Minggu, 30 Oktober 2016

Senyum di Pelataran

Senyuman di Pelataran

Hari ini aku menapaki kembali pelataran.
Lantas aku diseret ke sebuah ingatan.
Hari dimana kita dalam perjumpaan.
Aku luruh melihat diriku di bingkai kenangan.

Ketika itu layar masih coba dikibarkan.
Layar Pinisi baru dirajut untuk dibentangkan.
Dan kita terjebak malu berkenalan.
Begitu kaku, berbincang sekadar kepentingan.

Aku tak mengenal nama yang kau sebutkan.
Hanya sekilas lantas aku mengabaikan.
Hanya senyummu yang selalu membekas di pelataran.
Dan dua binar matamu yang meneduhkan.

Di Pelataran Pinisi itulah kita dipertemukan.
Melewati rentang waktu, beranjak ke masa depan.
Di Pelataran Pinisi itu pulalah pertemuan demi pertemuan direncanakan.
Di bawah layar Pinisi yang tak pernah bosan.

Aku tak sempat menghitung banyak pertemuan.
Biarlah Layar Pinisi yang menjaga dalam kebisuan.
Layar yang membentang melakukan pelayaran.
Menuju perwujudan berbagai harapan.

Entah berapa sering aku berdiri di bawah layar Pinisi menunggu kehadiran.
Membayangkan diri sebagai nahkoda yang mengarahkan.
Pinisi akan berlayar kemana menantang gelombang mengalun.
Akulah nahkodanya yang akan menuntun ke depan.

Di Pelataran ini aku terlatih menjadi nahkoda sebelum kau datang mebebus penantian.
Sudah terbiasa bagiku membayangkan diri menantang gelombang bertautan.
Di Pelataran Pinisi kau selalu datang dengan sebuah senyuman.
Senyum yang amat aku kenal saat awal berkenalan.

Hari ini, di Pelataran Pinisi aku berpijak pada ingatan.
Menapaki kembali kenangan, membingkainya dalam harapan.
Layar Pinisi yang menjulang dalam kebekuan.
Menjadi saksi seberapa banyak aku melakukan penantian.
Menanti senyummu yang aku saksikan di awal pertemuan.


Sabtu, 29 Oktober 2016

Menanggapi Rencana Aksi 4 November

Menanggapi Rencana Aksi Demonstrasi 4 November 2016.

Selesaikan dululah urusan kalian dengan Allah Swt, lihat diri apakah sudah benar menjalankan amanah yang sesuai anjuran Al Qur'an sebelum kalian turun ke jalan menuntut orang lain diadili karena dianggap menista agama.

Menurut saya, menista Al Qur'an itu adalah memahaminya tapi tidak menjalankan sepenuhnya. Saya pribadi masih sering menjadi penista Al Qur'an dikarenakan ada banyak tuntutannya belum bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Selesaikanlah dulu urusan dirimu, keluargamu sendiri sesuai tuntunan Al Qur'an sebelum berteriak orang lain menista Al Qur'an.

Al Qur'an itu tidak akan pernah nista, karena Allah Swt yang menjaganya. Kitalah yang kadangkala mempolitisasi ayat Al Qur'an itu untuk digunakan sesuai kepentingan kita.

Seperti Fadli Zon yang tiba-tiba tampil ke depan mau membela Islam padahal selama ini dia berdiri di belakang orang yang sikapnya terhadap islam jelas (Donald Trump), lalu dia bangga. Selebihnya apakah Islam yang benar sudah diterapkan oleh Fadli Zon dalam keluarganya untuk istri dan anak-anaknya?

Fadli Zon hanya contoh, ada sederrt nama semisal Ahmad Dhani dll yang juga berteriak lantang (katanya) membela islam. Tapi lihat apa yang dicontohkan dalam kehidupannya? Sudahkah menerapkan amanat islam dalam kehidupannya?

Kebanyakan kita itu gampang tersinggung (kata Arifin Ilham, cepatnya emosi menunjukkan akalnya tidak bekerja) atas kekeliruan yang dilakukan orang lain. Padahal dalam ajaran kita, islam menganjurkan welas asih, memaafkan yang sudah mengaku kekeliruan.

