Selasa, 27 September 2016

Kelak Nanti

Kelak Nanti...

Kelak kaki-kaki ini harus lebih kuat.
Sebab bukan hanya untuk menopang raga diri.
Ia harus mampu memikul beban sambil tetap berjalan.
Kaki-kaki yang menumpu ke dunia sambil menggendong mimpi-mimpi.

Kelak hati ini harus lebih tabah, bersabar menghadapi gejolak.
Sebab kapal tak lagi dibawa sendiri.
Gelombang menggulung senantiasa siap menerjang.
Kendalikan kapal agak tak karam.

Kelak tangan ini harus lebih gesit.
Sebab tak lagi menyuapi diri sendiri.
Tanggung jawab diemban untuk digenggam, bukan sekedar dikepal.
Tangan yang harus mampu mengusap luka, menghapus air mata.

Kelak, cinta kita harus lebih besar.
Cinta yang senantiasa bertumbuh diantara riuh gemerlap.
Dalam sunyi kesederhaan.
Cinta yang meyakinkan kita untuk terus berjalan.

Kelak, kita akan terbangun di pagi hari lalu mendapati sebuah senyum yang merekah dan menyadari ini tak lagi mimpi.
Aku akan menatap matamu lebih dalam dari kemarin.
Menebus segenap rindu yang aku jatuhkan di matamu.


Jumat, 23 September 2016

PILKADA DKI: Poros Cikeas dan 'SBY Syndrome'



Saya adalah orang yang paling menunggu hasil keputusan di Cikeas saat SBY menganggap PILGUB DKI adalah mini PILPRES dan mengundang Pimpinan Partai lainnya (PPP, PKB dan PAN) datang ke Cikeas.

Amien Rais bahkan sesumbar akan ada kejutan yang dihasilkan dari Poros Cikeas. Setelah digodok 2 hari akhirnya muncul pasangan nama. Anak Sulung SBY 'dikorbankan' untuk maju menantang Ahok. Keputusan yang premature dan sangat dipaksakan.

Kenapa Premature dan dipaksakan?

1. Agus Yudhoyono adalah Perwira aktif yang tentu masih lebih dibutuhkan oleh kesatuannya dibanding mengurus politik. Saya tidak bisa menemukan sebuah niatan tulus dari seorang Prajurit TNI yang masih aktif (bahkan dikata masih muda dengan potensi karir cemerlang) mau meninggalkan sumpah setia dan kesatuannya jika bukan karena tergiur tahta dan kuasa.

2. Sebagaimana hasil survey semua Lembaga Survey, tak pernah ada nama Agus Yudhoyono yang diusulkan untuk menentang Ahok agar bisa mengalahkannya. Harus diingat bahwa 'Politik itu adalah hitungan matematis yang kaku' meskipun juga dilain sisi sebagai sebuah seni yang begitu lentur dan abstrak (tapi ini dari segi strategi). Entah pertimbangan seperti apa sampai ke 4 Partai itu memutuskan nama Agus? Saya menduga itu adalah 'SBY Syndrome' (SBY Syndrome adalah sebuah kondisi dimana yang mengalaminya masih menganggap SBY sebagai orang yang berkuasa dan punya pengaruh besar sehingga keputusannya pasti benar).

3. Sylviana Munir, seorang perempuan yang digadang mendampingi Agus Yhudoyono. Masih ingat sebuah tendensi seorang Amien Rais terhadap keputusannya agar tak memilih Ahok dikarenakan sebagai Perintah Agama? Lalu bagaimana dengan posisi perempuan untuk menjadi Pemimpin? Bukankah dalam sebuah kondisi Perempuan baru boleh dimajukan jika tak ada yang lebih pantas dari dia? (Ini jika menggunakan logika yang sama saat melihat Ahok dari sisi agama Amien Rais). Jadi, apakah kejutan ini dibolehkan Amien Rais?
Sangat mungkin terpaksa. Toh, PAN disini dalam posisi tak memiliki nilai tawar karena hanya punya 2 kursi di DKI.

4. Poros Cikeas bukan bagian dari Koalisi Gerindra-PKS. Padahal semua pengamat telah memberikan pendapatnya bahwa Ahok hanya bisa (meskipun kemungkinannya kecil) ditumbangkan jika PILKADA DKI 'head to head'. Membuat pertarungan ini menjadi 3 poros, maka selesailah sudah setiap hitungan kemenangan di DKI. Masyarakat umum dan pengamat pasti tahu, kecuali mereka yang masih terus bermimpi karena sebuah 'SBY Syndrome'.

