Sabtu, 02 April 2016

Demokrasi dalam pandangan Plato dan Aristoteles


Sebelum menguraikanpandangan-pandangan kedua filosof yunani ini , terlebih dahulu perlu di camkan bahwa ketika mereka berbicara tantang demokrasi, maka yang dimaksudkan tentu saja demkrasi pada abad ke-4 dan ke-5 di yunani. Yakni, suatu demokrasi yang bila diukur dengan gagasan modern tentang konsep tersebut dapat disebut dengan cepat sebagai “demokrasi yang ekstrem”. Bangsa yunani pada zaman itu hidup di Negara-kota (polis), yang jumlah penduduknya relatif sangat kecil. Jumlah total pemberi suara yang memenuhi syarat dalam masyarakat itu sekitar 40.000. Dan dalam majelis penduduk pemberi suara ini, kendali rakyat benar-benar paripurna. Orang-orang yunani tidak pernah menemukan system pemerintahan perwakilan, barangkali sebagian karena jumlah penduduknya yang kecil itu. Badan yang berdaulat di Athena adalah Majelisnya, suatu pertemuaan massa yang terdiri dari penduduk pria dewasa yang bersedia bersusah-susah untuk hadir.


Plato mengkritik demokrasi seperti ini, berdasarkan pendapatnya bahwa masyarakat merupakan hakim tidak becus dalam banyak masalah politik. Masyarakat cenderung memberikan penilaian berdasarkan kebodohan, dorongan hati, sentimen atau prasangka. Yang paling buruk adalah bahwa demokrasi seperti itu mendorong munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak becus. Karena pemimpin memperoleh kepemimpinan dari masyarakat, pemimpin cenderung mengikuti tingkat masyarakat demi keamanan kedudukannya. Lagi pula, karena dalam demokrasi “setiap individu bebas melakukan apa yang dikehendakinya”, Pengaruhnya bersifat sangat merusak.

Nah, melalui kritiknya terhadap masyarakat-masyarakat yang tak sempurna yang, disamping demokrasi, mencangkup timarki, oligarki, dan tirani Plato selanjutnya memperkuat konsep aristokratis dan otokratis idealnya tentang masyarakat yang sempurna. Yaitu suatu masyarakat yang diperintah oleh raja-raja filosof. Masyarakat aristokratis idealnya seperti ini, dalam banyak hal, merupakan antithesis demokrasi.

Pengetahuan, dan hanya pengetahuan, menurut Plato, yang merupakan kriteria untuk seorang penguasa yang sejati. Penguasa yang sejati bukanlah orang yang memerintah sedemikian rupa sehingga berdamai dengan iktikad baik rakyatnya, juga bukan orang yang memerintah dengan menghormati hukum. Penguasa sejati adalah orang yang tahu bagaimana memerintah. Pengetahuan seperti itu terlalu tinggi bagi banyak orang. Dan demokrasi tidak dan tak dapat mengetahui apa pun tentang memerintah atau berkuasa.

Bagaimana pun juga, itulah “obsesi” politis Plato yang di uraikananya secara terperinci terutama dalam republic. Kemudian, Plato sendiri, meskipun tidaksampai  mengubah subtansinya, untuk tujuan praktis seolah mengalihkan perhatiannya dari masyarakat aritokratis dan otokratis ideal di bawah raja-filosof, ke posisi tengah yaitu suatu panduan monarki atau oligarki dengan demokrasi, antara ketertiban dan kebebasan. Khususnya dalam Laws dan politicus, dia juga menekankan pentingnya hukum, yang kedudukannya berada di atas raja-filosofnya.