Lalu, coba kita bandingkan.
Ahok dianggap menista Al Qur'an dan dia klarifikasi bahwa tidak pernah bermaksud melakukan itu. Itu disalah artikan.
Sementara di sisi lain, kita abai terhadap upaya yang dilakukan Pemprov. DKI (Gubernurnya Ahok) yang memberangkatkan Marbot masjid untuk Umrah.

Kenapa (yang mengaku) umat islam itu gampang tersinggung dan lupa terhadap aibnya sendiri sampai orang yang sudah meminta maaf masih saja diprovokasi untuk dituntut?

Itukah Wajah Islam yang mereka anut?


Jumat, 28 Oktober 2016

Aku, Kau dan Puisi

Aku, Kau dan Puisi

Aku adalah lelaki yang mencintai hujan.
Mencintai setiap bulir yang jatuh berserakan.
Membuat basah, lembab, menggenang dan terkenang.
Aku mencintai hujan yang gerimis.
Kata orang itu romantis.
'Seperti Aku', begitu katamu.

Kau adalah perempuan yang kusebut Pelangi.
Pelangi yang datang terbias selepas hujan berhenti.
Hujan dianggap kesedihan bagi sebagian orang.
Dan Pelangi datang menghapus jejak tangis hujan.
Tapi 'tidak' bagiku.
Hujan dan Pelangi adalah dua hal yang aku cintai.
Hujan yang romantis dan Pelangi yang manis.
Kau adalah Pelangiku.
Memberi warna dan warni dalam cakrawala hidupku.
Bukan hanya tujuh, tapi banyak warna.
Sebanyak rindu yang tumbuh untukmu.

Dan puisi,
Puisi adalah hal lain yang aku cintai.
Tentang hujan, pelangi selalu aku menceritakannya dalam puisi.
Puisi adalah caraku mengobati rindu.
Rindu yang kadang datang tiba-tiba bagai anak panah yang melesat tepat mengena ke jantung hati.
Saat itulah aku menuliskannya.
Menuangkan rasa sakit itu dalam rupa kata agar ia tak berpura.


Aku adalah lelaki yang mencintaimu seperti mencintai hujan.
Kau adalah Pelangi setelahnya.
Dan puisi adalah caraku mengabadikannya.


Rabu, 26 Oktober 2016

Hujan yang Tak Bisa Kueja

Hujan yang Tak Bisa Aku Eja

Apa yang bisa kueja dari hujan kali ini
Selain duka di pelupuk mata cakrawala
Tangisnya jatuh berderai mendenting hujan
Adakah rindu yang tersisip disana?
Ataukah hanya gersang pada hati yang tak tahu muaranya

Hujan jatuh di peluk Bumi
Ia membasuh luka-luka yang kita buat
Seakan berbisik lirih bahwa ia baik-baik saja
Tapi kutahu hujan kali ini bukan hanya tentang rindu yang terurai

Ada teriakan yang terpenjara di kerongkongan saat ingin kuteriak memaki.
Hujan tak peduli. Ia tetap saja jatuh berderai
Aku semakin terkulai
Tak tahu apa yang harus kueja.

Aku berhenti

Segera kutapaki jalan menuju pulang
Tak kutemukan pelangi
Mungkin kali ini ia enggan untuk menemani

Aku ingin rebah
Menyandarkan jiwaku yang lelah
Mungkin esok hujan bisa kueja
Mungkin esok ada pelangi
Mungkin esok luka-luka terbasuh
Mungkin esok kita akan kembali tersenyum bersama derainya.
Karena esok adalah rahasia
Dimana hujan pasti akan datang lagi.


Senin, 24 Oktober 2016

Hujan adalah Rindu yang Menitih Lirih

Hujan adalah Rindu yang Menitih Lirih

Hujan adalah rindu.
Ia datang menitih, merintih saat rindu tak terbendung.
Ia datang bergemuruh seakan marah, menunjukkan betapa sakitnya rindu itu.
Ia datang pelan, mengalun mengirama menunjukkan betapa indahnya merindu itu.

Hujan selalu saja begitu.
Ia bisa datang bergemuruh atau pelan mengalun.
Tergantung apakah rindu itu sanggup ditanggung atau sakit digantung.

Hujan penghapus luka.
Duka karena merindu.
Bahkan ia sebenarnya adalah luka itu sendiri.
Ia rela jatuh berulang kali dan kembali jatuh.
Sakit? "tidak", karena menahan rindu lebih menyakitkan dari sekedar jatuh itu sendiri.
Ia memilih jatuh untuk menyampaikan rindu.
Seperti itu, kadang lama tanpa jeda.

