Hari itu saya meninggalkan rumah pagi-pagi untuk beraktifitas di kantor
dan mengurus beberapa hal yang menjadi tugas kantorku. Memang hari itu
aktifitasku tak seperti hari biasanya yang bisa lebih cepat sampai di
rumah sepulang dari kantor. Yah, hari itu banyak yang harus saya
selesaikan di kantor, menjemput berkas di rumah nasabah. Saat itu memang
sudah bukan lagi waktu kantor dikarenakan saya lebih cepat pulang saat
di akhir pekan.
Tapi, kali itu memang saya memilih untuk menyelesaikan semuanya secepat mungkin akibat kebasaanku yang suka melupakan kerjaanku saat sedang di rumah. Akhirnya saya memilih menyelesaikan berkas yang saya jemput untuk diedit pada hari itu. Tak peduli bahwa cuca tidak sedang bersahabat. Dan saya yang memang tidak suka membawa jas hujan terus saja menembus derai hujan yang menitih saat ittu dan hasilnya adalah saya basah kuyup sampai di rumah. Yah, barangkali itu jadi hari yang melelahkan buatku baru berada di rumah sesore itu.
Tapi, kali itu memang saya memilih untuk menyelesaikan semuanya secepat mungkin akibat kebasaanku yang suka melupakan kerjaanku saat sedang di rumah. Akhirnya saya memilih menyelesaikan berkas yang saya jemput untuk diedit pada hari itu. Tak peduli bahwa cuca tidak sedang bersahabat. Dan saya yang memang tidak suka membawa jas hujan terus saja menembus derai hujan yang menitih saat ittu dan hasilnya adalah saya basah kuyup sampai di rumah. Yah, barangkali itu jadi hari yang melelahkan buatku baru berada di rumah sesore itu.
Mungkin bagimu tak perlu tahu bagaimana kondisi tubuhku yang kuyup itu
menggigil dingin. Tapi tetap saja saya meng'iya'kan permintaanmu untuk
diantarkan malam itu. Seperti itulah bagimu untukku, apapun saya lakukan
selama itu tidak membunuhku, bahkan barangkali jikapun itu akan
membunuhku akan tetap saya lakukan. Akhirnya saya memilih untuk segera
mandi agar kondisi tubuhku tidak terlalu menggigil untuk menahan suhu
dingin di luar tubuhku. Hal ini saya dapatkan dulu keika membaca bahwa
untuk mengimbangi kondisi tubuh agar tidak menggigil maka kita butuh
menyamakan suhu tubuh dengan suhu luar tubuh. Dan itu sedikit berhasil
membuatku tak menggigil lagi.
Malam itu saya datang, mengikutimu dari belakang menuju rumah teman yang
akan kamu beri kejutan padanya dikarenakan hari itu adalah pengulangan
tanggal kelahirannya. Tapi, kamu tak perlu tahu tentang bagaimana
kondisi saya menembus malam itu yang memang masih menyisahkan gerimis
selepas hujan sore tadi. Barangkali kamupun tahu rasanya.
Tak ada yang berbeda, saya senang melakukan itu semua. Apalagi itu
permintaanmu. Maka akan aku turuti selama aku bisa. Dan sayapun datang.
Tapi, akhirnya setelah acara dianggap selesai kita pun akhirnya pulang
dan seperti permintaanmu saya mengantarkanmu pulang. Tapi, entah apa
yang terjadi? sampai saat ini pun saya belum mengetahuinya. Tiba-tiba
kamu berubah menjadi begitu dingin pada saya. Tak ada canda seperti
biasanya. Hanya kata sekedarnya saja untuk menuntun kita pulang
dikarenakan saya tak terlalu mengenal jalan pulang. Yah, entahlah apa
yang ada dibenakmu waktu itu sehingga tiba-tiba menjadi begitu dingin.
Fikirku mungkin karena memang cuaca pada waktu itu yang benar-benar
dingin.
Sesampai di depan rumahmu akhirnya saya menyadari bahwa itu bukan karena
pengaruh cuaca. Entahlah ada apa denganmu. Dan kaupun berlalu tanpa
sebuah kata, tanpa tatapan ke arahku apalagi sekedar tersenyum Tak ada,
tak seperti biasanya. Jujur, sikapmu itu menjadi satu serangan telak
bagiku. Sikap diam itu laksana sebuah anak panah yang meluncur cepat
dari busurnya membidik tepat di jantungku. Membuatnya seakan remuk dan
menyayatku. Jujur, saya kecewa dengan itu. Kecewa dengan sikap yang
kamu tunjukkan padaku. Toh, saya tak mengerti apa yang terjadi. Tapi
kekecewaanku masih saja meliputiku sampai saat ini.
Barangkali bagimu tak perlu tahu tentang bagaimana kecamuk perasaanku
pulang ke rumah setelah mengantarkanmu ke rumahmu. Lalu kamu hanya
berlalu tanpa kata. Tanpa isyarat yang masih saja tak kumengerti. Yah,
harusnya kamu tahu malam itu saya pulang dengan menahan rasa sakitku
itu. Tapi saya tetap saja mencoba melawan kekecewaanku, lantaran masih
saja berfikir kalau memang malam itu cuaca begitu dingin sehingga kamu
harus segera berada dalam rumah secepat mungkin agar tubuhmu cepat
hangat. Benar, saya mencoba memikirkan itu lantaran saya tahu bahwa kamu
tak biasa keluar malam apalagi dengan cuaca sedingin itu ditambah lagi
dengan kondisi ruang terbuka. Saya sangat tahu itu. Tapi, apa yang coba
kufikirkan ternyata salah. Dan masih saja tak mengerti akan semua itu.
