Senin, 16 November 2015

TRAGEDI PARIS DAN 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA

Akhirnya saya sempat menuliskan ini (setelah kesibukan untuk mengurus urusan umat, politik di daerah).

Tentang tragedi yang terjadi di Paris beberapa waktu lalu yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Kita menyebut itu sebagai teror. Dan pelakunya adalah teroris. (Saya sepakat sampai sejauh ini). Hanya saja, hal yang kemudian terjadi adalah adanya kelompok tertentu yang mengklaim aksi kejahatan kemanusiaan itu sebagai aksinya dan dengan bangga mereka menganggap itu jihad. Mereka menganggap sedang berjuang di jalan Tuhan.

Yah, mereka adalah ISIS. Kelompok teroris yang menggunakan simbol agama islam untuk melegalkan setiap aksi pembunuhan dan pengrusakan yang mereka lakukan. Parahnya mata dunia di'setting' untuk melihat ini sebagai aksi yang dikaitkan dengan agama islam.

Sebagaimana aksi 11/9 di Amerika dahulu yang tiba-tiba kelompok militan Osama Bin Laden mengaku sebagai penanggungjawab aksinya. (Benang merah propagandanya sama persis). Dan ini menyebabkan mata eropa.yang memang resisten dengan agama islam meresponnya dengan sangat berlebihan. Mereka pasti akan mendapat dukungan agar mereka masuk menginvasi suriah tempat ISIS kini bersarang. [Tapi, kita tinggalkan dulu apa yang akan terjadi setelah ini yang merupakan konspirasi dari Uni Eropa di Timur Tengah].

Saya ingin mengaitkan tragedi ini dengan sebuah film yang mengambil Eropa, Paris sebagai latar ceritanya. Filmnya berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa.

Dalam film itu ditangkap pesan bahwa di Paris Seorang Napolean Bonaparte dikatakan memeluk islam dengan adanya bangunan monumental yang dibangun, dimana bangunan itu membentang sebuah jalan lurus yang diberi nama "Jalan Kemenangan" (dalam bahasa perancis tentunya). Dijelaskan bahwa ternyata jalan kemenangan itu jika ditarik sebuah garis imajiner (ini istilah matematika) akan bertemu pada titik kordinat pada bangunan di kota mekkah, ka'bah.

Namun, dalam cerita filmnya kita memang mendapati bagaimana islam di Eropa sana menjadi hal yang dibenci dikarenakan pada sebuah museum terdapat peninggalan Mustafa Pascha seorang panglima perang dinasti Ottoman yang menaklukkan Wina (Jerman) dengan darah dan membunuhi banyak orang disana. Itu adalah kenangan yang membuat masyarakat disana lebih melihat Islam diwakilkan oleh Mustafa Pascha yang dianggap biadad. (Sehingga rasanya memang wajar jika Islamphobia berkembag di Eropa).

Di akhir cerita ada pesan mendalam yang disampaikan para tokoh, bahwa sebagai umat islam marilah kita menjadi agen-agen islam yang ramah, menyebarkan kebaikan sebagaimana akhlak Rasulullah. Jangan sampai islam diwakilkan oleh mereka yang biadab dan anti kemanusiaan seperti Mustafa Pascha di masa lalu. Dan tentunya ISIS hari ini juga malahan dianggap oleh Eropa sebagi agen islam dan paling mewakili islam. Jadilah islamophobia berkembang.

Karenanya kejadian di Paris yang terjadi itu adalah setali mata uang dengan konspirasi 11/9 di Amerika dulu. Mencoba melakukan "dubbing massal" agar dunia melihat Islam diwakili kelompok radikal semisal ISIS yang akan membunuhi setiap.orang yang berbeda dengan keyakinannya.

Karenanya untuk menghadapi perang ini, kita semua harus ikut menjadi agen-agen islam yang ramah dan menjadi rahmat bagi sekalian alam.

(Kita bersedih dan mengutuk setiap tragedi kemanusiaan di belahan dunia ini yang dilakukan kelompok atas nama agama, apapun itu)

:::Jadilah agen islam yang menyebarkan senyum dan kedamaian:::

Kamis, 12 November 2015

Kau adalah Sajak yang Tak Henti Bernarasi

Bila kuharus mengisahkanmu, maka aku akan menukiskanmu sebagai sajak-sajk yang akan terus beriringan tanpa jedah. Hanya ada spasi sebagai jedah, tanpa pernah ingin berhenti.

Kau adalah Oase di padang tandus atau selayaknya hujan di kemarau. Aku adalah benih yang lahir dari air matamu di tengah padang saat kemarau.

