Kamis, 08 Juni 2017

Ahok, Socrates dari Jakarta

​Ahok, Ia Lelaki yang Tegar
“Akhirnya Ahok divonis bersalah dan hukuman penjara 2 tahun, artinya Ahok terbukti menista agama”, sebuah pesan masuk dari satu akun.

Saya tersenyum.

Divonis bersalah oleh Hakim belum tentu otang tersebut benar-benar melakukan kesalahan. Divonis menista belum tentu ia menista.

Saya teringat kisah Socrates di masa sebelum masehi. Socrates adalah seorang filsuf yang menentang oligarki kekuasaan Yunani, menentang kekuasaan mitos Para Dewa Yunani. Ajaran Socrates telah mengubah banyak anak muda di masa itu untuk tidak percaya pada Pemerintah Yunani. Para Pejabat Yunani merasa terancam dengan kehadiran Socrates yang menentang oligarki politik. Mereka kemudian berkonspirasi menjerat Socrates sebagai penista Dewa dan meracuni pikiran anak muda.

Socrates disidangkan dan dipenjara. Dalam satu kesempatan beberapa muridnya berhasil masuk penjara menemui gurunya. Mereka menawarkan sejumlah uang untuk digunakan menyogok majelis hakim agar Socrates divonis bebas (kala itu penghakiman dilakukan banyak orang dalam sebua ruang sidang, suara terbanyaklah yang menang). Socrates menolak. Dalam vonis yang diterima pada waktu itu mengharuskan Socrates meminum racun, yang berarti hukuman mati.

Apakah dalam kisah ini Socrates bersalah? Socrates menista Dewa? Socrates meracuni pikiran anak muda?

Jawabannya ‘tidak’.

Tapi satu pesan Socrates pada muridnya yang ingin menyogok Hakim patut direnungkan. ‘Lebih baik saya meminum racun daripada harus membela diri dengan cara yang lain’.

Ia menerima keputusan itu dan menjalani vonisnya dengan lapang dada. Socrates hingga hari ini masih dikenang berkat keteguhannya menjalani hidupnya dan moral yang dia pegang teguh.

Nah, bagaimana dengan Ahok?

Ahok jika dipandang dari segi akhlak memang orang yang kasar. Bahkan bisa sangat kasar dengan ucapannya. Itulah karakternya yang mungkin bagi sebagian orang bisa jadi kelemahannya namun bagi yang lain adalah kelebihannya.

Tapi saya kagum dengan Ahok ini.

Kenapa?

Karena dia jujur, dia apa adanya.

Bahasanya meneriaki seorang ibu yang ingin mencairkan KPJ anaknya secara tunai untuk dipakai kebutuhan yang lain memang kasar. Tapi itu tak kalah kasar ketika Ahok dengan nada keras berbicara pada istrinya (selaku ketua PKK)  dalam sebuah sidang di Balaikota di depan banyak orang yang hadir sebagai peserta sidang. Ucapan yang membuat istrinya mrnangis mrninggalkan tempat sidang. Ahok mrmperlakukan idtrinya dama dengan yang lain ketika keliru dalam melayani warga Jakarta.

Ahok apa adanya. Ia tak membedakan siapapun di depannya ketika itu menyangkut pada kebutuhan banyak orang. Dan sikapnya tak berubah, sama saja pada siapapun. Ia bahkan membenarkan hinaan orang yang menjulukinya seperti anjing karena kasar mulutnya. ‘Iya, saya memang Anjing yang menjaga uang tuannya. Akan menggonggong pada mereka yang akan mencuri uang tuannya. Tuan saya adalah Rakyat DKI’, kurang lebih seperti itu yang diucapkannya.

Vonis 2 tahun untuknya bukan berarti dia sepenuhnya salah dan membenarkan tuduhan jika ia benar menista agama islam.

Saya dengan penuh kesadaran sampai hari ini tetap percaya bahwa Ia tak pernah benar-benar menistakan agama islam. Ia menjadi korban dari konspirasi lawan politiknya.

Dan untuk segenap keteguhan yang dijalaninya selama proses persidangan menunjukan bahwa dia seorang Negarawan bagi Indonesia. Ia telah mencontohkan bagaimana ia meminta maaf atas apa yang sebenarnya tak sesuai yang dituduhkan. Ia telah menjalani segenap proses persidangan dengan langkah tegap meskipun hatinya pilu. Ia tak pernah mangkir ataupun mencari alasan untuk tak hadir ketika diminta sebagai saksi di persidangan. Ia menjalaninya dengan sepenuh hatinya yang luka.

