Sabtu, 11 Maret 2017

Agama dan Menepisnya Rasa Cinta Kasih

AGAMA dan Menipisnya Rasa Cinta (Kasih)

Agama seyogianya hadir sebagai bentuk untuk menumbuhkan cinta pada diri manusia. Cinta pada Tuhan (habluminallah) dan cinta pada sesama manusia (habluminannas).

Hanya saja, belakangan semakin banyak orang yang beragama yang malahan kehilangan nilai kemanusiaannya dan justru bertambah nilai ke-Tuhanannya (mereka seakan-akan sudah bukan lagi manusia yang serupa manusia lainnya, tapi seakan telah menjadi Tuhan yang menetapkan kafir dan tempat kembali neraka bagi manusia lainnya).

Padahal agama hadir untuk memanusiakan manusia. Memangkas sikap materialis dan kebinatangan untuk menjadi manusia yang utuh (baik makluk anatomi/biologis, sosial dan intelektual-spiritual). Semua aturan mengajarkan manusia untuk berbudi luhur (berakhlak) untuk bisa menjadi rahmat bagi seluruh manusia lainnya (seluruh alam).

Semua yang menjadi keharusan ataupun anjuran agama adalah ajaran tentang cinta kasih. Semua jelas dari fakta sejarah tentang perjalanan para nabi yang selalu digambarkan sebagai utusan yang mendorong terjadinya kedamaian di.muka bumi untuk mengajak manusia lainnya memiliki cinta (pada Tuhan dan manusia).

Sehingga amat miris jika hari ini kita menyaksikan sekelompok orang beragama yang mengakui keTuhanan memandang manusia lainnya dengan sinis dan sadis. Bahkan sampai kepada memvonis bahwa manusia lainnya sebagai manusia kafir dan layak untuk dibunuh.

Perasaan "benar sendiri" ini menjangkiti diri mereka yang hanya melihat agama sebagai alat untuk mendapatkan surga dan imbalan bidadari yang mampu memuaskan semua hasrat serta libidonya. Mereka seakan berlomba mencap lainnya sebagai kafir untuk membuat dirinya menjadi paling beriman.

Sampai disini, mereka malah semakin kehilangan nilai cinta (kasih). Dan lupa bahwa apapun yang terjadi atas izin Tuhan. Kemanusiaannya semakin tergerus sementara rasa kedekatannya pada Tuhan membuatnya sombong dan memandang manusia lainnya rendah dari dirinya (ini seperti kisah iblis saat memandang rendah Adam As hanya karena merasa ibadahnya paling banyak di hadapan Tuhan).


Aku dan Sederet Aksara

Aku dan Sederet Aksara

Kemanakah puisi pergi?
Deretan aksara yang biasa kurangkai di tepi malam, di sudut pagi yang masih ungu.
Di terik siang yang meninggi saat Matahari menggelantung liar disana.

Ternyata aku hampir melupakan menyusun deret puisiku.
Sebab, kau asbab puisi itu mengalir.
Kau adalah hulu dan puisi menjadi hilir yang menampungnya.
Tempat kata-kataku bermuara.

Namamu ada pada bibirku.
Pikiran tentangmu bersemayam dalam hatiku.
Lalu, dimana lagi aku perlu menulis?


Teman Sebangku

Teman Sebangku

Kau teman sebangku
Teman berbagi kasih
Tempat lelah berpulang

Kau teman sebangku
Teman bersenda gurau
Tempat luka dibasuh

Kau teman sebangku
Teman merawat cinta
Tempat semua keluh dilebur

Kau teman sebangku
Teman hidup melengkapi
Tempat kisah berbagi


Rabu, 08 Maret 2017

Apa Jadinya Dunia Tanpa Per(t)empuan

Apa Jadinya Dunia Tanpa Per(t)empu(r)an?

Ini sebuah pertanyaan yang klasik dan pasti pernah dipikirkan. Andai saja Tuhan menciptakan lelaki saja, tak ada perempuan. Mungkin takkan ada pertempuran.

Banyak yang menduga bahwa kasus pembunuhan pertama yang dilakukan putra Adam terhadap saudaranya sendiri dikarenakan perkara perempuan. Ada kecemburuan Qabil terhadap Habil, katanya. Seperti itu pulalah yang diduga pemicu perang dunia pertama juga karena perempuan. Kenapa perempuan lekat dengan pertempuran?

Ataukah kita bisa mengajukan sebuah pertanyaan keraguan teologis, andai Perempuan tak pernah tercipta mungkin mungkin Adam akan tetap di Surga, Iblis takkan menggodanya. Hawalah yang tergoda lebih dulu, lalu menggoda Adam memakan buah terlarang.

Tapi, andai kata perempuan tak pernah ada. Mungkinkah dunia menjadi indah tanpa adanya perempuan? ataukah tanpanya tetap akan terjadi pertempuran?

Entahlah, siapa yang bisa menduga. Tak pernah ada sebelumnya sebuah daerah yang hanya dihuni lelaki saja. Ya, bagaimana mungkin bisa terjadi jika tak ada perempuan-perempuan yang mengandung untuk berkembang biak. Jadi, apakah benar perempuan-perempuan itu yang mengandung pertempuran lahir ke dunia?

Bayangkan jika tak ada mereka. Mungkin tak akan lahir seorang Qabil yang membunuh saudaranya Habil. Namun apakah Adam akan bahagia? mungkin saja. Bahagia yang tak sempurna.

Katanya, perempuan tercipta dari rusuk lelaki menurut sebuah teologi agama. Dalam Budaya Bugis (entahlah di budaya yang lain), badik (senjata) dipercaya adalah tulang rusuk lelaki. Apakah teologis perempuan dalam agama bisa disamakan dengan filosofis badik dalam budaya bugis, sehingga perempuan memang selalu seraya senjata (pertempuran)?

Hahaha…

Lalu, apa jadinya dunia tanpa perempuan?

Mungkin lelaki akan membelah diri untuk tidak punah.

Perempuan adalah perhiasan dunia. Tanpa perhiasan pasti dunia akan biasa biasa saja. Hidup jadi kurang menyenangkan.

Selamat Hari Perempuan Internasional.

Sayangi perempuanmu, sebagaimana menyayangi rusukmu. Anggap saja ia rusukmu, pelindung hati dan jantungmu untuk tetap hidup.
(Sebuah catatan di 2017, menyambut Hari Perempuan Internasional)


Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.