Mata itu, mata yang sedang memandangi bayi mungil yang
terlahir dengan ledakan tangisannya. Hari itu terlihat terurai butiran bening
bak kristal dari pelupuk yang sendu. Tatapannya begitu tajam menyaksikan geliat
bayi merah yang tak tertutupi sehelai benang pun. Bayi itu tampak kelaparan,
segera disuguhkannya air susu yang suci untuk menenangkannya. Bayi itu kini
berhenti dari geliatnya, dirasakan hangatnya cinta dari seorang perempuan yang
kini begitu bahagia setelah menantikannya datang selama lebih dari sembilan
bulan. Perempuan yang kini sedang menyeka air matanya lalu tersenyum bahagia.
Mata itu, mata itu kembali menangis. Bukan tangisan bahagia
yang membuatnya terurai tapi kini jeritan pilu yang lahir dari hatinya. Jelas
disana ada beban yang tak sanggup dibendungnya lagi dan menyebabkan air matanya
tumpah berderai. Mata itu kini menatap seorang bocah mungil yang terbaring tak
berdaya di tempat tidur sebuah kamar rumah sakit. Mata itu kini tak lagi sendu
tapi seakan lelah untuk menangis menunggu sang bocah kembali sadar.
Mata itu, untuk ke sekian kali mata itu kembali menguraikan butiran
bening tanda kelembutan perasaannya. Ia sedang terseduh lantaran
menganggap anak laki-laki yang dilahirkannya tak mendengar nasihatnya.
Mata itu sedang menatap kepada seorang anak laki-laki yang mengucurkan
darah dari jidatnya. Merah dan pekat, menutupi setengah dari wajahnya.
Mata itu menangis penuh kekhawatiran.
Mata itu, mata yang begitu mudah menitihkan kelembutan, mata yang begitu
mudah menitihkan kasih sayang. Selalu saja terurai untuk seorang anak
yang dilahirkannya lebih dari dua puluh tahu silam. Mata yang selalu
saja basah lantaran rindunya akan anak laki-lakinya yang tak lagi sering
diperhatikannya. Mata yang senantiasa terbuka dan terpejam untuk
menatap anak laki-lakinya.
Mata itu, mata yang jarang aku saksikan lagi lantaran jarak yang tak
mengizinkan menatap mata itu. Mata yang tak pernah aku tahu berapa kali
ia harus basah karenaku. Mata yang selalu menunjukkan tatapan penuh
cinta dan kelembutan yang hangat yang membuatku tak mampu jauh darinya.
Mata yang harus dengan rela tak kutatap karena waktu yang membuat
kondisi berubah.
Mata itu, mata yang selalu menatapku sebagai anak kecil yang harus
selalu diperhatikan. Mata yang tak mampu terpejam tanpa sebuah kabar
yang diterima oleh empunya mata. Mata yang selalu aku rindukan untuk
menatapnya, mata yang menguraikan kisahnya kepada waktu sebagai
bahasa-bahasa sunyi akan betapa hebatnya sang pemilik mata. Mata yang
senantiasa rindu menatap anak laki-laki yang kini bukan lagi sosok anak
kecil. Mata yang memancarkan cahaya kasih Tuhan. Mata dari Ibuku yang
teramat mencintaiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar