang mengolok-olok Namrud pada waktu itu? Tidak. Tapi Ibrahim As mengajukan argumen-argumen yang layak dan masuk akal pada Namrud. Disini kita belajar tentang ketabahan.
Kisah lain, Nabi Muhammad Saww saat menghadapi pemimpin Quraisy yang tak berpihak padanya. Apakah Nabi lalu menggumpat dan memprovokasi Masyarakat? Bahkan pada saat kekuatan Muhajirin dan Ansar di Madinah kuat baik secara politik maupun kemiliteran, Nabi tak pernah melakukan umpatan yang memprovokasi untuk mengolok Pimpinan Quraisy. Bahkan tatkala Nabi yang memiliki kekuatan sepenuhnya umat muslim mendapat perlakuan oleh Masyarakat penolak dakwahnya yang membuat luka di wajahnya, tak pernah menyetujui membalas dengan cara yang kasar. Disini kita belajar kasih sayang, rahmatan lil alamin.
Lalu, setelah ribuan tahun berlalu kisah-kisah Manusia suci yang seharusnya menjadi teladan itu seakan dilupakan. Mereka yang juga mengaku umat dari ke 3 Utusan di atas, malah tak bisa mengontrol diri, tak punya ketabahan dan seolah tak memiliki rasa kasih sayang sampai-sampai harus mengumpat, memprovokasi dan menjelek-jelekkan dengan sangat kasar seorang Pimpinan Negerinya.
Seolah-olah mereka menjelma menjadi Malaikat yang suci melebihi sucinya Nabi-Nabi yang telah diutus. Seakan mereka lupa atas pesan dari Tuhannya yang melarang mereka mengolok-olok orang lain melampaui batas.
"Janganlah suatau kaum mengolok-olok kaum lainnya, sebab bisa jadi yang diolok-olok itu masih lebih baik dari yang mengolok". (Seperti ini isi titah Tuhan).
Pertanyaannya, apakah yang mereka sudah lakukan lebih baik dan lebih banyak dari Pimpinan yang diolok ini? Kenapa begitu melampaui batas kebenciannya?
“Janganlah membenci melampaui batas, sebab bisa jadi yang kau benci amat baik bagimu. Dan janganlah mencintai melampaui batas, bisa jadi yang kau anggap baik amat buruk bagimu". Intinya jangan terlampau jauh.
Saya teringat sebuah kalimat yang beberapa waktu lalu terdengar di sebuah kesempatan.
"Sekurus-kurusnya Ikan, pasti ada dagingnya. Segemuk-gemuknya Ikan, pasti ada tulangnya." Saya kira ini konsep serupa yang diajarkan Tao. Yin dan Yang. Seperti yang disebutkan dalam kitab suci, kita yang bukan fiksi.
Bagaimanapun kebencianmu, redamlah agar tak melampaui perilaku yang seharusnya tak kau lakukan. Ini bulan Ramadhan, hendaknya kita lebih banyak merenung. Buka puasa nanti ikannya kurus atau gemuk?. Kalau kurus tulangnya jangan dimakan. Kalau gemuk, hati-hati tulangnya keselek.
Jokowi memang kurus, tapi belum tentu sehina yang kau pikirkan. Adillah!

