Rabu, 03 Juni 2020

Memelihara Merpati

Merpati atau dikenal dengan nama burung dara, merupakan sejenis unggas yang banyak diminati dan dipelihara oleh pecinta unggas. Selain karena unggas ini sangat jinak juga karena perkembang biakannya yang cukup mudah.

Mereka akan mudah menjadi kelompok besar bila disediakan makanan yang cukup untuk kebutuhannya.

Selain hidup bebas, beberapa jenis merpati juga ada yang dijadikan hewan hias karena keelokan bulu-bulu yang ada padanya. Ada berbagai jenis merpati yang berasal dari berbagai macam negara dengan karakteristik berbeda.

Kekinian, penangkaran unggas ini kian bertambah banyak. Sebab banyak yang menikmatinya saat memberi merpati makan. Mereka akan terihat indah.

Rabu, 19 Desember 2018

Melarang Poligami, Bukan Solusi Perlindungan Terhadap Perempuan

Beberapa hari terakhir berlalu lalang opini sebuah Partai Politik yang lewat sebuah forum festival 11, menyatakan bahwa Partai mereka tegas 'Menolak Praktik Poligami'. Alasannya hasil penelitian sebuah lembaga yang menyatakan bahwa perempuan yang suaminya poligami rentan mendapatkan tindak kekeresan dalam rumah tangganya. Bagi PSI, menolak poligami adalah melindungi perempuan.

Pernyataan ini bagi saya kurang punya korelasi. Sebab poligami belum tentu menghasilkan tindak kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini istri. Sebab meskipun tingkat persentase kekerasan terhadap istri yang suaminya poligami tinggi, itu karena sampel dari yang berpoligami tentu jauh lebih sedikit dari yang monogami. Lalu, apakah yang monogami punya jaminan melindungi perempuan dari tindak kekerasan? Tidak. 

Persoalan pernikahan adalah hal berbeda dari tindak kekerasan terhadap perempuan. Kita bisa menemukan kasus monogami dimana perempuan di dalamnya mendapat perlakuan kasar. Dan bisa menemukan orang yang poligami mengalami hubungan yang baik-baik saja. Bahkan ada kasus di India,  misalkan, bahkan sampai punya puluhan istri dan mereka baik-baik saja.

Sekali lagi, poligami adalah satu sisi dan kekerasan terhadap perempuan sisi lainnya.

Jika berbicara teologi, maka kita bisa menilik kembali sejarah.terbentuknya agama-agama. Ibrahim As (Abraham) yang disebut sebagai Bapak agama-agama besar telah mempraktikan poligami. Dimana dari dua istrinya lahir putra-putra yang melanjutkan keNabian. Andai kata praktik poligami bukan ajaran agama yang dibolehkan, maka bisa jadi ujian perjalanan Ibrahim As akan berakhir tanpa keberlanjutan keturunan. Sebab senyatanya, putra pertama lahir baru setelah Ibrahim As dibiarkan menikah oleh istrinya yang pertama. 

Hal ini berlanjut seterusnya dan meskipun ada yang menjadikannya budaya lalu disalah gunakan, maka bukan praktik poligaminya yang harus dipertentangkan. Tapi tindak kekerasannya. 

Bisa dibayangkan, apa yang dialami Nabi Ibrahim As pada waktu lalu saat hendak memiliki keturunan. Pada istri pertama belum juga diberikan sampai umur yang cukup lama, hingga mereka merasa resah akan kerinduannya memiliki putra. Barulah pada saat setelah menikah untuk kedua kalinya, mendapat harapan punya keturunan.

Nah, contoh kasus yang dialami Ibrahim As saat hendak mempunyai keturunan bisa saja dialami oleh pasangan sekarang. Memang ada banyak hal yang bisa diusahakan, tapi jika sang istri benar-benar tidak bisa mengandung?  Apakah adil bagi suami jika keinginannya memiliki keturunan dihilangkan dengan aturan tidak boleh poligami? Apakah harus menceraikan istri pertama supaya bisa menikah lagi agar punya keturunan? Rasanya ini malah akan ikut menzalimi istri pertama yang harus diceraikan, sementara (bisa jadi)  ia ikhlas sebagaimana istri Nabi Ibrahim As dulu saat merelakan suaminya menikahi St. Hajar agar memiliki keturunan. Dan tentu saja akan sangat merugikan lelaki yang tak bisa berketurunan hanya harus melanjutkan prinsip monogami bersama istrinya yang tak bisa mengandung.