Kau juga kusebut sebagai jingga senja yang melewati detik waktu hingga kemerahan di langit ufuk barat. Selalu membawa rindu untuk melihatnya datang memerah bersama keindahan.

Kau juga adalah gelombang yang terus saja berani menantang pantai walau tahu akan pecah di tepian. Gelombamg yang akan terus saja datang berulangkali sekedar untuk menyampaikan kerinduan dan menghapus jejak tapak pada pasir.

Kau adalah bagian, yang darimu aku datang. Kau adalah Aku di waktu yang lain, dalam banyak hal yang aku belajar mengerti.

Terima kasih atas hidup yang telah dipersembahkan untuk menjadikan sebuah bangunan sebagai tempat untuk selalu kembali. Tempat untuk mengobati luka pada rindu yang menggerogotinya. Tempat untuk membasuh air mata saat dunia menjadi begitu amat memuakkan. Itulah rumah yang dimana kau, tiga orang perempuan dan aku hidup dalam naungan kasih Tuhan.

Tetaplah sebagai sajak yang tak pernah berhenti bernarasi. Sebagai oase yang terus menghapus dahaga atau sebagai hujan yang datang di kemarau.
Seperti, selaknya jingga, ombak, atau apapun yang membuatmu begitu berarti.

Dan jika ada rangkaian kata yang harus kuucapkan padamu hari ini adalah "terima kasih untuk telah menjadi ayah bagi kami. Menjadi suami dan menjadi Guru yang hebat buat kami. Semoga atas itu, Tuhan selalu memberkati atas usia dan sisa umur yang ada.

Salamun qaulam mirrabbi rahim.
#SpesialThankForMyFather #panjangumurmuuntukterusberbakti

Minggu, 08 November 2015

Aku Ingin Seperti Sherlock Holmes

Dia adalah satu diantara tokoh fiktif idolaku. Dia seorang Psikopat namun bisa mengendalikannya, dia punya IQ di atas rata-rata. Memiliki pola pikir yang unik di 'luar kotak'. Seorang 'Rebel', jengal dengan aturan yang mengekang kebebasannya.
Suatu hari saya pernah mencoba berkirim surat padanya di alamatnya tinggal di Baker Street 221B. Betapa terkejutnya surat yang kukirim berbalas atas namanya. Kami saling bertukar pikiran lewat surat yang silih berganti. Banyak kasus yang diceritakannya padaku dan bagaimana dia memecahkannya. Ada sensasi yang begitu menyenangkan saat kutahu bagaimana cara berpikirnya yang hebat itu.
Saya banyak belajar... hingga suatu waktu di kabar terakhirnya dia meloncat dari sebuah gedung tinggi. Saya bilang pada diriku bahwa itu hanyalah ilusinya lagi untuk mengecoh musuhnya. Tapi sedihnya sampai saat ini belum lagi kutemukan surat yang dikirim darinya.

Sabtu, 07 November 2015

Secangkir Rindu Seperti Kopi

Sudah kubilang "jangan suguhkan kopi!", tapi tak tergubris.
Alhasil kopi yang dihadapkan pada saya harus kuseruput sebagai penghormatan atas yang membuatnya.
Saya membatin, "pasti saya akan menempuh malam yang panjang untuk tak lelap".

Kopi kuhabiskan. Jantung berdegup kencang memicu adrenalinku. Seakan ada aliran.darah yang begitu kuat untuk tetap membuat mata terjaga.

Akhhh... saya ingin cepat pulang walau kutahu bahwa ini sudah terlambat.

Masih terjaga. Segelas kopi penuh yang dihidangkan memang adalah ramuan ampuh untuk membuat penikmatnya tetap terjaga. Mungkin ini alasan biji pahit itu terkenal di seluruh dunia, di setiap negara. Khasiatnya memang luar biasa.

Lalu, bagaimana denganku yang terhukum karena menyeruput kopi itu? Jam segini saya menjadi lapar. Dan mata semakin tak bisa pejam.

Tiba-tiba rindu menyerangku. Kali ini tak biasa. Bertubi-tubi datang menggebu.

Akhirnya, saya menemukan dua alasan sebagai sebab untuk tidak bisa tidur malam ini. Satu karena kopi yang kuseruput dan lainnya adalah karena rindu yang terselimut.

Sudahlah...
Saya nikmati saja. Pertama saya obati rasa laparku dulu. Kedua kuobati rasa rinduku? tapi bagaimana? Sementata kutahu bahwa rindu adalah petaka bagi pecandunya yang tak bisa menemukan perjumpaan pada yang dirindukannya.

Saya menikmati sunyi meradang, menikmati rindu yang bergelimang.