Rabu, 12 September 2018

Zionis Israel dan Pengasong Khilafah

Zinois dan Pengasong Khilafah

Beberapa hari terakhir kita begitu resah atas klaim sepihak yang dilakukan oleh Trump yang mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Hampir seluruh umat muslim dunia mengutuk keputusan itu. Termasuk saya.
Kenapa klaim itu harus ditolak?
Bahwa Jerusalem adalah kota suci 3 agama yang merupakan wilayah sah, sebagai Ibu Kota bagi Negara Palestina. Sementara Israel hanyalah sebuah Negara Ilusi yang diakui eksistensinya oleh para Zionis dan pendukungnya, utamanya Amerika Serikat.
Israel adalah negara palsu yang didirikan kaum zionis yang tak tahu diri. Mereka ini sebelumnya adalah kaum yang diberi tumpangan di Negara Palestina sebelum berusaha menggerogoti Palestina dari dalam bahkan menguasai wilayahnya. Mereka inilah virus yang tanpa sadar dipelihara sendiri oleh Palestina.
Betapa amat berbahayanya doktrin zionis yang berangkat dari doktrin agama yang mereka yakini. Bagi umat Yahudi, mereka meyakini Palestina sebagai tanah yang dijanjikan oleh Yahweh (sebutan teoligi mereka atas Tuhan). Kaum picik diantara umat Yahudi (Zionisme) mengembangkan doktrin itu kepada yang lain bahwa sebagai tanah yang dijanjikan Yahweh, maka menjadi kewajiban kaum Yahudi merebutnya kembali dan menguasainya. Mereka meyakini di tanah itulah nanti datangnya "Sang Mesiah". Pahaman mereka berkembang hingga mendapat kekuatan dari bantuan Amerika Serikat untuk mendirikan Negara (Israel) dalam sebuah Negara (Palestina). Dari sana terbentuklah Israel yang telah merebut sebagian besar wilayah Palestina.
Lalu, Apa Hubungannya dengan Pengasong Khilafah
Para Pengasong Khilafah tak jauh berbeda dengan Zionis. Mereka yang hidup dalam perlindungan sebuah Negara malah menolak mengakui kedaulautan Negara tempatnya dinaungi. Parahnya, sistem dan Pemerintah Negara yang diaggap Thogut, mau mereka ganti dengan sistem khilafah. Sebab doktrinnya menganggap khilafah kewajiban yang perlu ditegakkan.
Pengasong khilafah ini, mengatas namakan Tuhan menjadi virus yang berbahaya bagi kemanusiaan.
Jika di Palestina ada Israel yang menggerogoti Negara tersebut, di Irak dan Suriah ada ISIS yang mendirikan Negara Khilafahnya, di bawah pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi. Beruntung, ISIS sebelum sebesar Israel berhasil dipukul mundur oleh tentara gabungan koalisi di kawasan itu.
Kemiripan perilaku Zionis dan Pejuang Khilafah (ISIS) yang sama-sama memakai dalil atas nama Tuhan memang sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Mereka sama-sama mengilusi keyakinannya membentuk sebuah Negara untuk diperlihatkan sebagai keberhasilan beragama kepada Tuhan. Tanpa memperdulikan kemanusiaan, atas nama agung Tuhan mereka membunuh serampangan, merampas, menjarah dan mengusir bangsa sebuah Negara.
Olehnya itu, sebagaimana Zionis yang mendirikan Negara ilusi Israel yang harus kita lawan, maka Pengasong Khilafah yang ingin mendirikan Negara ilusi 'Khilafah' juga harus dilawan dengan tegas. Termasuk Pengasong Khilafah di Indonesia. Jangan sampai Indonesia di di-Irak-Suriah-kan, atau lebih parahnya seperti Palestina yang di-Israel-kan. Jangan sampai.

