Rabu, 19 Desember 2018

Melarang Poligami, Bukan Solusi Perlindungan Terhadap Perempuan

Beberapa hari terakhir berlalu lalang opini sebuah Partai Politik yang lewat sebuah forum festival 11, menyatakan bahwa Partai mereka tegas 'Menolak Praktik Poligami'. Alasannya hasil penelitian sebuah lembaga yang menyatakan bahwa perempuan yang suaminya poligami rentan mendapatkan tindak kekeresan dalam rumah tangganya. Bagi PSI, menolak poligami adalah melindungi perempuan.

Pernyataan ini bagi saya kurang punya korelasi. Sebab poligami belum tentu menghasilkan tindak kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini istri. Sebab meskipun tingkat persentase kekerasan terhadap istri yang suaminya poligami tinggi, itu karena sampel dari yang berpoligami tentu jauh lebih sedikit dari yang monogami. Lalu, apakah yang monogami punya jaminan melindungi perempuan dari tindak kekerasan? Tidak. 

Persoalan pernikahan adalah hal berbeda dari tindak kekerasan terhadap perempuan. Kita bisa menemukan kasus monogami dimana perempuan di dalamnya mendapat perlakuan kasar. Dan bisa menemukan orang yang poligami mengalami hubungan yang baik-baik saja. Bahkan ada kasus di India,  misalkan, bahkan sampai punya puluhan istri dan mereka baik-baik saja.

Sekali lagi, poligami adalah satu sisi dan kekerasan terhadap perempuan sisi lainnya.

Jika berbicara teologi, maka kita bisa menilik kembali sejarah.terbentuknya agama-agama. Ibrahim As (Abraham) yang disebut sebagai Bapak agama-agama besar telah mempraktikan poligami. Dimana dari dua istrinya lahir putra-putra yang melanjutkan keNabian. Andai kata praktik poligami bukan ajaran agama yang dibolehkan, maka bisa jadi ujian perjalanan Ibrahim As akan berakhir tanpa keberlanjutan keturunan. Sebab senyatanya, putra pertama lahir baru setelah Ibrahim As dibiarkan menikah oleh istrinya yang pertama. 

Hal ini berlanjut seterusnya dan meskipun ada yang menjadikannya budaya lalu disalah gunakan, maka bukan praktik poligaminya yang harus dipertentangkan. Tapi tindak kekerasannya. 

Bisa dibayangkan, apa yang dialami Nabi Ibrahim As pada waktu lalu saat hendak memiliki keturunan. Pada istri pertama belum juga diberikan sampai umur yang cukup lama, hingga mereka merasa resah akan kerinduannya memiliki putra. Barulah pada saat setelah menikah untuk kedua kalinya, mendapat harapan punya keturunan.

Nah, contoh kasus yang dialami Ibrahim As saat hendak mempunyai keturunan bisa saja dialami oleh pasangan sekarang. Memang ada banyak hal yang bisa diusahakan, tapi jika sang istri benar-benar tidak bisa mengandung?  Apakah adil bagi suami jika keinginannya memiliki keturunan dihilangkan dengan aturan tidak boleh poligami? Apakah harus menceraikan istri pertama supaya bisa menikah lagi agar punya keturunan? Rasanya ini malah akan ikut menzalimi istri pertama yang harus diceraikan, sementara (bisa jadi)  ia ikhlas sebagaimana istri Nabi Ibrahim As dulu saat merelakan suaminya menikahi St. Hajar agar memiliki keturunan. Dan tentu saja akan sangat merugikan lelaki yang tak bisa berketurunan hanya harus melanjutkan prinsip monogami bersama istrinya yang tak bisa mengandung.

Lalu, apakah Poligami benar bukan ajaran islam? Jika mau berdalih sebagai budaya arab yang hobi kawin-mawin terus dibatasi hanya sampai empat saja. Maka praktik yang dilakukan oleh Ibrahim As di masa lalu, apakah bukan produk dari kebolehannya poligami? Jika poligami tidak direstui Tuhan maka kita akan menemukan sebuah sejarah yang mana silsilah keturunan sekarang akan berubah. Bisa jadi saya dan anda tidak hadir karena (mungkin) silsilah  keturunan saya ke atas, ada anak  hasil dari poligami. Sama seperti silsilah keturunan Nabi Muhammad Saww yang dianggap pembawa ajaran islam. Bisa jadi terputus dan tidak berakhir pada Ismail As.

Ada banyak motif kenapa orang bisa poligami. Tentu baik poligami maupun monogami punya potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Tergantung dari pribadi si lelaki. Apakah mentalnya cukup kuat sebagai suami atau ayah, ataukah dia memang punya sisi tempramental yang akut dan sulit dikendalikan. Kekerasan bukan karena seseorang poligami atau monogami. Dan ketertindasan perempuan dalam praktik poligami bukan karena poligaminya tapi orang yang menjalankannya. 

Membolehkan poligami tidak sama dengan mewajibkan atau menganjurkan untuk dilakukan. Tuhan sendiri membolehkan, tapi dengan syarat, berlaku adil. Lalu apakah setiap orang pasti sama untuk tidak bisa berlaku adil? Ada kemungkinan mereka bisa berlaku adil dan itu sudah pernah terjadi. Malah melarang poligamilah yang membuat paradigma sosial kita berubah, sehingga selalu menganggap (akan) tertindas perempuan yang suaminya poligami.

Melihat fenomena ini, maka membatasi setiap orang dengan kasus yang tak serupa (rumah tangga tak normal) malah bentuk diskriminatif. Membuat undang-undang pelarangan seolah-olah mengasosiasikan bahwa poligami praktik yang (pasti selalu) buruk. Padahal kebolehan poligami adalah solusi dari sebuah pernikahan yang 'tidak normal' ini. 

Bagi saya, akan lebih setuju jika upaya perlindungan terhadap perempuan diperkuat dari undang-undang perlindungan terhadap ini. Satu langkah maju, misalkan, penambahan pembatasan umur minimal untuk usia pernikahan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun yang akan segera diberlakukan. Perempuan mendapat hak-haknya dalam hal pendidikan, menempati jabatan publik dan hal yang lainnya. Sebab persoalan pernikahan adalah ranah privasi yang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang. Jika memang dalam praktik pernikahan (baik monogami maupun poligami)  terjadi kekerasan terhadap perempuan, maka harus didampingi untuk menyelesaikan kasus itu setuntas mungkin. Dan yang melakukan kekerasan harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Dan saya kira itu sudah ada produk hukumnya, sisa diperkuat dan ditambah bila masih perlu.

Sekali lagi, kebolehan poligami adalah solusi atas sebuah pernikahan yang tidak berjalan normal sebagaimana "seharusnya". Dan itu tidak dianjurkan. Sama ketika dibolehkan tayamun dengan syarat tertentu sebagai pengganti wudhu. Kalau syaratnya terpenuhi, maka hukumnya boleh. Karena itu jangan dilarang-larang.
Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.