Dalam politicus, Plato membedakan antara demokrasi “ekstrem” dan demokrasi “moderat” atau “kongstitusional”. Baik dalam bentuknya yang baik (moderat dan kongstitusional) maupun dalam bentuknya yang buruk (ekstrem”, keduanya dipandang lebih unggul bukan, seperti dalam republic, lebih rendah disbanding dengan oligarki meskipun dalam kedua bentuknya tetap lebih rendah dibandingkan dengan aristokratis. Perubahan dalam laws bahkan lebih mencolok. Dalam republic penguasa adalah wali yang tak terkait oleh hukum, sedangkan dalam laws penguasa adalah “pelayan hukum” dan bahkan “budak hukum”

Di sinilah Plato bersepakat dengan Aristoteles yang menekankan konsepsi kedaulatan hukum. Namun, meskipun Aristoteles memandang demokrasi lebih rendah dibanding dengan otokrasi, kepercayaannya kepada rakyat tampak lebih “tulus” dibandingkan Plato. Inilah yang melatar belakangi kritik Aristoteles terhadap gurunya. Tampaknya, Plato lebih menekan elemen monarki atau elemen oligarki dalam perpanduan tersebut. Didalamnya monarki “menjadi cair karena dibagi-bagi diantara beberapa pejabat, sedangkan demokrasi menjadi lemah karena dibatasinya hak-hak pemilihan dan control pada suatu majelis primer yang kecil dan orang-orang terpilih (doctored)”. Sebenarnya akan tepat baginya untuk mengemukakan sesuatu seperti apa yang dalam pengalaman modern kita disebut oligarki atau monarki kongstitusional yang didalamnya raja yang bertindak sebagai soko-guru ketertiban dengan cara menarik kesetiaan rakyat yang dibatasi oleh dewan perwakilan sebagai organ kebebasan, jika saja dia tau dan mau. Kalaupun Plato mau memberikan kepada rakyat kekuatan untuk memilih pejabat-pejabat kota, itu hanya bertujuan menghindari kehendakburuk mereka. Perpaduannya bukan bersifat organis: rakyat yang pasif  berpadu dengan kelas penguasa yang cakap dan aktif.

Aristoteles memang sepakat dengan Plato tentang sifat negatif dari demokrasi (ekstrem). Menurutnya, definisi kebebasan sebagai orang bebas hidup menurut kehendak sendiri, dan demi keinginan sendiri.”, adalah tidak betul. Namun, seperti yang ditulis dalam politics: “Rakyat, meskipun secara individual mereka mungkin hakim yang lebih tidak becus dibandingkan dengan orang-orang yang berpengetahuan, secara kolektif baik juga” Dan “pihak yang banyak, lebih tak dapat disuap dibandingkan dengan pihak yang sedikit… Individu berpeluang besar untuk dikuasai amarah, atau dikuasai perasaan lainnya sehingga, dengan demikian, membuat penilaian atau keputusan yang menyesatkan. Namun, sulit sekali untuk mengatakan bahwa sejumlah besar orang akan terbawa perasaan atau marah lalu membuat salah pada saat yang sama.” Sementara rancangan Plato paling banter dapat disebut oligarki atau monarki konstitusional, rancangan Aristoteles merupakan suatu “demokrasi yang terbatas”, yang dia sebut sebagai polity suatu panduan organis demokrasi dan aristokrasi (dalam pengertian bahwa para pejabatnya adalah sekelompok kecil orang pilihan). Aristoteles memberikan kepada banyak orang bukan saja hak yang memilih langsung, melainkan juga hak untuk memberikan penilaian dan pertimbangan, atau lebih khususnya hak untuk memilih hakim, dan hak untuk memeriksa prilakunya pada akhir masa jabatannya. Yang tidak kurang pentingnya adalah bahwa dalam rezim campurannya Aristoteles, bukan saja bahwa razim itu merupakan perpaduan antara aritokrasi dan demokrasi, melainkan sekaligus mengatasi batas-batas antara kelas-kelas dalam masyarakat. Rezim sedemikian benar-benar memadukan (anggota-anggota) dari berbagai kelas itu menjadi satu komunitas tunggal: suatu yang dilestarikan mungkin dengan sengaja dalam rencana Plato. Masing-masing dan semua kelas memiliki hak yang sama untuk mempunyai wakil-wakilnya dari tiga cabang dari badan penguasa: legislative, eksekutif, dan yudikatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.