Pun dengan banyak orang yang mencintainya, ia tak pernah menyulut emosi untuk membakar dan memprovokasi agar terjadi kerusuhan. Bahkan pada saat vonis dijatuhkan, ia menitip pesan pada pengacara untuk menyampaikan kepada masaa yang hadir agar menerima keputusan hukum dan menghormati proses yang ditetapkan. Ia tetap mencoba tampak tegar meskipun meredam luka hatinya yang perih.

Ahok, beruntunglah Indonesia pernah memilikimu.

Bahwa di tengah mayoritas warga negara itu tak pernah benar-benar menunjukan bagaimana jadi warga negara yang baik dengan patuh pada setiap aturan hukum negara.

Ahok, kau benar-benar pemberani. Kepalamu akan tetap tegap di Negeri ini.
Kelak, akan diceritakan bagaimana kau menunjukkan menjadi warga negara yang benar meskipun kau hanya minoritas di negeri ini.

Satu hal lagi,

Untuk segenap cobaan yang kau hadapi. Jangan berpikir Tuhan telah meninggalkanmu. Sebab kebenaran yang kau penjarkan dalam hatimu adalah sisa cahaya Tuhan yang masih terus kau rawat. Tak banyak orang yang punya kesempatan ini. Berbahagialah dan bersabar!


Penting untuk Orang Tua, Inilah Cara Mendidik Anak Menurut Islam

Imam Ali bin Abi Thalib K.W Merumuskan cara memperlakukan anak:

1. Kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak sebagai Raja.

2. Kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai Tawanan.

3. Kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), perlakukan anak sebagai Sahabat.

►ANAK SEBAGAI RAJA (Usia 0-7 tahun)

Melayani anak dibawah usia 7 tahun dengan sepenuh hati dan tulus adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan. Banyak hal kecil yang setiap hari kita lakukan ternyata akan berdampak sangat baik bagi perkembangan prilakunya, misalnya:
Bila kita langsung menjawab dan menghampirinya saat ia memanggil kita- bahkan ketka kita sedang sibuk dengan pekerjaan kita – maka ia akan langsung menjawab dan menghampiri kita ketika kita memanggilnya.

Saat kita tanpa bosan mengusap punggungnya hingga ia tidur, maka kelak kita akan terharu ketika ia memijat atau membelai pngung kita saat kita kelelahan atau sakit.

Saat kita berusaha keras menahan emosi di saat ia melakukan kesalahan sekecil apapun, lihatlah dikemudian hari ia akan mampu menahan emosinya ketika adik/ temannya melakukan kesalahan padanya.

Maka ketika kita selalu berusaha sekuat tenaga untuk melayani dan menyenangkan hati anak yang belum berusia tujuh tahun, insya Allah ia akan tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan, perhatian dan bertanggung jawab. Karena jika kita mencintai dan memperlakukannya sebagai raja, maka ia juga akan mencintai dan memperlakukan kita sebagai raja dan ratunya.

►ANAK SEBAGAI TAWANAN (usia 8-14 tahun)

Kedudukan seorang tawanan perang dalam islam sangatlah terhormat, Ia mendapatkan haknya secara proporsional, namun juga dikenakan berbagai larangan dan kewajiban. Usia 7-14 tahun adalah usia yang tepat bagi seorang anak bagi seorang anak untuk diberikan hak dan kewajiban tertentu.

Rasulullah SAW mulai memerintahkan seoang anak untuk sholat wajib pada usia 7 tahun, dan memperbolehkan kita memukul anak tersebut (atau mengukum dengan hukuman seperlunya) ketika ia telah berusia 10 tahun namun meninggalkan sholat. Karena itu usia 7-14 tahun adalah saat yang tepat dan pas bagi anak-anak kita untuk diperkenalkan dan diajarkan tentang hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum agama, baik yang diwajibkan maupun yang dilarang, seperti:

1. Melakukan sholat wajib 5 waktu
2. Memakai pakaian yang bersih, rapih dan menutup aurat
3. Menjaga pergaulan dengan lawan jenis
4. Membiasakan membaca Al-Qur’an
5. Membantu pekerjaan rumah tanngga yang mudah dikerjakan oleh anak susianya
6. Menerapkan kedisiplinan dalam kegiatan sehari-hari Reward dan punishment (hadiah/penghargaan/ pujian dan hukuman/teguran) akan sangat pas diberlakukan pada usia 7 tahun kedua ini, karena anak sudah bisa memahami arti dari tanggung jawab dan konsekwensi.

Namun demikian, perlakuan pada setiap anak tidak harus sama kerena 'every child is unique' (setiap anak itu unik)

►ANAK SEBAGAI SAHABAT (usia 15-21 tahun)

Usia 15 tahun adalah usia umum saat anak menginjak akil baligh. Sebagai orang tua kita sebaiknya memposisikan diri sebagai sahabat dan memberi contoh atau teladan yang baik seperti yang diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib Karomallahu Wajhah.
Berbicara dari hati ke hati Inilah saat yang tepat untuk berbicara dari hati ke hati dengannya, menelaskan bahwa ia sudah remaja dan beranjak dewasa.

Perlu dikomunikasikan bahwa selain mengalami perubahan fisik, Ia juga akan mengalami perubahan secara mental, spiritual, sosial, budaya dan lingkungan, sehingga sangat mungkin akan ada masalah yang harus dihadapinya. Paling penting bagi kita para orang tua adalah kita harus dapat membangun kesadaran pada anak-anak kita bahwa pada usia setelah akil baliqh ini, ia sudah memiliki buku amalannya sendiri yang kelak akanditayangkan da diminta pertanggung jawabannya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Memberi ruang lebih setelah memasuki usia akil baligh, anak perlu memiliki ruang agar tidak merasa terkekang, namun tetap dalam pengawasan kita.

'Controlling' tetap harus dilakukan tanpa bersikap otoriter dan tentu saja diiringi dengan berdo’a untuk kebaikan dan keselamatannya. Dengan demikian anak akan merasa penting, dihormati, dicintai, dihargai dan disayangi. Selanjutnya, Ia akan merasa percaya diri dan mempunyai kepribadian yang kuat untuk selalu cenderung pada kebaikan dan menjauhi perilaku buruk.
Mempercayakan tanggung jawab yang lebih berat. Waktu usia 15- 21 tahun ini penting bagi kita untuk memberinya tanggung jawab yang lebih berat dan lebih besar, dengan begini kelak anak- anak kita dapat menjadi pribadi yang cekatan, mandiri, bertanggung jawab dan dapat diandalkan.

Contoh pemberian tanggung jawab pada usia ini adalah seperti memintanya membimbing adik- adiknya, mengerjakan beberapa pekejaan yang biasa dikerjakan oleh orang dewasa, atau mengatur jadwal kegiatan dan mengelola keuangannya sendiri.
Semoga Allah memberikan kita anak-anak yang shaleh dan berbakti.

“Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha pendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38).

(Sumber: FP Alhabib Quraisy Baharun)


Rabu, 07 Juni 2017

Amien Rais, Dia Juga Manusia Biasa

Amien Rais

Seorang bertanya, "Kak bagaimana pandangannya atas kasus yang menimpa Amien Rais?"

*saya terdiam.

Sebenarnya saya ingin menghindari untuk membahas ini. Tapi sebuah janji padanya dahulu bahwa akan menjawab setiap pertanyaannya maka saya harus memberinya jawaban.

Amien Rais, ketika dulu menjadi Mahasiswa S1 saya mengenalnya sebagai Bapak Reformasi. Ialah yang getol melakukan perlawanan terhadap orde baru. Kisahnya banyak diceritakan oleh senior sebagai patron perjuangan melawan kesewenangan. Pun demikian, tak sedikit yang menilai reformasi yang diusungnya masih setengah hati, jika tak mau mengatakannya gagal.

Ketokohan Amien Rais bagi saya sebenarnya sudah runtuh semenjak pada Pilpres 2014 lalu saat ia turun ke gelanggang politik membawa isu agama. Isu agama yang dibawanya diarahkan ke lawan membabi buta. Pernyataannya yang mendukung satu kubu dibanding kubu lainnya membuat ia menyamakan Pilpres 2014 laksana 'Perang Badar'. Sebuah penganalogian yang ironi, sebab kandidat yang bertarung sama-sama saudara muslimnya. Sementara 'Perang Badar' adalah pertempuran yang dilakoni Rasulullah bersama pengikutnya 313 orang melawan kaum kuffar yang mengancam membunuhnya. Bagaimana mungkin seorang Tokoh Bangsa melakukan hal demikian?

Belakangan, setelah Pilpres berlalu rupanya Amien Rais seakan menyimpan dendam rapat-rapat dalam dadanya. Kekalahan usungannya di Pilpres membuatnya tak selalu bijak memberi pernyataan dan bersikap. Dan puncaknya, ia kembali turun ke gelanggang politik ikut memanaskan situasi tanah air yang dirundung perpecahan saat menjelang Pilkada DKI. Ia kembali memperlihatkan kejatuhannya untuk bersikap bijak sekali lagi. Pak Amien Rais bagi saya sudah terlalu jauh membiarkan dirinya terbenam dalam gelanggang yang semestinya ia tak disana membawa isu agama.

Tapi itu adalah penilaian saya baginya di sisi lain.

Soal isu yang menimpanya belakangan ini kita tak boleh terlalu jauh mengambil kesimpulan. Biarkanlah pengadilan berproses untuk mengungkapkan secara terang benderang atas namanya yang terseret dalam kasus korupsi mantan Menteri Kesehatan itu. Setidaknya ia telah menunjukan sikap ksatria untuk mengakui kebenaran bahwa ada dana yang masuk di rekeningnya pada satu dekade lalu, meskipun membantah jika itu terkait dengan kasus korupsi proyek pengadaan yang menyeret Sang Mantan Menteri.

Hanya saja, satu hal yang perlu diingat untuk kita semua bahwa sebagaimana Amien Rais yang sebelumnya adalah seorang Tokoh bagi Bangsa, lalu berubah mengambil jalan turun ke gelanggan politik memainkan isu yang tak seharusnya dilakukan. Maka 'kemungkinan' uang yang diterimanya terkait kasus korupsi itu bukan sesuatu hal mustahil. Pak Amien pun manusia biasa yang juga tak suci dari dosa dan kekhilafan. Sebagaimana kita yang nyatanya juga tak bersih dari perilaku yang buruk.

Ada baiknya, kita tetap menunggu proses pengadilan untuk menunjukan apa ia terlibat secara sadar ataukah tidak. Dalam artian ia tak tahu menahu bahwa uang yang diberikan temannya terkait kasus korupsi sebagai balas jasa. Mungkin saja. Namun dalam posisi hukum positivisme penerimaan itu pun harus tetap dipertanggung jawabkan sekalipun ia tak benar-benar mengetahuinya. Tapi, semoga dugaan-dugaan yang bergulir tak menyeret namanya lebih jauh lagi.

Terkahir, bahwa meskipun bagi saya ketokohan Amien Rais telah runtuh. Ia tetap berhak membela dirinya di depan Pengadilan. Dan apapun hasil dari pembuktian yang ada, maka harus diterimanya sebagai konsekwensi menerima dana yang sumbernya 'mungkin' ia tak pernah tanyakan. Untuk saat ini, baiknya kita menunggu prosesnya berjalan. Asas praduga tak bersalah lebih baik kita ke tengahkan untuk memandangnya.


Selasa, 06 Juni 2017

Puasa, Ibadah Rahasia yang Tak Perlu Dihormati

Menghormati Ramadhan, Menghormati yang Berpuasa?

Sebagian muslim yang ekstrem-ekstrem itu sering berteriak takbir lalu melakukan sweping warung makan. Katanya ramadhan harus dihormati, orang puasa harus dihormati. Olehnya warung-warung makan harus tutup di siang hari, tidak boleh beroperasi. Maka dengan (perasaan) sebagai wakil Tuhan yang berhak memegang kendali di dunia ini, mereka datang berteriak mengagungkan Tuhan sembari mempertontokan keangkuhannya dengan pongah memaksa warung-warung tutup.

Temanku bilang, mereka sedikit lebay. Terlalu mudah menyebut nama Tuhan di jalan-jalan sambil menakut-nakuti warga lainnya dengan pentungan. Tuhan dicitrakan oleh mereka sebagai wujud yang kasar dan pemaksa serta tampak tak mampu menutup warung itu dengan kuasaNya.

"Mereka gila hormat", kata temanku yang lain.

Saya tersenyum.
Mereka lupa kalau mereka hidup di dunia yang berasal dari berbagai kalangan. Tidak hanya mereka (Muslim ekstrem) yang berpuasa hidup di dunia. Ada banyak manusia lainnya dengan berbagai latar belakang. Ajaran agama lain pun juga berpuasa. Tapi toh mereka juga tak pernah menuntut agar warung tutup saat mereka puasa. Bukan karena mereka minoritas, tapi karena mereka tahu hakikat puasa itu menahan godaan dari banyak hal, termasuk makanan. Justru banyaknya makanan yang berseliweran di sekitar menjadi penguji iman. Bukankah hakikat muslim berpuasa untuk mencapai taqwa? Sementara langkah awal untuk taqwa adalah beriman. Tuhan berkata "belumlah dikatakan seseorang beriman, sebelum (lulus) ujian".

Nah, kalau mereka menganggap warung yang buka siang hari itu bisa merusak puasanya. Barangkali harus dicek, sudahkan mereka beriman dengan benar? Masak iya, hanya karena warung buka puasanya bisa batal. Imanmu lemah dan goyah pastinya jika demikian.

Berpuasa itu ibadahnya rahasia. Kata Tuhan, saking rahasianya maka imbalan bagi yang berpuasa kelak adalah masuk surga dari pintu yang rahasia pula. Kalau puasa dengan cara harus dihormati sehingga tak boleh ada warung buka, itu namanya puasanya anak kecil yang masih umuran di bawah sepuluh tahun. Lihat makanan sedikit langsung ingin berbuka.

Yah...
Saran saja buat mereka.
Kalau puasa mau dihormati, sekalian saja jadi pembina upacara.


Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.