Dan kita yang masih berteduh di bawah atap, menatap di balik mata jendela  melontar tanya, "Kapan hujan berhenti?"


Sabtu, 22 Oktober 2016

Kau Kekasih Hati

Kau Kekasih Hati
(22 Oktober 2016)

Hujan mengiring hari.
Cincin melingkar di jari.
Menautkan dua hati.
Untuk tepati janji.

Kau kekasih hati.
Buat hidup lebih berarti.
Tetaplah mendampingi.
Kelak sampai nanti.

Kau kekasih hati.
Tetaplah mencintai.
Laksana prasasti.
Tulus sampai mati.


Jumat, 21 Oktober 2016

Kau adalah Sajak Rindu

Kau Adalah Sajak Rindu

Kau adalah sajak yang aku narasikan.
Laksana Oase di padang tandus atau hujan yang jatuh di kemarau.
Kau datang menghapus dahaga bagiku yang seorang musafir.

Kau adalah sajak yang aku narasikan.
Laksana ombak yang menggulung bergelombang menuju tepian.
Meski pecah, tetap datang menjumpai pantai dan menghapus jejak tapak di atas pasir.
Berulang kali tak pernah bosan.

Kau adalah sajak yang aku narasikan.
Kau juga kusebut sebagai jingga senja yang melewati detik waktu hingga kemerahan di langit ufuk barat.
Selalu membawa rindu untuk melihatnya datang memerah bersama keindahan.

Kau adalah sajak yang aku narasikan.
Laksana Pelangi yang datang terbias selepas hujan.
Membujur di cakrawala biru.
Memayungi rindu yang menderu.

Tetaplah sebagai sajak yang tak pernah berhenti bernarasi.
Sebagai oase yang terus menghapus dahaga.
Sebagai hujan yang datang di kemarau.
Seperti, selaksa jingga, ombak, pelangi atau apapun yang membuatmu begitu berarti.

Kau adalah sajak yang aku narasikan.


Rindu yang Kau Seduh

Rindu yang Kau Seduh

Jarak membentang merentang jauh.
Kita menikmati secangkir rindu yang kau seduh.
Kau datang sebentar menghapus jenuh.
Lalu, beranjak kembali membuat hati gemuruh.

Kau adalah penyeduh rindu ulung.
Menyajikan rindu yang lekat tanpa ujung.
Dan aku penikmat rindu yang menggunung.
Menyeruput rindu untuk ditanggung.


Kamis, 20 Oktober 2016

Catatan Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Dua Tahun Pemerintahan JOKOWI-JK

Banyak hal yang sampai haribini telah ditorehkan. Pemerintahannya merajut kembali Indonesia. Berupaya membuatnya sambung menyambung menjadi satu. Memeluk satu demi satu pelosok yang selama ini terpinggirkan.

Jokowi-JK tentu bukan manusia super yang bisa melakukan semua sekaligus. Mereka bukan pula tabib sakti yang bisa meramu obat yang bisa manjur sekali minum. Pun mereka bukan pesulap yang bisa menghilangkan setiap persoalan yang ada di depan mata. Mereka tetaplah manusia biasa yang ingin terus bekerja bagi bangsanya.

Jokowi-JK bergerak cepat. Ada banyak hal yang sudhlah dikerjakan, pun ada banyak hal yang masih dalam list perencanaannya.

Lalu apa yang mereka perbuat untuk bangsa ini?

Saya melihat Jokowi-JK menjadikan dirinya jarum untuk merajut kembali Indonesia. Mereka memeluk papua, mengusap bagian terluar kalimantan, menjaga blok natuna dan masuk ke pedalaman kalimantan.

Jokowi-JK merajut Indonesia. Membangun Tol Laut kawasan timur Indonesia, mendirikan banyak bandara, jalur Kereta digenjot, jalanan baru dibuka melintas gunung, jembatan dididirikan. Pabrik sagu terbesar di Papua, Papua dijadikan pusat Swasembada Pangan, Tax Amnesty, penyamaan harga BBM seluruh Indonesia.

