Sabtu, 27 September 2014

RUU Pilkada Melahirkan 'Oligarki Politik', Kembalinya Pembunuh Socrates

Untuk kalangan pemikir, siapa yang tak tahu nama Socrates? Tapi tidak semua yang mengenal namanya mengetahui siapa sebenarnya dirinya. Ia adalah seorang filsuf di masa yunani kuno, guru dari Plato dan Aristoteles. Filsuf besar yang pemikirannya menembus lorong-lorong sejarah dan diabadikan dalam karya-karya dalam bentuk manuskrip.

Bahkan bagi saya, dirinya adalah sosok yang mewarisi misi kenabian. Ini bukan sesuatu yang berlebihan, lantaran mengetahui kisah hidupnya yang penuh perlawanan dan perjuangan melawan faham petinggi athena yang menganut politheisme dan oligarki dalam kekuasaan. Perjuangannya yang mencerahkan dengan misi monoteisme menentang dewa-dewa yang dianggapnya tak masuk akal dan jauh dari kebenaran. Tak hanya itu, ia kemudian mengajarkan anak muda lainnya akan kebenaran yang diyakini. Namun, tuduhan itulah yang nantinya akan membuatnya dihukum mati meminum racun sebagai bentuk perlawanannya atas dewa-dewa dan kekuasaan negara athena.

Apa yang menarik dari kisahnya ini? selain dari ajaran monoteismenya adalah perlawanannya terhadap oligarki politik yang berkembang di athena pada waktu itu. Bagi Socrates adalah sebuah kemustahilan mewujudkan negara ideal apabila masyarakat tidak dipimpin oleh orang yang bijaksana (filsuf). Menurutnya, Pemimpin dalam hal ini memiliki peranan yang sangat penting dalam mengarahkan masyarakat menuju masyarakat berperadaban. Dalam hal ini masyarakat yang berkeadilan. Dan sekali lagi, baginya itu takkan mungkin dicapai jika bukan dipimpin oleh seorang filsuf.

Olehnya itu, ia mencoba merombak pemikiran masyarakat di athena pada waktu itu. Utamanya anak muda untuk menyampaikan bahwa seorang filsuf takkan mungkin bisa memimpin apabila di athena masih terjadi oligarki politik. Yakni, hanya sekelompok orang saja yang kemudian saling bersilang pendapat dan kepentingan yang mengatur pemerintahan. Dalam hal ini, orang-orang ini mengabaikan kepentingan masyarakat umum di atas kepentingan mereka. Namun, karena merasa terancam oleh Socrates maka penguasa athena membuatkan tipu daya untuk menjerat Socrates jatuh pada tuduhan dan mengahakiminya. Akhirnya Socrates yang menolak membebaskan diri dengan menyogok hakin yang hadir di persidangannya lebih memilih meneguk racun yang membuatnya mati dalam perlawanannya. Ini adalah bentuk keteguhan hatinya mempertahankan kebenaran dan keadilan yang diyakininya.

Seperti itulah kematian Socrates dalam menentang kekuasaan politik elit Athena pada waktu itu. Lebih dari 350 SM yang lalu ia menantang Oligarki yang dianggapnya hanya akan membuat kekuasaan segelintir orang berkutata disana dan jauh dari mencipta keadilan bagi masyarakat umum.
Lalu, hari ini beberapa orang di parlemen telah kembali mencoba menghidupkan sistem oligarki kekuasaan yang nyata. Adalah RUU Pilkada yang disahkan dimana membuat pemilihan kepala daerah dilakukan atau ditentukan oleh Anggota DPR dari Partai yang ada di daerah masing-masing.

Hal ini berarti bahwa sistem oligarki kekuasaan kembali akan berdiri. Pimpinan hanya akan dipilih oleh orang-orang di DPR berdasarkan siapa dia dan apa pentingnya buat partai dan diri anggota DPR. Maka bagi mereka, orang yang seperti Socrates yang mencoba menawarkan sebuah faham kepemimpinan baru atas dasar kebijaksanaan tak akan mungkin bisa lagi terlaksana. Bagaimanapun, takkan mungkin bisa lahir sosok pemimpin diluar dari kalangan anggota DPR yang berkuasa selama 5 tahun itu. Apalagi, melihat fakta yang ada bahwa anggota DPR yang katanya mewakili rakyat dalam proses keputusan politiknya dalam rapat atau sidang tidak pernah benar-benar mewakili pilihan politik masyarakat konstituennya. Melainkan tunduk dan patuh terhadap apa yang diinginkan partainya. Kalaupun ada yang berbeda endapat dengan partai, maka orang itu akan dinilai penghianat bagi partai dan ini artinya partai berhak menjatuhkan sanksi administratif atas ketidak patuhan kader partainya. Dan ini sama saja bahwa pemimpin-pemimpin yang akan lahir di daerah adalah mereka yang harus patuh dan memenuhi kewajiban kepada fraksi partai yang mengusungnya sebagai Kepala Daerah. Jika tidak maka tidak akan mungkin dipilih oelh fraksi Partai itu.

Inilah kenyataannya. Oligarki Politik yang sebelumnya bisa diredam di beberapa daerah, akhirnya akan kembali hidup dan membunuh kembali Socrates-Socrates yang baru. Suara-suara dari masyarakat yang kritis takkan mungkin pernah bisa terdengar lagi. Perlawanan atas ketidakadilan akan segera di-disfungsikan dan diredam begitu saja. Sangat menyakitkan, mengingat bahwa kita sedang berbenah dalam penyadaran politik bagi masyarakat untuk aktif dalam proses pemilu langsung dan melek politik dalam memilih calon pemimpin yang bisa dipercaya mengantarkan masyarakat menjadi berperadaban dan berkeadilan.

Penetapan RUU Pilkada adalah sikap resmi untuk melahirkan bayi haram "Oligarki Politik" dari mereka pelacur-pelacur di parlemen. Bayi yang akan menjadi anak kesayangan mereka untuk menjaga kekuasaannya dan kepentingannya dalam pemerintahan. Bayi yang akan menjadi penindas bagi rakyat. Bayi hasil perselingkuhan partai-partai pendukung penetapan RUU Pilkada oleh DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.