Senin, 03 September 2018

Di Matanya, Jokowi Harus Tetap Salah

Jokowi Harus Tetap Salah
Pembukaan Asian Games pada 18 Agustus 2018 lalu yamg spektakuler tak ikut membuatnya bangga, meskipun banyak masyararakat Indonesia dan di berbagai belahan dunia mengelu-elukan hal ini. Jokowi salah, hadir di pembukaan Asian Games di tengah korban gempa di Lombok. Seperti itu pikirnya. Jokowi tak berempati untuk lombok, menurutnya. Padahal Bapak Jokowi sudah beberapa kali secara langsung ke Lombok sebelum pembukaan Asian Games berlangsung.
Penutupan Asian Games 2018 yang berlangsung pada2 September 2018, Bapak Jokowi tidak hadir. Beliau lebih memilih untuk ke Lombok, NTB. Tujuannya apa? Mengadakan nonton bareng penutupan Asian Games bersama warga lombok terdampak bencana gempa. Harapannya sederhana, semangat Asian Games, semangat sportifitas yang selalu bangkit meskipun terjatuh ingin ditularkan. Semangat 'Energi of Asia' yang memenuhi Stadion Gelora Bung Karno (GBK) ingin ditularkan kepada masyarakat Lombok yang lagi dirundung bencana. Saya membacanya, Bapak Jokowi ingin menyampaikan bahwa kita harus tetap semangat meskipun mengalami tragedi. Seperti Para atlit yang telah berjuang untuk selalu bangkit.
TAPI. 
Bagi mereka Jokowi harus tetap salah. Ketidak hadirannya di GBK untuk menutup Asian Games dianggap sebagai pelarian karena takut menggunakan bahasa inggris. Jokowi dianggap ngacir. Selain itu video berdurasi beberapa menit di tengah kerumunan warga di bawah tenda darurat, dianggap percintaan tanpa empati ke warga Lombok. Jokowi sekali lagi dianggap hanya pencitraan belaka.

Kenapa baru sekarang ke Lombok pada saat penutupan Asian Games? Cecarnya.
HEHEHE. 
Mari kita tersenyum.
Perhatikan, selepas acara pembukaan Asian Games yang meriah. Mereka berbondong-bondong mencaci Bapak Jokowi karena hadir di GBK membuka acara di saat warga Lombok sedang dirundung duka. Mereka ingin Bapak Jokowi tidak di GBK, tapi seharusnya di Lombok. Dan pada penutupan Asian Games, Jokowi tengah berada di Lombok tidak di GBK. Kemudian apakah mereka mengapresiasi positif? TIDAK. Sebab Jokowi memang harus selalu disalahkan.

***
Mungkin diantara kita ada yang berpikir, betapa sulitnya menjadi seorang Jokowi. Tak pernah benar di matanya. Tapi mungkin mereka bagian dari kaum feminin yang akut, di matanya 'lelaki selalu salah' tak peduli apa yang dilakukan. Nyatanya di Negeri ini tak hanya perempuan yang jadi feminin yang akut. Yah, itu mungkin pemikiran sebagian kita.
Hanya saja, saya melihat Jokowi paham bahwa sebagaimanapun usahanya melakukan yang terbaik, semua orang pasti tidak akan setuju. Itu rumus dunia. Tuhan saja yang jelas kuasanya kadang dibantah. Apalagi manusia.
Jadi, apapun yang dilakukan Jokowi akan selalu berlaku salah dimatanya. Karena di matanya masih tersimpan selaksa peristiwa. Dan itu hanya bisa didapatkan jawabanya pada rumput yang bergoyang.

Selasa, 28 Agustus 2018

Bencana Itu di Lombok atau di Hati Kalian?