Toh, diantara yang diperbuat masih banyak yang belum. Menyelesaikan konflik di Sampang, masih banyak masyarakat miskin di pedesaan dan pinggiran kota yang belum mendapat hidup layak, pendidikan yang masih belum merata, rumah sakit yang belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Jokowi-JK masih terus bekerja. Masih banyak hal yang belum dikerjakan. Dua tahun telah berlalu, sisa tiga tahun lalu kesempatan bekerja. Berbuatlah untuk negati yang kita cintai ini.

Sehat dan kuatlah! Kita bersama merajut bangsa ini.


Cinta Itu (Memang) Gila

Cinta itu (memang) Gila

Tentu kau bukanlah Layla dan aku Bukan Qais.
Qais menjadi gila karena Layla maka disebut si Majnun.
Qais tak memiliki Layla di kenyataannya.
Ia hanya memiliki di dalam hatinya, tanpa orang lain selainnya.

Qais berjalan sembari menyebut-nyebut nama Layla.
Dingin malam yang menusuk tulang tak dihiraukannya.
Ia bertahan di depan pintu istana pujaannya.
Ia rela menahan laparnya hanya untuk sekilas melihat paras kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Aku lebih beruntung darinya.
Tapi, aku sama seperti Qais.
Menjadi gila karena kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Cintanya terhalang dinding istana.
Tapi, aku sama seperti Qais.
Menjadi gila karena kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Sepenuh hidupnya untuk memikirkan kekasihnya.
Tapi aku sama seperti Qais.
Sepenuh hati merindukan kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Yang rela tak memiliki kekasihnya di kenyataannya.
Tapi, aku sama seperti Qais.
Sepenuh hati merindukan kekasihnya.

Aku bukanlah Qais.
Tapi, Aku sama seperti Qais.
Cinta itu memang gila.
Kalau tak gila, bukan cinta namanya.


Selasa, 18 Oktober 2016

Selamat Datang di Tanah Karaeng

Selamat Datang di Tanah Karaeng

Semilir angin kemarin datang saat senja.
Menggiring berita apa yang akan terlihat mata.
Selamat datang kembali memijak tanah karaeng.
Tanah dimana rindu disemai dan dituai.

Selamat datang kembali.
Senyummu lekas sumringah.
Menghempas rindu yang tertahan di pelupuk mata.
Di tanah karaeng, rinduku tertawan.


Sabtu, 15 Oktober 2016

Inilah Kita

Inilah Kita

Entah berapa banyak umpatan yang pernah kita lontarkan.
Sejumlah bisikan yang berubah jadi teriakan.
Seulas senyum yang tiba-tiba menjadi beku.
Kita pernah melakukannya.

Entah berapa banyak kita mengurai air mata.
Mengoyak emosi menjadi kecamuk.
Memaksa sabar meledak kasar.
Kita nyatanya bukan insan sempurna.

Entah berapa banyak kita menoreh luka.
Menggores pilu pada hati merindu.
Menulis kepedihan dalam kehidupan.
Kita masih terus belajar.

Inilah kita.
Insan tak sempurna yang terus belajar.
Inilah kita.
Ada untuk saling menjaga kasih.
Inilah kita.
Entah berapa banyak yang dihitung, kita tetap akan berdampingan.
Inilah kita.


Selasa, 11 Oktober 2016

Mengenang Kesyahidan Imam Husain As di Karbala

Mengenang kesyahidan Insan Mulia, Imam Husain As Syahid As di Karbala (10 Muharram 61 H).

Biarlah mereka melupakan tragedi ini.
Di dada kami akan selalu menggema "Labbayka Ya Husain!"

Labbayka Ya Husain
Adalah teriakan menentang kezaliman yang melintas zaman.

Labbayka Ya Husain
Adalah semangat semangat seorang istri untuk mendorong suaminya datang menjumpai kesyahidan.

Labbayka Ya Husain
Adalah teriakan seorang ibu yang merelakan anak-anaknya maju ke depan menantang anak panah kezaliman.

Labbayka Ya Husain
Adalah tangis perempuan yang menyaksikan suami, anak, ayahnya tersambar pedang-pedang tajam.

Labbayka Ya Husain
Adalah suara tangis bayi Asghar yang meregang nyawa ditembus anak panah.

Labbayka Ya Husain
Adalah dua tangan Abu Fadl Abbas yang terputus saat mengambil air.

Labbayka Ya Husain
Adalah upaya gemetar Ali Zainal Abidin As Sajjad yang meringkih maju menahan sakitnya.