Lain kali, saya takkan tergoda untuk menikmati kopi lagi jika tak butuh untuk terjaga.
Tapi, saya selalu butuh rindu meski kutahu ia bisa merajamku berkali-kali dengan sepi dan rasa sakit untuk menahan perjumpaan.

Biarlah... nikmati saja.
Karena kopi dan rindu adalah dua hal yang memang sulit dipisahkan.
Semakin diaduk, semakin merindu.
Kopi diaduk, malam yang larut. — bersama Salsabil.

Jumat, 06 November 2015

Apa Jadinya, Lelaki Penikmat Hujan di Tengah Kemarau Panjang?

Saya menyebut diriku lelaki pecinta hujan. Mungkin dianggap sekedar pengakuan sendiri, tapi memang saya sangat mencintai hujan. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menikmati rintik iramanya yang mendenting jatuh di atap bangunan atau di atas tanah.

Saya bahkan seringkali sengaja berbasahan saat hujan turun sambil berkendara. Ini agar tidak terlalu dipandang kekanakan jika hanya langsung berlari bertelanjang kaki sambil teriak kegirangan di bawah hujan seperti saat kecil dahulu. Rasanya sangat menyenangkan merasakan air yang jatuh dari langit itu langsung mendarat di kulit wajah.

Tapi, kemarau yang panjang kali ini membuat hujan betah untuk tidak jatuh. Padahal seharusnya saya sudah bisa menjumpainya seperti jadwal janji yang sudah saya tuliskan. Ada banyak hal yang sudah saya rencanakan untuk melewatinya bersama hujan. Tapi hujan tetap menahan diri untuk tidak segera jatuh.

Politik Untuk Kemanusiaan

[Pilkada Pangkep]; Politik Untuk Kemanusiaan

Politik hari ini dicitrakan sesuatu yang buruk, penuh intrik dan hal kotor lainnya. Begitupun dengan momentun politik yang ada di dalamnya, dijadikan sebagai tujuan kemenangan yang harus dicapai tak peduli ditempuh dengan cara apapun.

Sayangnya, kebanyakan orang yang justru harusnya sadar ikut mengasumsikan politik sebagai sesuatu hal yang seperti di atas. Mereka lupa apa yang dimaksud dari politik itu sendiri.

Seperti apa yang dikatakan Aristoteles bahwa politik adalah bagian dari dimensi kemanusiaan. Manusia dikenalkan olehnya sebagai "human politica", yang artinya tak bisa dilepas dari politik. Politik sendiri dianggapnya sebagai sebuah rumusan baku kesepakatan yang ada di.masyarakat untuk menentukan tujuan bersama. Dalam hubungan politik inilah disepakati aturan menyangkut kehidupan bermasyarakat.

Apa yang disampaikan Aristoteles itupun dinarasikan kembali oleh banyak orang. Satu diantaranya adalah Guru Bangsa, Gus Dur yang dalam pernyataannya terkenal bahwa yang paling penting dari politik adalah kemanusiaan. Ini senalar dengan yang dimasudkan bahwa politik adalah dimensi kemanusiaan itu sendiri.

Sehingga, menjadi heran saat ada kaum yang pernah mengenyam pendidikan politik malah berkata dan ikut menganggap bahwa politik itu permainan intrik dan bisa ditempuh semua jalan dalam memenangkan momentum politik yang ada.

Saya jadi berpikir, bagaimana kondisi jiwa orang yang mengatakan seperti itu? Jika merujuk pada perkataan Aristoteles maka orang yang menganggap politik itu kotor dan boleh menghalalkan segala cara (termasuk cara kotor nan bau sekalipun) adalah orang yang jiwanya juga kotor, sekotor cara yang dibolehkannya untuk dilakukan.

Ahh... sudahlah.
Pada sebuah titik nadir sekalipun, nilai kemanusiaan tak boleh tergerus. Itu yang menjadi prinsip saya. Termasuk dalam politik, saya tak pernah sepakat dengan bahasa mereka yang memandangnya sebagai sesuatu hal yang kotor dan boleh menempuh segala macam cara (kotor) dalam memenangkannya.

Politik adalah bagian tak terpisahkan dalam keyakinan saya. Makanya saya dalam memilih pandangan politik harus dengan penuh pertimbangan. Karena politik sangat erat kaitannya dengan memilih kepemimpinan, maka tak bokeh asal mengikut pilihan apalagi sampai ingin menghalalkan semua cara. Bukankah dalam keyakinan yang kita anut, amat jelas pembeda mana salah dan benar? lalu apakah bisa diampuni manusia yang mengabaikan nilai luhur keyakinannya untuk digadai atas nama politik?

Berlaku adillah, sejak dalam pikiran!

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.