Karena fikirku, kamu akan mengirimkan pesan padaku sebelum saya sampai
di rumah layaknya apa yang sering kamu lakukan untuk memastikan bahwa
saya benar-benar sampai di rumah. Tapi, tak ada pesanmu malam itu. Entah
apa yang terfikir olehmu sampai mengabaikan untuk menanyakan kabarku.
Malam itu saya sampai di rumah sengaja memperlambat perjalanan pulang
dengan mengambil jalur yang sengaja mengantarkan keliling sejenak
menyusuri dingin-dingin yang pekat malam itu. Sekedar untuk mencoba
membuang rasa kecewaku yang terus berkecamuk dalam diriku. Rasa kecewa
yang sepertinya sedang membakar api amarahku begitu hebatnya. Akhirnya
saya sampai di rumah, dan setelah melepas sepatu sebelum sempat duduk di
kursi saya langsung merogoh saku mengambil telpon genggamku untuk bisa
langsung membuka pesan darimu, fikirku. Alangkah kecewanya, saat harus
menyadari bahwa tak ada pesan darimu disana, tak seperti biasanya. Saya
harus kembali memadamkan api yang seakan bertambah besar membakarku
dengan sugesti bahwa kamu sedang sibuk mengerjakan sesuatu atau
barangkali lagi mengurus nenek yang ada di rumah beberapa hari ini. Dan
itu sedikit membantuku untuk menahan luapan emosionalku.
Akan tetapi, entah apa yang ada di benakmu. Tapi saya yakin kamu takkan
benar-benar lupa untuk mengirimkan pesan untukku. Makanya saya menunggu
pesan itu, meskipun seharusnya saya sudah seharusnya istirahat lantaran
seharian tak mendapatkan istirahat seperti biasanya. Lalu, apa yang
kudapati tak sesuai dengan yang kuharapkan. Telepon genggamku akhirnya
benar-benar berdering, segera saya raih berharap itu telepon darimu
namun kenyataannya itu adalah serangkaian nomor telepon baru yang orang
disana memintaku untuk membawa materi dini hari. Jujur saya harusnya
menolak permintaan itu, tapi lantaran benakku ikut berkecamuk dari
emosional dan psikologisku yang tak lagi stabil. Saya benar-benar tak
peduli dengan kondisi tubuhku yang menggigil malam itu dan segera saja
meng"iya"kan permintaannya. Fikirku itu akan membuatku melupakan
amarahku yang meluap dan menghapus kecewaku terhadap kamu. Dan tanpa
fikir panjang saya langsung bersiap kemudian berlalu menembus dinginnya
malam menuju hangatnya forum yang memberikanku suasana yang sedikit
membuatku melupakan kecewaku. Yah, disana semua telah saya lupakan. Saya
telah memadamkan amarahku dan menghapus kecewaku padamu atas kejadian
malam itu.
Memang benar jika malam itu saya berhasil melupakan kecewaku dan
padamkan amarahku. Setelah berdiskusi panjang lebih dari lima jam yang
menyita waktu tidurku hari itu yang emang sebenarnya tak mampu untuk
terlelap lantaran fikirku yang dikotori rasa kecewa dana amarah. Jadi
saya rasa waktu tidurku tak terbuang sia-sia malam itu meskipun esok
harinya saya harus benar-benar menerima kalau kondisi tubuhku tak mampu
menahan lelah dan kondisi suhu yang membuatku demam. Tapi tak ada
penyesalan buatku untuk itu. Saya tetap senang melakukannya, melakukan
sesuatu yang diminta orang lain saya lakukan untuknya.
Mengakhiri ini, saya masih saja belum tahu apa sebenarnya yang ada dalam
fikirmu. Bahkan sampai saat ini pun kamu masih belum menjelaskan itu
pada saya. Hanya saja yang perlu kamu tahu bahwa saya sudah melupakan
kecewaku dan memadamkan amarahku serta memaafkan atas rasa sakit yang
mungkin tak sengaja kamu berikan untukku. Akan tetapi, bagi saya sebelum
ada pesan darimu berarti kamu memilih tetap diam dan itu sama ketika
malam itu kamu hanya diam dan berlalu, lalu itu rasanya teramat
menyakitkan. Saya bukan tidak menerimamu dengan seperti itu, tapi
perjalanan kita masihlah panjang. Jika tidak belajar dari sekarang untuk
mengerti maka akan banyak rasa sakit yang kita torehkan masing-masing.
Maafkanlah jika saya bersalah, tapi sampai sejauh ini saya tak mampu
mengeja makna dari diammu. Namun, demikian kamu harus tahu, bahwa
kekecewaan, rasa sakit, amarah dan air mata itu terlahir dari cinta yang
saya miliki untukmu. Cinta yang menuntut dirinya menyatu dengan sang
kekasih yang menghilangkan perih dan mencipta bahagia. Yah, itu harapan
terbesar dari cinta yang saya miliki untukmu.
---Kecewa, amarah bahkan benci adalah sesuatu yang terlahir dari Cinta. Menjadi bagiannya, sebagai simbol bahwa kita peduli---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar