Memoar Luka
"Bangunlah! Matahari sudah kuncup!" kudengar bisikmu padaku.
Saya masih enggan beranjak dari selimut yang memeluk erat setelah dingin menyeringai semalaman.
Kamu hanya terdiam di balik sebuah senyum memelas pilu. Seakan matamu ingin berteriak.
Sebenarnya saya hendak segera terbangun saat terlihat dua bulir air bak intan yang hendak jatu dari pelupuk matamu. Saya ingin mengehentikannya agar tak jatuh di pipimu.
"Memoar luka", itu yang pernah kusebutkan padamu.
Tentang banyaknya kisah tragis dua anak manusia yang berakhir tak manis.
Tapi, kamu tak pernah peduli tentang itu. Kamu lebih peduli dengan segelas teh yang kamu seduh pagi itu. Entah berapa kali lentik jarimu harus memutar-mutar sendok besi yang mulai lapuk itu.
"Bangunlah! segelas teh hangat baik untuk menghapus jejak embun yang jatuh di penghujung malam tadi." katamu merayuku keluar dari balik selimut.
"Hangat"... memang hangat teh yang diseduh pagi-pagi dengan sedikit ramuan ajaib. Saya menyebutnya "cinta".
Saya lupa, bagaimana memoar luka bisa datang berulang kali pada manusia yang dalam dirinya justru penuh ketulusan. Seakan-akan rasanya dunia menjadi kejam baginya.
Hanya saja, kamu tak pernah mengerti. Apa yang kuceritakan tak pernah benar-benar ingin kamu pahami.
Kamu selalu saja menolak menyebutnya memoar luka. Padahal bagi mereka yang tengah mencinta akan jatuh-se jatuh jatuhnya pada kehilangan dirinya. Ya, karena pada saatnya mereka akan menyadari bahwa dirinya hanyalah bayang dari yang dicintainya.
Dan mungkin kamu juga menganggapnya demikian, hingga memoar luka yang kusebutkan tak pernah kamu hiraukan walau kutahu bahwa kamu menanggung luka-luka atas semuanya.
Kamu hanya tersenyum.
Kembali menyeruku terbangun.
"Bangunlah!"
Saya terbangun.
Tak ada teh, dan tak ada kamu.
Ini hanya memoar luka.
"Bangunlah! Matahari sudah kuncup!" kudengar bisikmu padaku.
Saya masih enggan beranjak dari selimut yang memeluk erat setelah dingin menyeringai semalaman.
Kamu hanya terdiam di balik sebuah senyum memelas pilu. Seakan matamu ingin berteriak.
Sebenarnya saya hendak segera terbangun saat terlihat dua bulir air bak intan yang hendak jatu dari pelupuk matamu. Saya ingin mengehentikannya agar tak jatuh di pipimu.
"Memoar luka", itu yang pernah kusebutkan padamu.
Tentang banyaknya kisah tragis dua anak manusia yang berakhir tak manis.
Tapi, kamu tak pernah peduli tentang itu. Kamu lebih peduli dengan segelas teh yang kamu seduh pagi itu. Entah berapa kali lentik jarimu harus memutar-mutar sendok besi yang mulai lapuk itu.
"Bangunlah! segelas teh hangat baik untuk menghapus jejak embun yang jatuh di penghujung malam tadi." katamu merayuku keluar dari balik selimut.
"Hangat"... memang hangat teh yang diseduh pagi-pagi dengan sedikit ramuan ajaib. Saya menyebutnya "cinta".
Saya lupa, bagaimana memoar luka bisa datang berulang kali pada manusia yang dalam dirinya justru penuh ketulusan. Seakan-akan rasanya dunia menjadi kejam baginya.
Hanya saja, kamu tak pernah mengerti. Apa yang kuceritakan tak pernah benar-benar ingin kamu pahami.
Kamu selalu saja menolak menyebutnya memoar luka. Padahal bagi mereka yang tengah mencinta akan jatuh-se jatuh jatuhnya pada kehilangan dirinya. Ya, karena pada saatnya mereka akan menyadari bahwa dirinya hanyalah bayang dari yang dicintainya.
Dan mungkin kamu juga menganggapnya demikian, hingga memoar luka yang kusebutkan tak pernah kamu hiraukan walau kutahu bahwa kamu menanggung luka-luka atas semuanya.
Kamu hanya tersenyum.
Kembali menyeruku terbangun.
"Bangunlah!"
Saya terbangun.
Tak ada teh, dan tak ada kamu.
Ini hanya memoar luka.