Bencana Itu di Lombok atau di Hati Kalian?
Sebenarnya saya enggan menuliskan ini dan lebih memilih untuk menyerukan fokus melakukan 'recovery' atas korban terdampak gempa di Lombok, NTB. Tapi, semakin banyak yang seolah-olah peduli Lombok namun di lain sisi menyalahkan Pemerintah Pusat yang dengan segala upaya telah ikut dalam penanganan gempa Lombok.
Hal yang jadi bahasan adalah status bencana. Mereka mendesak agar status bencana Lombok dinaikkan menjadi status Bencana Nasional. Agar apa? Supaya Pemerintah Pusat total membantu Lombok. Bukankah itu sudah dilakukan? Yah bagi mereka belum cukup. Harus dinaikkan menjadi bencana nasional.
Lalu apakah perlu status bencana Nasional itu? Sepengelaman saya yang pernah ikut pelatihan Pramuka Peduli (Regu Tanggap Bencana di Pramuka) 2011 silam, pemateri dari BASARNAS mengungkapkan bahwa status bencana itu diatur. Untuk status bencana nasional kriteria utamanya adalah komando ditangani Pemerintah Pusat, dalam artian status ini dinyatakan apabila Perangkat Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten) tidak bisa berfungsi sebagaimana seharusnya dalam menanggulangi bencana yang terjadi di daerahnya. Fix, jadi status bencana nasional itu dilihat dari siapa yang mengambil komando selain dari faktor lainnya.
Perihal status Lombok yang hari ini menjadi polemik. Seolah-olah semua menjadi gusar akan status bencana Lombok meskipun mereka tak tahu bahwa status bencana itu hanya dilihat dari siapa yang mengomandoi. Seakan lebih penting status bencananya ketimbang fokus penanggulangan daerah terdampak.
Untuk menjawab kegusaraan itu, Pemerintah telah memberi penjelasan mengenai status gempa lombok yang belum dinaikkan menjadi bencana nasional. Faktor ekonomi bagi wilayah sekitar yang tak terdampak gempa akan dipengaruhi jika status bencana nasional ditetapkan. Dan meskipun Pemerintah Pusat telah menyatakan bahwa bukan statusnya yang penting tapi upaya penanggulangannya, masih saja belum mau dimengerti. Mereka tetap menuntut status dinaikkan.
Terakhir, beredar Surat dari Menteri Dalam Negeri yang meminta dana bantuan dari setiap daerah (APBD) untuk ikut menanggulangi bencana Lombok. Tapi apa yang terjadi? Surat itu nyatanya tetap dijadikan alat untuk mencibir Pemerintah Pusat. Mereka bilang, ini alasannya sehingga status tidak dinaikkan menjadi bencana nasional. Pusat kekurangan uang dan meminta ke daerah, katanya. Itu seolah memalukan, menurut mereka.
Lah?. Apakah salah jika Pemerintah Pusat melakukan koordinasi ke tiap daerah seperti itu? Bukankah ini malah berarti bahwa Pemerintah Pusat lewat Mendagri telah mengambil komando (seperti status bencana nasional) untuk mengkordinasi secara nasional penanggulangan bencana di Lombok? Bukankah ini yang ditunggu mereka?
Tapi kenapa tiba-tiba surat itu malah dicibir? Salahkah Pemerintah Pusat meminta dana APBD Penanggulangan bencana ke setiap daerah yang ada untuk membantu lombok? Bukankah setiap daerah memang mendapat dana dari APBN (menjado APBDnya) untuk urusan penanggulangan bencana? Saat ini banyak daerah yang hampir tak ada bencana di wilayahnya, artinya dana penanggulangan bencana yang disiapkan pasti tidak terpakai. Jadi apa salahnya meminjam uang itu untuk menanggulangi Lombok? Bukankah ini justru seolah menjadi bencana nasional karena setiap daerah secara nasional sudah diminta ikut membantu meskipun Presiden belum menetapkan statusnya?.
Mungkin benar kata Presiden, statusnya tidak penting yang penting fokus penanganannya. Dan sekarang penanganannya sudah diambil alih pusat, satu diantaranya lewat Mendagri. Lalu, Menkopolhukam diutus langsung kesana mengomandoi dan langsung melaporkan ke Presiden. Beberapa waktu lalu, Presiden pun telah kesana sampai menginap di lokasi pengungsian. Tapi itu masih belum cukup untuk tidak mencibir Pemerintah Pusat.
Sekarang, kalau mereka mau minta status bencananya jadi nasional agar komando di tangan Pusat. Nah, sekarang sudah diambil komando dari Pusat untuk menanggulangi bencana secara nasional dengan melibatkan semua daerah yang punya dana tak terpakai.
Jika dengan ini mereka masih meminta status bencana dinaikkan. Maka bolehlah kita bertanya pada mereka, sebenarnya yang terjadi bencana itu di Lombok atau di hati dan otak kalian?
****
Maafkan tulisan ini.
Semoga kita kembali fokus untuk recovery korban berdampak bencana. Bukan malah saling menyalahkan siapa yang harus lebih bertanggung jawab. Dan seolah kitalah yang paling besar membantu.
#prayforlombok
#recoverylombok
#bersatuIndonesiaku