Labbayka Ya Husain
Adalah teriakan Zainab yang nanar menyaksikan saudaranya terpenggal.

Labbayka Ya Husain
Adalah tangisan-tangisan pecinta Nabi Muhammad Saww yang berbelasungkawa atas keyahidan cucundanya.

Labbayka Ya Husain
Adalah semangat yang takkan pernah mati, akan terus mengiring dada-dada pecinta untuk selalu tegak menantang kezaliman.

Labbayka Ya Husain
Adalah panggilan untuk tetap tegak berdiri di Padang Perjuangan meskipun banyak yang meninggalkan.

Labbayka Ya Husain
Adalah semangat merindukan kesyahidan, di setiap waktu di setiap tempat.

"Kullu yaumin asyura kullu ardin Karbala"

Izinkan kami memenuhi panggilanmu Ya Husain...


Aku Pengelana

Aku Pengelana

Aku menjadi pengelana saat jatuh di dua matamu.
Berkelana di lubuk hati yang dalam.
Aku melihat dari dua pasang mata.
Sepasang mataku dan sepasang matamu.

Aku menjadi pengelana yang mengembara bersamamu.
Aku melangkah bersama sepasang kaki lainnya.
Berdiri lebih tegar dari biasanya.
Menopang hidup yang dijalani.

Aku menjadi pengelana.
Mendengar lebih banyak nada dan suara.
Lewat sepasang telingamu dan sepasang milikku.
Mendengar lebih banyak mengajarkan untuk memahami.

Aku menjadi pengelana.
Bertualang bersama mimpi-mimpimu.
Mimpi-mimpi kita yang saling bertautan, kita mengembara di atasnya.
Menariknya satu demi satu ke alam nyata.

Aku menjadi pengelana saat kusebut 'aku mencintaimu'.
Seketika leburlah diriku menjadi pengelana.
Menjadi dirimu dan menjadi diriku.
Kau adalah Aku dalam raga yang lain.

Aku menjadi pengelana saat kutemukan senyummu.
Senyum yang selalu ingin kusaksikan merekah bersama bunga-bunga dalam hatiku.
Senyum yang akan terus aku rawat.
Senyum yang menjadikan aku sebagai pengelana.


Senin, 10 Oktober 2016

Memahami Perempuan

Memahami Perempuan

Perempuan adalah bait-bait sajak.
Ia bagaikan karya sastra.

Senyum tak selalu tentang senang hatinya.
Ia mampu menyembunyikan kecamuk di dalam dirinya.

Tangisnya tak selalu tentang kesedihannya.
Ia bisa amat bahagia di balik yang terurai.

Perempuan mampu menyimpan kerinduannya sendiri.
Tapi tak bisa menyembunyikan kecemburuannya.

Perempuan adalah peneduh jiwa tatkala lelah dunia.
Perempuan adalah pelengkap yang menyempurnakan.

Perempuan adalah sajak yang terus menulis bait-bait.
Dan saya, mencintainya.


Minggu, 09 Oktober 2016

Jarak Panjang yang Indah

Jarak Panjang yang Indah

Jarak yang panjang telah mengajarkan banyak hal.
Saat kita hanya bisa bertemu di wajah rembulan di malam hari.
Saat kita hanya bisa bertegur sapa lewat sepoi angin di siang hari.

Hujan adalah rindu yang menjelma di langit.
Terarak oleh angin kemudian jatuh luruh di tanah kita berpijak.
Pelangi datang lewat bias Matahari yang selalu setia menyinari.

Saya selalu beriang hati tatkala rindu itu telah luruh.
Setiap kali ada benih yang tumbuh di tanah lembab, kuncup bunga-bunga dan hijaunya pucuk daun menampakkan diri.
Saya selalu yakin jarak yang membentang ini mengajarkan banyak hal.

Kita menghitung hari yang kadang menjadi begitu panjang.
Bermain dengan sepoi angin atau menatap rembulan dengan mesra.
Kita menunggu datang hujan, membiarkan bias Matahari menjelmakan Pelangi setelahnya .
Kita merawat benih, mengabadikan mekar bunga dan memerhatikan kuncup dedaunan.

Jarak yang panjang ini pada akhirnya akan menjadi begitu dekat, amat dekat.
Seperti detak jantung yang akan berdetak bersama.
Seperti nafas yang akan berhembus bersama.
Langkah kaki yang akan senantiasa beriringan.
Seperti mata yang akan selalu memperhatikan.