Lalu, apakah Poligami benar bukan ajaran islam? Jika mau berdalih sebagai budaya arab yang hobi kawin-mawin terus dibatasi hanya sampai empat saja. Maka praktik yang dilakukan oleh Ibrahim As di masa lalu, apakah bukan produk dari kebolehannya poligami? Jika poligami tidak direstui Tuhan maka kita akan menemukan sebuah sejarah yang mana silsilah keturunan sekarang akan berubah. Bisa jadi saya dan anda tidak hadir karena (mungkin) silsilah  keturunan saya ke atas, ada anak  hasil dari poligami. Sama seperti silsilah keturunan Nabi Muhammad Saww yang dianggap pembawa ajaran islam. Bisa jadi terputus dan tidak berakhir pada Ismail As.

Ada banyak motif kenapa orang bisa poligami. Tentu baik poligami maupun monogami punya potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Tergantung dari pribadi si lelaki. Apakah mentalnya cukup kuat sebagai suami atau ayah, ataukah dia memang punya sisi tempramental yang akut dan sulit dikendalikan. Kekerasan bukan karena seseorang poligami atau monogami. Dan ketertindasan perempuan dalam praktik poligami bukan karena poligaminya tapi orang yang menjalankannya. 

Membolehkan poligami tidak sama dengan mewajibkan atau menganjurkan untuk dilakukan. Tuhan sendiri membolehkan, tapi dengan syarat, berlaku adil. Lalu apakah setiap orang pasti sama untuk tidak bisa berlaku adil? Ada kemungkinan mereka bisa berlaku adil dan itu sudah pernah terjadi. Malah melarang poligamilah yang membuat paradigma sosial kita berubah, sehingga selalu menganggap (akan) tertindas perempuan yang suaminya poligami.

Melihat fenomena ini, maka membatasi setiap orang dengan kasus yang tak serupa (rumah tangga tak normal) malah bentuk diskriminatif. Membuat undang-undang pelarangan seolah-olah mengasosiasikan bahwa poligami praktik yang (pasti selalu) buruk. Padahal kebolehan poligami adalah solusi dari sebuah pernikahan yang 'tidak normal' ini. 

Bagi saya, akan lebih setuju jika upaya perlindungan terhadap perempuan diperkuat dari undang-undang perlindungan terhadap ini. Satu langkah maju, misalkan, penambahan pembatasan umur minimal untuk usia pernikahan perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun yang akan segera diberlakukan. Perempuan mendapat hak-haknya dalam hal pendidikan, menempati jabatan publik dan hal yang lainnya. Sebab persoalan pernikahan adalah ranah privasi yang tidak bisa dipaksakan kepada seseorang. Jika memang dalam praktik pernikahan (baik monogami maupun poligami)  terjadi kekerasan terhadap perempuan, maka harus didampingi untuk menyelesaikan kasus itu setuntas mungkin. Dan yang melakukan kekerasan harus diproses sesuai hukum yang berlaku. Dan saya kira itu sudah ada produk hukumnya, sisa diperkuat dan ditambah bila masih perlu.

Sekali lagi, kebolehan poligami adalah solusi atas sebuah pernikahan yang tidak berjalan normal sebagaimana "seharusnya". Dan itu tidak dianjurkan. Sama ketika dibolehkan tayamun dengan syarat tertentu sebagai pengganti wudhu. Kalau syaratnya terpenuhi, maka hukumnya boleh. Karena itu jangan dilarang-larang.

Kamis, 13 September 2018

Kebencian yang Terlampau

Kebencian yang Terlampau
Begitu hebat dan kuatnya provokasi kepada Masyarakat untuk membenci Pimpinan Negerinya dengan cara yang telah terlampau jauh. Membenci memang bukan sesuatu yang jelek, membenci dibolehkan bahkan dianjurkan dalam kadar dan ketentuan yang sesuai. Kebencian yang terlampau itu tidak dibenarkan, apalagi sampai merendahkan derajat kemanusian di hadapan orang lain.
Dan paling parah adalah, mereka membenci mengatasnamakan iman yang dianutnya. Merasa agamanya terzalimi dan dianggap mereka dikucilkan di negerinya sendiri. Sungguh tragis, mereka di satu sisi mengaku berima, lalu mengarahkan kebenciannya begitu melampaui kadarnya. Lalu darimanakah mereka mendapati keteladanan dalam menyampaikan kebencian secara terbuka?
Ada banyak kisah keteladanan, bagaimana seyogiayanya kita bersikap atas apa yang dibenci. Nabi Musa As mencontohkan bagimana Tuhan memintanya tetap berlaku lemah lembut saat menghadap dan berbicara pada Fir'aun. Kita tahu siapa Fir'aun yang dikisahkan ini, Raja yang sampai pada tahap mengakui dirinya sebagai tuhan yang punya kuasa besar. Tapi itulah keteladanan. Tuhan mencontohkan (menganjurkan) manusia untuk tetap berlaku adil bahkan pada apa yang seharusnya amat dibenci. Disini kita belajar pengendalian diri.
Kemudian, Ibrahim As saat menghadapi Namrud. Adakah manuskrip yang kita dapati dimana Ibrahim As memuntahkan cemoohan yang mengolok-olok Namrud pada waktu itu? Tidak. Tapi Ibrahim As mengajukan argumen-argumen yang layak dan masuk akal pada Namrud. Disini kita belajar tentang ketabahan.
Kisah lain, Nabi Muhammad Saww saat menghadapi pemimpin Quraisy yang tak berpihak padanya. Apakah Nabi lalu menggumpat dan memprovokasi Masyarakat? Bahkan pada saat kekuatan Muhajirin dan Ansar di Madinah kuat baik secara politik maupun kemiliteran, Nabi tak pernah melakukan umpatan yang memprovokasi untuk mengolok Pimpinan Quraisy. Bahkan tatkala Nabi yang memiliki kekuatan sepenuhnya umat muslim mendapat perlakuan oleh Masyarakat penolak dakwahnya yang membuat luka di wajahnya, tak pernah menyetujui membalas dengan cara yang kasar. Disini kita belajar kasih sayang, rahmatan lil alamin.
Lalu, setelah ribuan tahun berlalu kisah-kisah Manusia suci yang seharusnya menjadi teladan itu seakan dilupakan. Mereka yang juga mengaku umat dari ke 3 Utusan di atas, malah tak bisa mengontrol diri, tak punya ketabahan dan seolah tak memiliki rasa kasih sayang sampai-sampai harus mengumpat, memprovokasi dan menjelek-jelekkan dengan sangat kasar seorang Pimpinan Negerinya.
Seolah-olah mereka menjelma menjadi Malaikat yang suci melebihi sucinya Nabi-Nabi yang telah diutus. Seakan mereka lupa atas pesan dari Tuhannya yang melarang mereka mengolok-olok orang lain melampaui batas.
"Janganlah suatau kaum mengolok-olok kaum lainnya, sebab bisa jadi yang diolok-olok itu masih lebih baik dari yang mengolok". (Seperti ini isi titah Tuhan).
Pertanyaannya, apakah yang mereka sudah lakukan lebih baik dan lebih banyak dari Pimpinan yang diolok ini? Kenapa begitu melampaui batas kebenciannya?
“Janganlah membenci melampaui batas, sebab bisa jadi yang kau benci amat baik bagimu. Dan janganlah mencintai melampaui batas, bisa jadi yang kau anggap baik amat buruk bagimu". Intinya jangan terlampau jauh.
Saya teringat sebuah kalimat yang beberapa waktu lalu terdengar di sebuah kesempatan.
"Sekurus-kurusnya Ikan, pasti ada dagingnya. Segemuk-gemuknya Ikan, pasti ada tulangnya." Saya kira ini konsep serupa yang diajarkan Tao. Yin dan Yang. Seperti yang disebutkan dalam kitab suci, kita yang bukan fiksi.
Bagaimanapun kebencianmu, redamlah agar tak melampaui perilaku yang seharusnya tak kau lakukan. Ini bulan Ramadhan, hendaknya kita lebih banyak merenung. Buka puasa nanti ikannya kurus atau gemuk?. Kalau kurus tulangnya jangan dimakan. Kalau gemuk, hati-hati tulangnya keselek.
Jokowi memang kurus, tapi belum tentu sehina yang kau pikirkan. Adillah!
Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.