Selasa, 07 Agustus 2018

Interpretasi Perang Badar Ala Jokowi, Perlawanan Saat Musuh Datang

Interpretasi Perang Badar Ala Jokowi, Perlawanan Saat Musuh Datang


Perang Badar yang dilakukan Nabi Muhammad Saww di masa awal membawa risalahnya adalah sebuah perlawanan terakhir saat tak ada pilihan untuk lari. Tuhan yang selalu mengajak manusia untuk hidup dalam damai melalui utusannya, pada satu titik tertentu membolehkan melakukan perlawanan. Perang Badar adalah contoh, bagaimana saat Nabi telah menghindari konfrontasi fisik dari musuh-musuhnya. Baginda bersama pengikutnya malah mencoba untuk beranjak dari Mekkah ke Madinah, peristiwa ini dikenal dengan Hijrah. Bersama kaum muhajirin Nabi menghindari musuhnya. 

Tapi kenyataannya, sebagaimanapun Nabi mencoba menghindar. Para musuh terus saja mengusik, memfitnah dan ingin mencelakai Nabi. Puncaknya para musuh bersatu dalam ribuan pasukan untuk menyergap Nabi. Dalam kondisi ini, saat tak ada lagi pilihan untuk lari, maka akhirnya diperbolehkan untuk melawan musuhnya. Meski dengan hanya 313 pasukan, dengan pertolongan Tuhan perang dimenangkan. Itulah perang badar. 

***
Nah, belakangan malah muncul orang-orang seperti Neno Warisman yang mengampanyekan tagar 2019 Ganti Presiden dan mengibaratkannya seperti perang badar. Ia mencoba membakar semangat pejuangnya untuk membara memenangkan pilpres. Bukan kali ini saja, Amien Rais pun pernah memakai istilah perang badar saat menganalogikan Pilpres yang dimana ia ikut menjadi Tim Pemenangan. Bahkan lebih parah, AR menyebut Partai di kubunya sebagai Partai Islam dan di luarnya Partai Setan.

Tapi semua baik-baik saja bagi kelompok sebelah. Mereka tak ada yang protes penggunaan istilah perang yang ingin mengalahkan musuh serta klaim kubu sebagai yang paling benar.

Hal yang paling saya ingat dan paling lucu pada 2014 silam adalah anggapan bahwa mereka kubu paling beriman dan benar. Mereka bilang bahwa Tuhan akan memenangkan kebenaran, Tuhan selalu bersama orang-orang baik yang berjuang di jalannya. Kenyataannya, Jokowi-JK menang pada 2014 silam. Lantas apakah do'a mereka terkabul? Bagi mereka mungkin saja Tuhan keliru saat yang menang adalah yang dianggap musuh.

Tak hanya disitu, bahkan mereka suka membawa analogi lain. "Kalau hanya membangun, maka Fir'aun pun membangun". Kira-kira apa maksudnya ini? Ditambah lagi tuduhan-tuduhan rezim yang dianggap memusuhi islam padahal dekat dengan pesantren. Dianggap memusuhi ulama padahal takzim pada ulama sampai diundang ke istana.

Tapi, kenyataannya memang semenggelikan itu. Di saat pak Jokowi menginterpretasikan makna perang badar. "Jangan mencari musuh, hindari fitnah, jangan sebar hoax. Tapi (kalau segala upaya itu sudah dilakukan, namun musuh tetap saja mengusik) kita juga harus berani melawan. Jangan lari". Jadi bukan mengajak atau memprovakasi sebagai mencari permusuhan. Bukan. Itu hanya sekadar ajakan bertahan. Sebab di tengah derasnya api fitnah, kita harus melawan mereka agar tidak membakar lebih banyak lagi akal-akal sehat masyarakat. 

Terakhir, jika pernyataan Jokowi berikut dianggap provokasi.

"Jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah. Tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang lain. Tapi kalau diajak berantem juga berani."

Bagaimana dengan pernyataan Neno Warisman dan AR yang merepresentasikan diri sebagai kubu yang benar dan lawannya (Kubu Jokowi) musuh islam? Apakah mereka mengabaikan banyaknya ulama di kubu Jokowi? Dengan apa kalian menganggapnya? Proposalkah? Atau proyektor? Itu jelas PROVOKASI.

Minggu, 05 Agustus 2018

Masalah Vaksin: Ikhtiar vs Kepasrahan Diri yang Tak Pasrah dan kehalalan yang Lebay

Masalah Vaksin: Ikhtiar vs Kepasrahan Diri yang Tak Pasrah dan kehalalan yang Lebay
Tiba-tiba jagad media dibuat heboh dengan soalan vaksin. Pro dan kontra menjadi hal lumrah atas apa yang terjadi ini. Tapi mengajak (memprovokasi) masyarakat lain untuk menolak dengan asumsi yang berlebihan juga tidak boleh dibiarkan. Apatah lagi kebanyakan malah menyebar hoax yang intinya ingin menyudutkan pihak Pemerintah yang sedang melakukan upaya vaksinasi (memberi daya kebal) bagi tubuh anak Indonesia untuk bisa melawan virus Measses Rubella (MR). Virus yang teramat berbahaya jika anak tak kebal terhadapnya.
Perkembangan pengetahuan yang terus diteliti oleh Para Ilmuwan Kesehatan atas kasus yang disebabkan virus MR ini intens dilakukan hingga ditemukan terobosan vaksin untuk menangkapnya dengan mengembangbiakkan dalam tubuh anak. Sekadara untuk diketahui, bahwa dalam tubuh anak-anak ada sistem imunitas yang akan aktif untuk membuat anti bodi saat ada virus dalam skala kecil (masih mampu ditangani) masuk dalam tubuhnya. Nah, rekayasa inilah yang diperlukan untuk menciptakan antibodi atas virus MR ini.
Banyak kemudian yang menuliskan seolah-olah dengan penuh kepasrahan, "biarlah Allah yang menjaga anak-anakku dari marabahaya. Dialah sebaik-baik penjaga dan penolong. Dulu kami juga tidak divaksin, tapi baik-baik saja kok.".
Rasanya saya ingin berteriak di telinga orang seperti ini. "Memangnya kau anggap Tuhan apaan?" kalau kau tidak vaksin waktu kecil dan baik-baik saja hingga hari ini ya syukur. Tapi kau harus tahu, bahwa beberpa virus berkembang belakangan dan itu rentan terhadap anak-anak. Entah karena pengaruh ekologi, pola hidup makan instan atau konspirasi, jelasnya virus itu ada dan mengincar anak-anak. Termasuk anak-anak kalian. Tuhan bilang segala penyakit pastinada obatnya, dan ilmuawan telah menemukan bahwa obat yang perlu disiapkan adalah membentuk sistem imun pada diri anak-anak melalui vaksin MR ini.
Saya beri analogi, proses vaksinasi itu adalah mempersiapkan diri bagi yang divaksin untuk kebal atas penyakit yang tidak diharapkan terjadi padanya. Misalnya, kita menggunakan sabuk pengaman atau helm saat berkendara itu semua proses vaksinasi (mempersiapkan diri) menghadapi kecelakan meskipun berharap kecelakaan itu tak pernah terjadi. Tapi jika kecrlakan tetap terjadi, setidaknya kita sudah ikhtiar (berusaha) melindungi diri sehingga bisa selamat atau meminimalkan cidera saat terjadi. Nah, begitulah proses vaksin bekerja. Kita tak tahu bahwa penyakit itu akan menyerang anak-anak kita. Kalau tida diserang yah syukur, tapi kalaupun kenyataannya diserang yah kita sudah mempersiapkannya agar bisa selamat atau paling tidak mengurangi dampaknya. Inilah yang disebut ikhtiar. Berusaha maksimal lalu pasrah. Bukan pasrah tapi tidak pernah berupaya melakukan tindakan yang jelas ada dan tersedia, gratis pula.
Lalu bagaimana dengan kehalalannya?
Ini juga menjadi lucu. Kenapa seolah-olah kita jadi mabuk sertifikat halal untuk sebuah vaksin yang tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit? Lah, selama ini makanan yang kita makan dalam kemasan itu tak semua berlabel halal dari MUI. Lalu apakah berbeda posisinya vaksin ini dengan makanan kemasan lainnya?
Kenapa misalkan saat kita beri anak-anak uang jajan, kita tanyakan apa yang mereka beli? Permen. Apakah permennya sudah ada label halalnya? Kenapa kita tak peduli itu, padahal frekuensi memakan permen bagi anak-anak kita jauh lebih besar dari vaksin yang cuman sekali. Belum lagi makanan kemasan lain. Coklat, mie instan, kerupuk dll. Apakah kita peduli label halalnya sebelum dikonsumsi anak-anak kita?
Saya ingin membidik ke telinga mereka. Coba pahami fiqih agama anda. Bukankah dibolehkan memakan daging babi (yang dianggap haram) dalam kondisi tertentu? Lalu atas dasar apa itu dibolehkan? Tentu karena melihat mamfaatnya untuk menyelamatkan jiwa anda. Sama halnya penggunaan narkoba atau zat bius lainnya. Apakah dalam kondisi normal itu dibolehkan? Tidak. Tapi ini atas dasar pengobatan maka dianggap dibolehkan. Kalaupun misalkan vaksin itu memang mengandung babi, yah bagaimana lagi jika baru itu satu-satunya vaksin yang ditemukan. Bisa jadi itulah manfaat Tuhan menciptakan babi di dunia. Bukan hanya unyuk ditunjuki di hidungnya bahwa si hewan haram.
Sekali lagi, bukankah segala penyakit ada obatnya kecuali tua? Maka itulah obat yang diciptakan orang berilmu (ilmuwan) yang dalam setiap kitab agama diapresiasi.
Terakhir, vaksin MR itu telah dijelaskan tidak mengandung babi. Sama seperti makanan kemasan lain yang juga tidak mengandung babi dan tidak bersertifikat halal. Jadi apa masalahnya? Janganlah terlalu lebay.