Pada saatnya, jarak yang panjang akan menjadi dekat.
Hingga suatu pagi saat kau membuka mata, aku akan selalu membisikimu "aku mencintaimu".


Jumat, 07 Oktober 2016

Ahok Menghina Al Qur'an?

Ahok Menghina Al Qur'an?

Seorang bertanya lewat pesan,
"Kak, bagaimana pendapatnya tentang penistaan Al Qur'an oleh Ahok?"

Saya tersenyum.
Akhirnya saya merasa punya keharusan menjawab meskipun sebelumnya saya niatnya cuman memperhatikan saja.

Tuduhan Ahok menista Al Qur'an memang tersebar begitu cepat, secepat tombol jari memencet bagikan sebuah link berita. Ada yang provokatif tak sedikit yang membela Ahok.

"Nah, lalu bagaimana menurut kakak?"

Saya kembali tersenyum. Rasanya saya didesak untuk menjawab.

Apakah sudah menyaksikan video pernyataan Ahok secara utuh? Bukan hanya dari link berita yang provokatif saja?

Ia tak membalas. Sepertinya ia hanya melihat potongan videonya saja.

Baik.
Jadi begini, sebelumnya saya pun merasa kaget saat link-link berisi video yang dimaksud itu menyebar di berandaku. Saya pun melihatnya secara sekilas dan terkejut bahwa memang kedengaran Ahok melecehkan.

Tapi, budaya 'tabayyun' harus selalu diutamakan. Dan itu adalah hal yang selalu saya lakukan. Jangan mendengar informasi dari pembenci saja, coba timbang dengan informasi dari yang dibencinya. Itulah yang saya lakukan. Mencari akun media sosial Ahok, berharap mendapat video yang utuh. Alhamdulillah saya bisa melihat video yang utuh kenapa bisa muncul pernyataan tentang Q.S Al Maidah 51 itu.

Disana tampak Ahok sedang 'audience' dengan masyarakat kepulauan seribu saat menjawab sebuah pertanyaan. Disana Ahok menjelaskan bahwa program yang dicanangkan olehnya itu adalah program pemerintah DKI, tak ada hubungannya dengan momentum politik yang tengah berlangsung di Jakarta. Ia mencoba meyakinkan masyarakat disana supaya tak perlu merasa 'tak enak hati' mengikuti program tersebut karena itu bukan program agar mereka kembali memilih Ahok. Hanya saja, untuk meyakinkannya Ahok mencoba mengutip Q.S Al Maidah 51 yang selama ini (ia rasa) dipakai untuk menyerangnya agar masyarakat tak memilihnya.

"Apakah Ahok salah?"

Tentu tidak bisa dikatakan demikian juga.
Karena berkenaan dengan Q.S Al Maidah itu, ada beberapa penafsiran yang berlaku atasnya. Pemimpin yang dimaksud adalah Imam (yang secara utuh dijadikan panutan dalam menjalankan hubungan dengan Maha Pencipta), sementara Ahok sebagai Gubernur lebih kepada fungsi manjerial administratif yang tugas dan wewenangnya diatur dalam undang-undang. Dalam tahap ini, Ahok bukan sebagai pemimpin (secara utuh),tapi hanya sebagai pelaksana fungsi manajemen.

Lalu, upaya 'tabayyun' berikutnya adalah mendengar pebjelasan langsung Ahok maksud dari pernyataannya yang ambigu. Dan apa yang didapatkan?

Ahok jelas tak memaksudkan bahwa Al Qur'an yang membodohi. Ia hanya mencoba menjelaskan bahwa agama kadang dijadikan sebagai alat politisasi, seperti yang dimaksudkan oleh Marx. Agama memang kerap kali disalahgunakan oleh orang tertentu untuk membodohi.

Kita bisa melihat contoh kasus yang mencuat akhir-akhir ini. Aa Gatot Brajamusti dan Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah dua orang yang telah dengan nyata mempermainkan agama untuk membodohi manusia lainnya. Dan lihat betapa banyak yang akhirnya tertitpu.

Lalu apakah tafsir Q.S Al Maidah 51 itu salah?

