Rabu, 28 Desember 2016

Melawan Emosi dengan Diam

Melawan Diam

Saya teringat seorang teman di sebuah warung kopi di suatu malam. Ia bercerita dengan rasa penyesalan kepadaku.

"Saya tak bisa mengontrol emosiku. Saya rasanya menjadi lega ketika meledakkannya lewat kata yang keluar dari mulutku. Tapi, setelahnya menjadi tak sama lagi. Umpatan yang keluar tak mungkin kutarik dan terhapus. Orang yang mendengarnya pasti akan mengingat ucapanku yang kasar", ceritanya padaku.

Saya tersenyum.
"Semua orang pasti mengalami kondisi emosional apabila ada sesuatu hal yang membuatnya kebingungan dan tak tahu harus bagaimana, membuatnya kesal dan merasa dipermainkan.

Pada sebuah kondisi seperti ini, saya lebih memilih untuk diam. Diam adalah pilihan terbaik saat ada emosi yang bergejolak di dalam dada. Berbicara dengan emosi yang membakar bisa meledakkan kata yang keluar dari kerongkongan. Saya memilih menahannnya, meski sesak dada. Masih lebih mending menepuk dada yang sesak agar lapang, ketimbang membiarkan emosi bercampur kata keluar menjadi suara yang bisa merusak banyak hal."

Teman saya mengangguk.
"Jadi saya harus diam dulu begitu?", selorohnya.

"Itu hal yang terbaik bagi kita. Tahanlah sebisamu, jika sesak dadamu, tepuklah agar lapang. Jangan biarkan emosi membakarmu. Setelahnya, jika kau ingin marah, marahlah. Marahmu jangan karena dikuasai emosi yang membakar. Jika menepuk dada belum redam, maka duduklah. Jika duduk masih bergejolak baringlah. Biarkan dirimu merendah agar ia ikut meredam. Selebihnya kamu bisa membasuh dengan air wajahmu, wudhu lebih baik. Puncaknya adalah sembahyang. Mintalah pada Tuhan membesarkan hatimu, melapangkan dadamu. Ia yamg akan menepuk dadamu untukmu. Berdamailah!'

*temanku memahaminya.

Setiap kali ia merasa emosi, terhinakan, diacuhkan, disepelekan dana apapun yang membuatnya ingin meledak, ia akan diam. Meredamnya dalam dada. Lalu menepuknya agar lapang. Atau meminta Tuhan menepuknya untuknya. Dia telah belajar berdamai.

Seperti temanku, saat kondisi sepertinya kuhadapi maka saya memilih diam. Itu karena ada yang tertahan di dalam dada. Berbicara kelak ketika dada benar telah lapang. Berdamailah!


Minggu, 25 Desember 2016

Mengucap Natal Bukan Sesuatu yang Haram

Mengucap 'Selamat Natal' Tak Merusak Akidah

Tahun 2009 setamat SMA saya akhirnya memilih untuk melanjutkan kuliah di Makassar. Saya harus meninggalkan kampung halaman di Pangkep dan menetap sementara waktu disana.

Pemilik rumah tempat saya 'nge-kos' adalah seorang nasrani. Kami memanggilnya 'Oma'. Saya hampir dua tahun menyewa sebuah kamar di rumahnya bersama teman-teman lainnya. Dalam masa itu, kami seringkali mendapati orang-orang datang ke rumah beribadah. Lantunan pujian kepada Tuhan yang dinyanyikan oleh mereka bagi kami merdu. Kami biasa sengaja menunggu di dalam kamar mendengar ibadah mereka selesai.

Pernah juga saya berada di rumah saat menjelang Natal. Mendengar mereka beribadah tak membuat iman saya bergeser. Tak seperti yang dikhawatirkan beberapa orang muslim lainnya. Kami biasa mendapat makanan dari 'Oma'. Dan di rumah tempat kami 'nge-kos', alhamdulillah teman-teman bisa salat dengan mengeraskan suara juga. Tak ada yang berkeberatan. Bahkan di bulan ramadhan 'oma' biasa membangunkan kami sahur dengan menyiapkan makanan berlebih yang dimasaknya buat kami. Oma juga kadang menegur kami untuk ingat ibadah. Ikut salat tarwih di masjid.

Sepanjang hampir dua tahun itu, iman saya baik-baik saja. Bahkan beberapa teman menyewa disana sampai selesai kuliah. Ada yang sampai lima tahun. Dan hari ini, iman mereka tetap baik-baik saja.

Ingin saya sampaikan bahwa serumah dengan orang nasrani, itu tak mengubah akidah kami. Kami baik-baik saja. Apatah lagi jika hanya mengucapkan 'selamat natal' pada mereka. Mengapa menjadi begitu susah harus memberi larangan mengucap natal pada mereka. Seakan agama yang dianut ini begitu lemah dan rapuh untuk dicemari hanya dengan berucap 'selamat natal'.

Bagi mereka, mengucap natal atau tidak tak memberi pengaruh pada perayaannya. Tapi menyampaikan larangan seakan-akan kita takut terpengaruh adalah hal yang akan menyakitkan bagi saudara kita. Menyampaikan larangan seakan mereka begitu jahat akan menjadikan kita seiman mereka. Itu akan menyakitkan hati.

Cukuplah pengalaman kami, bahwa 'mengucap natal' pada saudara nasrani tak membuat akidah kami bergeser. Saya punya banyak relasi, teman yang berbeda agama. Sepanjang kami berinteraksi tak membuat iman kami berpengaruh. Kami baik-baik saja. Kami saling memahami dan menghargai.

Kami tak mau dikotak-kotakan dengan fatwa-fatwa yang seakan saudara kita itu akan mengubah akidah kita. Biarlah Tuhan yang menilai keimanan kita masing-masing. Persaudaran kita sesama manusia tetap harus dijalani dengan baik-baik saja.

Saya jadi teringat Oma.
Selamat Natal untuk Oma, Kak Hans, Kak Hesty, Renold dan Brillyan.
Selamat Natal untuk saudara umat kristen.
Semoga damai selalu beserta kita.

Aameen.


Jumat, 23 Desember 2016

Plural Is Me

::::: PLURAL (IS) ME :::::

Mengenakan baju ini, saya tetiba ingat (alm) Gus Dur.

Ia adalah Bapak Pluralisme di Negeri ini. Ia tak hanya milik warga NU tapi juga semua golongan agama. Sikapnya yang menghormati pemeluk agama lain, membuatnya disayangi oleh segenap pemeluk agama di Negeri ini.

Negeri Indonesia, akhir-akhir ini mengalami sebuah goncangan yang hebat sebagaimana goncangan yang melanda banyak wilayah dibTimur Tengah dan bagia Asia lainnya. Isu agama dihembuskan entah dari mana. Perpecahan sektarian karena agama menjadi semakin tajam. Entah siapa yang mencoba menyiramkan 'bensin' pada isu agama ini. Kobarannya membakar banyak hati kaum agamawan yang menganggap agama yang dianutnya (yang kebanyakan hanya sebagai warisan orang tua) sebagai sesuatu yang superior dan ekslusif. Mirisnya, mereka memandang penganut agama lain sebagai manusia yang tak layak menghuni surga milik agama mereka kelak. Dari sini saya merasa seakan ada keterasingan yang melanda rasa kemanusiaan kita.

Hari ini, santer terdengar teriakan 'KAFIR' begitu mudahnya dilayangkan oleh mereka yang mengaku pemeluk agama yang taat. Seakan orang lain bukan ciptaan Tuhan yang disembahnya. Ia mengoloknya, menyangkal perbedaan agamanya sebagai kehendak ilahia. Seakan Tuhan tak kuasa mencipta makhluk yang serupa dengannya yang memeluk agama sama sepertinya.

Saya tak mau terasing dari rasa kemanusiaan ini hanya karena memeluk agama berbeda dari yang lain. Bukankah Tuhan memiliki kuasa menyamakan agama manusia jika Ia ingin berkehendak? Bukankah jelas di dalam ayat-ayat suci disebutkan bahwa Tuhan sengaja menciptakan kita dalam bermacam-macam suku, agama dan ras sebagai bentuk kemajemukan Tuhan (pluralisme)? agar kita saling mengenal. Agar kita saling belajar. Agar kita menjadi manusia.

Saya kira cukuplah perkataan ini,
"Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan" -Imam Ali K.W-

#PluralIsMe


Selasa, 13 Desember 2016

Jangan Mewarisi Sifat Iblis

::::: JANGAN MEWARISI SIFAT IBLIS! :::::

"Janganlah mewarisi sifat Iblis!", ini adalah pernyataan dari guru saya ketika itu saat memberikan sebuah kajian.

Maksudnya bagaimana?, tanyaku ketika itu.

'Dahulu Iblis bernama Azazil, ia makhluk yang paling rajin beribadah kepada Tuhan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa tidak ada tempat di Langit dan di Bumi dimana ia tak menyembah Tuhan. Atas penyembahannya itulah azazil diganjar tempat (paling) mulia di sisi Tuhan.

(Sampai ketika Tuhan menciptakan Adam As.)

Banyaknya jumlah ibadah yang dihitung Azazil telah dilakukan pada Tuhan membuatnya tergelincir. Ia membandingkannya dengan Adam As yang baru dicipta (belum menyembah Tuhan). Sifat sombong meracuni hatinya. Azazil menolak perintah Tuhan karena tak kuasa mengakui jika ada yang mulia selainnya. Ia menjadi tamak dan sombong. Menganggap selainnya tak lebih baik darinya.

Akhirnya Azazil terusir dari kemuliaannya. Ia amat menyesal (Iblis; yang menyesal) atas pembangkangannya. Dalam kondisi terusir, Si Iblis meminta ditangguhkan sembari mengucap sumpah serapah, 'Ia akan membuktikan manusia itu kafir di hadapan Tuhan'.

*Hari ini, saya mengerti maksud guru saya.
'Jangan mewarisi sifat Iblis!'.

Betapa banyak manusia yang merasa paling beriman dan mengukur ibadahnya kepada Tuhan sebagai kemuliaannya dibanding orang lainnya. Perasaan beriman inilah yang membuat mereka dengan mudah memandang yang lain tak lebih baik darinya. Bahkan tak sedikit yang dituduh 'kafir' di hadapan Tuhan. Tak terasa meteka seolah-olah ingin mengambil kuasa Tuhan, menentukan siapa kafir atau beriman di hadapannya.

'Jangan mewarisi sifat Iblis!', begitu pesan guru saya dahulu.


Senin, 12 Desember 2016

Peringati Maulid Nabi, Bid'ahkah?

Peringatan Maulid Nabi Saww, Bid'akah?

'Salam kak, benarkah bid'ah merayakan maulid Nabi?'
Sebuah pesan terparkir di kotak masuk.

Saya tersenyum.
Ini pertanyaan yang ke sekian kalinya saya dapatkan.

'Walaikum salam'
Tergantung niatnya dek.

'Maksudnya bagaimana kak?'

Yah, bukankah perbuatan yang pertama kali dihukumi adalah niatnya sebagaimana sabda Nabi?
Jadi memperingati maulid yah sesuai niatnya. Kalau ada yang menganggapnya bid'ah lalu ikut yah bid'ah. Kalau niatnya sebagai satu diantara syiar islam yah tentu akan bernilai baik. Kalau niatnya untuk hal lain juga pasti akan berbeda lagi.

Tapi, secara umum memperingati kelahiran Nabi Saww adalah suatu bentuk mengenang kembali Rasulullah Saww. Ini adalah momentum bagi umat islam, utamanya ditujukan bagi anak-anak agar tahu kapan Nabi Muhammad Saww itu lahir. Menumbuhkan kecintaan pada baginda itu dilakukan pertama kali adalah mengenalnya. Seperti pepatah lama, tak kenal maka tak sayang.