Selasa, 31 Juli 2018

Dua Tahun Pemerintahan JOKOWI-JK

Banyak hal yang sampai haribini telah ditorehkan. Pemerintahannya merajut kembali Indonesia. Berupaya membuatnya sambung menyambung menjadi satu. Memeluk satu demi satu pelosok yang selama ini terpinggirkan.

Jokowi-JK tentu bukan manusia super yang bisa melakukan semua sekaligus. Mereka bukan pula tabib sakti yang bisa meramu obat yang bisa manjur sekali minum. Pun mereka bukan pesulap yang bisa menghilangkan setiap persoalan yang ada di depan mata. Mereka tetaplah manusia biasa yang ingin terus bekerja bagi bangsanya.

Jokowi-JK bergerak cepat. Ada banyak hal yang sudhlah dikerjakan, pun ada banyak hal yang masih dalam list perencanaannya.

Lalu apa yang mereka perbuat untuk bangsa ini?

Saya melihat Jokowi-JK menjadikan dirinya jarum untuk merajut kembali Indonesia. Mereka memeluk papua, mengusap bagian terluar kalimantan, menjaga blok natuna dan masuk ke pedalaman kalimantan.

Jokowi-JK merajut Indonesia. Membangun Tol Laut kawasan timur Indonesia, mendirikan banyak bandara, jalur Kereta digenjot, jalanan baru dibuka melintas gunung, jembatan dididirikan. Pabrik sagu terbesar di Papua, Papua dijadikan pusat Swasembada Pangan, Tax Amnesty, penyamaan harga BBM seluruh Indonesia.