Ini pun tak bisa dikatakan demikian. Karena dalam beberapa persoalan ada ulama yang menyatakan bahwa penafsiran ayat itu berkenaan dengan semua jenjang pemimpin, baik fungsional administrasi, manejerial ataupun sebagai pemimpin agama. Itu penafsiran yang juga benar menurut penafsirnya. Kita tak bisa menyalahkannya secara langsung.

Saya teringat tulisan Prof. Harun Nasution dalam sebuah bukunya, Islam Rasional. Disana beliau menjelaskan bahwa universalitas Al Qur'an adalah begitu banyaknya penafsiran terhadap ayat-ayatnya. Ada yang jelas terang benderang, ada yang tersirat menguratkan makna. Terserah mau pilih yang mana. Tapi, memaksakan kehendak penafsiran atas penafsiran yang lain adalah sebuah kekeliruan.

Marilah kita berlindung pada Tuhan, semoga apa yang ditafsirkan dipahami masing-masing tentang ayat itu bisa dipertanggung jawabkan sendiri. Tapi jauh di atas itu semua, bahwa Al Qur'an menjelaskan bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Karenanya jangan mencederai kemanusiaan.


Perempuanku

Perempuanku

Aku melukis dari titik-titik imaji ini.
Sejenak terperangah dengan hitam yang datang memeluk terang.
Hanya petang.
Dan titik-titik imajiku bersatu menjadi hitam.

Aku mengeja rindu di titik-titik pusara waktu.
Menghitung-hitung rindu yang kupunya untukmu.
Jika rindumu 1000, aku punya 1001 untukmu.


Kamis, 06 Oktober 2016

Merawat Kerinduan

Merawat Kerinduan

Bersyukurlah untuk perasaan yang kita miliki.
Untuk rindu yang terjaga dan dirawat dalam hati.
Untuk ketabahan yang terus kita jalani.
Pada harapan yang terus kita percaya untuk dinanti.

Perjuangan yang tak sebentar rasanya.
Kutahu ada rapuh atas langkah yang kita usung bersama.
Kita pernah beberapa kali mengambil jeda.
Namun, kita tak berhenti untuk mengulur asa.

Tetaplah percaya pada perasaan.
Saling menjaga atas kerinduan.
Merawat kasih dalam harapan.
Pada apa yang kita ikrar dalam komitmen.

Seperti itulah memang mencinta.
Seperti inilah memang merindu.
Kita harus tetap percaya.
Seperti dua sayap yang selalu menjaga untuk mengepak.


Rabu, 05 Oktober 2016

Sebuah Perjalanan Menenteng Takdir

Sebuah Perjalanan

Apakah kita berkehendak atas semua pilihan?
Untuk setiap langkah yang telah kita jalani hingga hari ini.
Aku merenung di tepian senja sore ini.
Berusaha meraba jawaban yang mungkin kutemukan dari bias jingga yang melambai.

Perjalanan yang tak sebentar ternyata.
Dan kita, dua insan yang berjalan ini tetap beriringan.
Meskipun tak sedikit kesempatan satu diantara dua pasang kaki ini pernah mencoba berlari lebih dulu.
Tapi sepasang yang lain mengejarnya untuk tak tertinggal dan meninggalkan.

Tetaplah disini, kita berdampingan, berjalan menelusuri sisa perjalanan yang ada.
Berdua beban terasa ringan, berdua perjalanan lebih menyenangkan.


Membeli Sebuah Pertemuan

Membeli Pertemuan

Aku termangu menatap senja yang temaram.
Tak menjingga seperti senja di sebuah pertemuan.
Air mata langit yang menitih sore membasahinya.
Tapi tetap ada rindu sebagaimana kemarin.

'Aku ingin membeli sebuah pertemuan', kataku pelan.
Sebatang pohon kering yang masih lembab hanya diam.
Tanah halaman yang basah pun tak berbicara.
Hanya awan berarak yang masih terlihat bergerak.

'Aku ingin membeli sebuah pertemuan' kataku berbisik pada diri sendiri yang mulai termangu menatap senja yang tak menjingga.
Batang pohon masih terdiam, tanah basah, dan awan yang berarak tak menimpali.

'Aku ingin membeli sebuah pertemuan', kataku sebagai do'a pada Dia pemilik senja yang tak menjingga seperti senja pada sebuah pertemuan.
Aku ingin bisa membeli sebuah pertemuan seperti suatu senja yang menjingga di sore itu.
Senja yang ada aku dan kau disana.


Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.