Pada akhirnya, kejutan yang dimaksud Amien Rais menjadi menggelikan. Dan keseriusan SBY yang menganggap PILKADA DKI sebagai mini PILPRES telah menguak sebuah fakta bahwa ia masih ingin berkuasa kembali. Dikorbankannya Anaknya akan menjadi sebuah catatan penting dalam dunia kemiliteran bahwa Godaan menjadi Gubernur DKI begitu besar dan menakutkan. Pantas Ahmad Dhani, Haji Lulung dan Bang Yusril 'ngebet' juga ingin jadi DKI 1.

Terakhir bahwa, kadang apa yang sangat ditunggu-tunggu ternyata 'TAK MENGEJUTKAN' sebagaimana 'KEJUTAN,' yang ditunggu.


Senin, 19 September 2016

Mempercayai Harapan

Mempercayai Harapan

Hanya segelintir yang tahu bagaimana kita bersabar menenun perasaan.
'Kenapa kau masih bersikeras merawat harapanmu?', tanyamu ketika itu.
Aku tertegun, merenung sendiri memikirkan pertanyaanmu.
Aku tak tahu alasannya, tapi aku hanya mempercayai harapan itu.

Bagimu aku terlalu nekat mempertaruhkan banyak hal.
Tapi itu adalah keyakinanku, itu harapan yang kupercaya.
Sebab aku tak ingin mengenangmu di sisi hujan yang menitih.
Aku ingin bersamamu menanti pelangi saat hujan berhenti.

'Apakah takdir akan bersikap baik untuk kita?'
'Ya', takdir akan selalu baik bagi mereka yang terus mempercayai harapannya.
Aku percaya pada mantra-mantra yang dilesatkan ke langit.
Mantra yang akan menjaga harapan kita.

'Kenapa kau masih ingin bertahan?'
Menjadi sulit bagiku untuk bisa pergi.
Seakan kakiku mengalami kelumpuhan jika berpikir untuk melangkah.
Aku tertawan pada rindu yang belum usai untukmu.

Kenapa kau masih disini bersamaku?
Sebab langkah yang kau ayungkan tak pernah beranjak dari bayanganku.
Kita telah dirawat dari mantra-mantra yang melesat ke langit.
Sebab aku selalu yakin pada harapan yang ada.


Sabtu, 17 September 2016

Aku dan Sepasang Sumpit

Aku dan Sepasang Sumpit

Sepasang sumpit berdiam kaku di atas meja.
Tak ada kata atau sekedar senyum.
Mereka masih saja terlihat beku.
Hingga sebuah tangan menggerakkannya keluar.

Sepasang sumpit yang kaku tak lagi diam beku.
Sebuah tangan menariknya, menggerakkannya.
Sepasang sumpit saling bertemu.
Saling menjaga menunaikan tugasnya.

Seperti itulah sepasang sumpit yang beku.
Mereka diam sampai sebuah tangan mempertemukannya.
Hanya mematung bisu.
Sebuah tangan mempertemukannya.

Sumpit itu tak bisa sendirian.
Ia selalu tercipta berpasangan.
Mereka beku sampai sebuah tangan mempertemukannya.
Seperti aku, sebuah tangan mempertemukan dengan dirimu.


Selasa, 13 September 2016

Kita Pejalan yang Terus Melangkah

Kita, Pejalan yang Terus Melangkah

Kita adalah pena-pena Tuhan yang menulis kisah pada waktu.
Kita adalah bagian puzzle yang saling menemukan bentuknya.
Kita adalah tapak-kaki yang terus berjalan pada kehidupan.
Kita adalah jejak masa lalu yang melangkah menuju mimpi-mimpi.

Kita pembelajar yang terus berusaha paham.
Kita mengeja waktu untuk menjadi arif.
Kita adalah komitmen yang terus dijaga dan dirawat.
Kita adalah kesabaran yang telah melewati banyak ujian.

Kita bisa sampai sejauh ini melangkah.
Kita mengarungi jejak yang retak.
Kita berpegang pada mimpi.
Kita ditopang oleh harapan.

Kita selalu percaya pada yang termaktub.
Pada jalur yang membuat kita melangkah.
Pada impian yang membuat kita terus berjejak.
Kita adalah prasasti masa lalu yang di masa kini.

Marilah, terus melangkah.
Terus belajar. Terus memahami.
Terus sabar. Terus berjejak.


Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.