Adapun pendapat orang-oramg yang mengatakan bid'ah juga tak perlu dipermasalahkan. Sebagaimana bahwa mereka menilai karena tak dicontohkan maka menjadi bid'ah dan tak layak dilakukan. Itu urusan mereka. Tak mau memperingati hari lahir Nabi dengan acara maulid itu hak mereka. Tak ada paksaan untuk itu.

Tapi, bagi yang memperingatinya itu juga merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung lama. Bagi saya itu adalah satu momentum dalam melakukan syiar islam di masa lalu yang masih dipertahankan.

Mengajak anak-anak mencintai Nabi tentu bukan sesuatu hal yang mudah. Apalagi suatu kondisi masyarakat yang satu fan yang lainnya berbeda. Tarulah misalkan dalam sebuah keluarga yang pemahaman agamanya tentang Nabi Saww masih kurang, maka orang tua (atau orang yang dituakan dalam keluarga tersebut) tentu tak bisa banyak menjelaskan 'SIAPA RASULLLAH SAWW?' itu kepada anak-anaknya. Maka adanya peringatan maulid (sekali lagi) bertujuan untuk menapak tilasi kisah agung sang manusia mulia. Setidaknya, anak-anak akan bertanya dalam hati, siapa sih Nabi Muhammad Saww sampai diperingati hari kelahirannya? Kenapa orang-orang dewasa begitu antusias mewarnai telur, dihias dan dibagikan gratis ke yang lain?

Pertanyaaan-pertanyaan seperti inilah yang mungkin dinafikan oleh mereka yang mengatakannya bid'ah.

'Ada banyak jalan menuju roma', ini juga sebuah pepatah yang bisa berlaku. Janganlah kita membatasi orang lain yang ingin berkhidmat untuk agama dengan caranya. Jangan terburu-buru menghukumi sesuatu itu 'bid'ah' dan melarangnya. Kita tak tahu niat seperti apa dalam diri oramg tersebut. Biarlah menjadi urusannya dengan Tuhan kelak. Sebagaimana banyaknya jalan menuju roma dengan motif yang berbeda. Maka peringatan maulid Nabi pun bisa jadi demikian. Barangkali karena keikhlasan orang mengikuti maulid sebagai satu bentuk berkhidmat dalam syiar islam akan tercatat sebagai pahala di sisi Tuhan karena banyak anak-anak yang menjadi mengenal Nabi Muhammad Saww lewat peringatan itu lalu mencintainya dan meneladaninya.

Sudahlah, usailah perdebatan peringatan maulid dengan mereka yang menyatakannya bid'ah. Memandang sesuatu dari celah lobang kunci akan sangat berbeda dengan memandangnya dari atas balon udara yang bergerak bebas.

'Oh iya kak. Terima kasih atas penjelasannya'
Menutup sebuah perbincangan di kotak masukku pagi ini.

'Semoga keselamatan tercurah bagi junjungan baginda Rasulullah Muhammad Saww di hari dilahirkannya'

#allahummashallialamuhammadwaalimuhammad


Seringkas Cerita Kelahiran Nabi Muhammad yang Agung

Nun jauh di sana, di Roma, tatkala hening merambati istana yang megah, dan satwa-satwa malam sedang menyelenggarakan konser rutin di semak-semak kebun yang rimbun dan basah.

Tiba-tiba sang Kaisar terjaga dengan wajah kutu bersimbah peluh lalu memanggil-manggil Juru Takwil mimpi yang tak lagi diingat namanya. Dengan tergopoh-gopoh, sang penakwil berlari menghadap juragannya yang terbujur lunglai di atas ranjangnya. "Hai," teriaknya membahana. "Dalam tidurku kulihat kerajaan Romawi tumbang dan istananya runtuh lalu berubah menjadi tumpukan puing yang betapa mengerikan," tanyanya tersengal-sengal.

Penakwil tua itu menundukkan kepala sambil berbisik : "Baginda, telah terlahir seorang bayi di Jazirah Arabia yang bernama MUHAMMAD !!

Dan di Yazd, Neyshapour dan seluruh negeri, masyarakat Persia tercengang. Api abadi Dewa Ahura Mazda yang telah menyala selama berabad-abad, tiba-tiba padam. Lamat-lamat, seorang Pendeta Majusi mengabarkan kepada khalayak :

"Inilah hari kelahiran seseorang yang akan mengubah Tanah Persia. Dialah MUHAMMAD !!

Thola Al Badru 'Alaina, Min Tsaniyatil Wada'
Wajaba Syukru 'Alaina, Ma Da'a Lillahi Da'

Dialah yang disebut Yaasiin.
Dialah yang dipanggil Thahaa.

Dialah yang Allah dan Malaikatnya memuliakan namanya.


Melepaskan Diri dari Persepsi Orang Lain

Saat makan malam kemarin, istri saya yang mengenakan 'daster' (pakaian rumahan buat perempuan katanya) saya tantang untuk untuk memakainya ke luar rumah. Ia berkeberatan dengan segala macam persepsinya akan persepsi (penilaian) orang lain terhadapnya.

Saya mencoba mengajaknya menempuh jalan para darwis, melatih diri untuk tidak terjebak dalam persepsi keduniaan orang lain terhadap dirinya. Entah bagaimana saya teringat guru saya malam itu dan mencoba meyakinkan istri untuk bisa melatih dirinya keluar dari bayangan persepsi orang lain.

Pelajaran dari guru saya ketika itu adalah melatih diri melepaskan diri dari persepsi orang lain. Dimana tujuannya adalah membuat kita tak peduli lagi pandangan yang lain kecuali pandangan Tuhan terhadap diri kita. Katanya, disitulah kelak letak keikhlasan bisa didapatkan (hal yang selalu saya coba dapatkan). Segenap perbuatan yang kita lakukan hanya mengharap ridha Tuhan, mengharap keberkahan Ilahi.

Alhamdulillah dengan sedikit berkeberatan istri saya mau melakukannya. Jadilah kami mengenakan pakaian seperti ini berbelanja ke 'supermarket' dan mengunjungi beberapa tempat malam itu.

*saya belum tanya bagaimana pendapat istri saya tentang perkara malam kemarin.
Semoga ia mau memberikan tanggapannya malam ini. 😁😀


Minggu, 11 Desember 2016

Ziarah Kubur, Menjaga Ikatan Leluhur

Ziarah Kubur.

Dalam keluarga kami ziarah kubur adalah satu diantara ritus yang harus dijalani bagi setiap anggota keluarga yang telah melangsungkan pernikahan.

Ziarah Kubur ini adalah upaya menjaga keterikatan dengan leluhur dari keluarga kami. Setiap yang baru menikah akan diantar untuk menziarahi beberapa makam dari leluhur. Hal ini bertujuan agar yang muda tetap tahu tentang dari mana asal usul keluarganya. Menjaga nama baik leluhur tentu saja juga merupakan poin penting dari ritus ini.

Sebagaimana makna ziarah, adalah upaya menapak tilas sebuah perjalanan yang ada. Maka ziarah kubur ini pun untuk memperkenalkan leluhur pada pasangan yang baru dinikahi/menikah dalam keluarga kami.

Dalam ziarah, kami mengirimkan do'a-do'a untuk kebaikan leluhur kami yang berada di dimensi lain. Kami percaya bahwa do'a-do'a yang dikirimkan akan sampai pada mereka. Dan bagi kami, ada spirit baru yang didapatkan dari ritus seperti ini. Mengenal bahwa leluhur adalah orang yang baik membuat kami termotivasi menjaga nama-nama baik itu.

#selamatdatangdikeluargabarusayangku


Sabtu, 10 Desember 2016

Apa yang Harus Dilakukan Bagi Penista Agama?

Apa yang harus dilakukan bagi Penista Agama?

Andai kata Nabi dan Umat muslim dulu begitu reaktif dan represif menanggapi penghinaan terhadap Al Qur'an bahkan pribadi Rasulullah, maka sesungguhnya Umar Bin Khattab takkan pernah menjadi khalifah, bahkan menjadi muslim pun tak akan.

Tapi, Nabi dan Umat muslim yang bersamanya paham bahwa Al Qur'an takkan ternista, pribadi agung Rasulullah takkan terhina.

Bahkan, Umar Bin Khattab adalah orang yang paling getol menganggap Nabi sebagai pemberontak dan ancaman bagi Bangsawan Quraisy pada waktu itu. Ajaran Al Qur'an yang disampaikan melalui lisan Nabi tentang kesetaraan kedudukan manusia di hadapan Tuhan dianggap sebagai penghinaan bagi Bangsawan Quraisy, termasuk Umar. Karenanya, Umar Bin Khattab mengangkat pedang untuk membunuh Rasulullah. Ia kala itu menganggap membunuh Nabi sebagai jalan menjaga martabat kebangsawanan Kafilah Quraisy.

Apakah Nabi tak sanggup berdo'a kepada Tuhan pada waktu itu agar Umar Bin Khattab dihukum dan ditimpakan musibah? Tentu, do'a Nabi akan langsung kabul jika hanya menginginkan Umar ditimpakan musibah.
Atau apakah tak ada ksatria yang mampu membunuh Umar pada waktu itu untuk membela Nabi?

Umar Bin Khattab dimaafkan. Ia diberi kesempatan bertaubatvdan memeluk islam. Bahkan di kemudian hari, umat yang dia musuhi menjadikannya khalifah.

Pikirkanlah.
Bagi anda, bukankah Umar pada waktu itu layak dihukum karena trlah menista Al Qur'an bahkan pribadi Nabi?

Lalu, lihat ke dalam diri anda.
Hari ini, anda aksi dan mengutuk orang yang sudah meminta maaf untuk membelas apa dan siapa?
Seperti itukah Nabi mencontohkan sikap?


Karena Dia, Separuh Hatiku Tersenyum

Karenanya Separuh Hatiku Tersenyum

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Bukan tentang parasnya.
Itu sungguh akan menua seiring waktu yang berputar.

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Ia adalah perempuanku.
Perempuan yang kutemukan di sebuah pagi dengan senyum mekar di wajahnya.
Senyum yang mengalahkan ribuan bunga yang pernah aku saksikan sepanjang hidup.

Apa yang membuat aku begitu mencintainya?
Perempuan yang dua matanya berbinar meneduhkan jiwaku.
Tatapannya mampu meredam gejolak dalam diriku.
Menenangkan emosi, penghibur laraku.

Apa yang membuat aku begitu mencintanya?
Adalah elok perangainya yang menentramkan jiwaku.
Perempuan yang selalu percaya pada mimpi-mimpiku.
Menopangnya dan mendorong untuk merebutnya dalam nyata.

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Adalah keberaniannya berdiri di sampingku.
Bersamaku merajut untaian asa yang berserakan.
Perempuan yang selalu percaya pada mimpi besarku.

Apa yang membuat aku begitu mencintainya?
Adalah keteguhannya untuk yakin pada yang kuyakini.
Paradigmanya yang memahami keyakinanku.
Perempuan yang mampu menjadi teman diskusiku.
Membicarakan banyak hal yang aku sukai dibincangkan.
Perempuan yang mampu mengikuti gelora kecintaanku belajar.

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Adalah kerelaannya mempertaruhkan keyakinannya padaku.
Ketabahannya untuk selalu menjadi pembelaku.
Kebesaran hatinya yang menerima segenap pengharapanku.

Apa yang membuatku begitu mencintainya?
Ia adalah perempuanku yang tersenyum padaku di sebuah pagi.
Senyum yang merebut hatiku.
Perempuan yang karenanya, separuh hatiku tersenyum.


Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.