Toh, diantara yang diperbuat masih banyak yang belum. Menyelesaikan konflik di Sampang, masih banyak masyarakat miskin di pedesaan dan pinggiran kota yang belum mendapat hidup layak, pendidikan yang masih belum merata, rumah sakit yang belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Jokowi-JK masih terus bekerja. Masih banyak hal yang belum dikerjakan. Dua tahun telah berlalu, sisa tiga tahun lalu kesempatan bekerja. Berbuatlah untuk negati yang kita cintai ini.

Sehat dan kuatlah! Kita bersama merajut bangsa ini.

Rabu, 04 Juli 2018

Jangan Cengeng, yang Naik Non Subsidi!

Jangan Cengeng, yang Naik Non Subsidi!
Harga yang naik itu BBM Non Subsidi. Dulu 2016 silam saat ke Papua harga BBM Subsidi sudah berkali lipat dari yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Lalu apakah anda mempersoalkan itu? Tidak. Tapi Presiden yang kalian caci maki karena harga BBM Non Subsidi awal bulan kemarin naik mempersoalkan itu. Dalam beberapa kali kunjungan Bapak Jokowi ke Papua ia begitu prihatin atas BBM disana yang harganya bisa mencapai 5 sampai 10 kali lipat. Keprihatinan Jokowi bukan sekadar kata-kata belaka, beliau mengupayakan harga BBM di Papua juga sama dengan harga BBM di pulau lainnya di Indonesia. Oktober 2016 BBM di Papua menjadi satu harga sama di seluruh Indonesia.
Apakah anda tahu berapa beban biaya yang harus dikeluarkan Pertamina untuk menannggung subsidi satu harga itu? Minimal Rp. 800 M. Tapi demi asas keadilan bagi Papua ini harus dilakukan. Lalu, apakah upaya ini mendapat apresiasi dan para penyinyir? Tidak. Dan saya kira Presiden juga tak butuh itu.
Hanya saja, menjadi tidak adil jika Para Penyinyir hanya tahunya mengeluh dengan begitu cengengnya menyangkut naiknya harga BBM Non Subsidi beberapa hari lalu. Padahal jelas, bahwa yang naik adalah yang Non Subsidi. BBM Subsidi (premium dan solar) tetap di angka harga awal. Lalu, apakah mereka yang nyinyir ini pengguna BBM non Subsidi (Pertamax dan Petralite)? Jika anda pengguna Pertamax dan Petralite artinya anda tergolong mampu. Jika bukan, maka tidak perlu ikut memprovokasi bahwa BBM dinaikkan diam-diam tengah malam dan segala macamnya. Itulah memang regulasinya. Sebab harga Non Subsidi memang diberikan kewenangan untuk diatur sesuai harga pasar yang ada di Lapangan.
Dan faktanya, BBM Non Subsidi selama Pemerintahan Jokowi sudah mengalami perubahan sebanyak 10 kali. Tapu, apakah anda yang nyinyir hari ini pernah memberikan apresiasi positif saat harga BBM Non Subsidi mencapai angka Rp. 7.350 pada Mei 2016? Jika tidak. Maka memang ada masalah serius dari cara berpikir anda itu.
Tambahan, jika hari ini anda para penyinyir ingin semua BBM disubsidi yang mana pemakai terbesarnya adalah Industri Perusahaan. Maka siapkah anda jika Pemerintah menambah utang lagi untuk menambal subsidi itu? Ataukah Pertamina merugi dan bangkrut yang menyebabkannya harus dijual karena tidak profit lagi? Apakah sekiranya Pertamina sebagai BUMN dijual akan membuat hati kalian tenang? Tidak. Malah semakin nyaring nyinyir kalian.
Terakhir, bahwa apa yang dialami Papua selama ini puluahn tahun itu tidak pernah kita lirik. Disini, di tempat anda hidup pasti belum pernah membeli harga BBM di atas Rp. 50.000 per liternya. Itu terjadi puluhan tahun di Papua. Apakah mereka senyinyir kalian pada saat Pemerintahan Presiden sebelumnya?
Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.