Sebuah trend baru yang mampu menghegemoni
kebudayaan kita, bahkan saya sendiri pun sempat tak menyadari akan itu.
Tak sadar bahwa sesungguhnya saya terjebak ke dalamnya.
Betapa tidak, manusia saat ini dikonstruk kepada suatu kebudayaan yang
sama. Padahal secara antropologi, letak geografis dan apapun itu tidak
bisa untuk diseragamkan. Tapi, sebuah kontsruk baru berusaha membentuk
itu. Yah, saya bisa menyebut itu sebagai badai budaya. Sebagaimana caranya untuk menghilangkan keberagaman budaya yang ada di dunia ini.
Salah satu adalah budaya “Bugis”. Dimana secara sistem nilai, falsafah
bugis ingin coba digantikan dengan sistem nilai yang berbeda. Dan yang
paling menyeramkan dari itu adalah bahasa yang telah menuju pembunuhan
tanpa jejak. Bahasa bugis secara tidak sadar mulai dilupakan oleh
masyarakat bugis sendiri atas nama modernisasi. Bahasa bugis hampir
dianggap sebagai bahasa orang kampung, dan bahasa yang cocok untuk
diperkotaan adalah bahasa inggris, mandarin ataupun jerman.
Bahkan, penilaian buta aksara ditunjukkan kepada orang yang tidak tahu
membaca huruf latin, meskipun mereka mampu untuk membaca huruf lontara.
Nah, akhir-akhir ini saya tersentak dengan kesadaran saya sendiri.
Dimana setelah enginjakkan kaki di kota ini saya seakan enggan lagi
untuk menggunakan bahasa leluhur saya. Bahasa yang muncul dan mengakar
sebagai hasil kebudayaan leluhur di suku bugis. Dengan kebanggan itu,
akhirnya lebih memilih memakai bahsa indonesia dalam percakapan
sehar-hari meskipun saya tahu kalau yang kutemani berbicara adalah
sesama orang bugis.
Yah, akupun terkena badai itu. Tapi, untung sebelum dibunuh saya
tersadarkan. Sadar bahwa budaya bugis; bahasa, falsafah daerah ataupun
sitem nilai yang disebut norma harusnya dilestarikan dan kembali
dimunculkan dalam kehidupan kita. seabagaimana budaya yang merupakan
hasil cipta karsa dan rasa manusia yang dikerjakan sehari-hari dan
menjadi kebiasaan yang mendarah daging.
Akhirnya, pertanyaan yang pentng dari itu ialah sejauh mana kita mau
menjaga kelestarian budaya kita d tengah gempuran zaman yang
mengatasnamakan diri globalisasi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar