Selasa, 30 September 2014

Manusia Bissu [Bugis], Warisan Teologi Buddha


BADIK- Manusia Bissu tentu sudah banyak dibahas dan dituliskan, baik yang berupa opini maupun suatu hasil penelitian. Namun, meskipun banyak dibahas manusia bissu selalu punya daya tarik kuat untuk selalu diungkap dan ditelusuri jejaknya. Bagitupun dengan saya yang sampai hari ini masih memendam hasrat yang besar untuk mengungkap rahasia di balik manusia bissu ini. Akhirnya dengan berbagai upaya pencarian dan perenungan, maka saya merasa perlu untuk menuangkan gagasan saya tentang manusia bissu ini. Gagasan ini tentu saja akan menuai tanggapan, sebagai respon atas apa yang coba fikiran liar saya utarakan.


Manusia Bissu dalam Masyarakat Bugis
     Manusia Bissu adalah seorang laki-laki setengah perempuan (Calabai) yang diyakini memiliki kekuatan spiritual yang tinggi sehingga bisa menyambungkan dengan roh-roh langit. Mereka dikatakan calabai (setengah perempuan) lantaran meskipun secara biologis adalah lelaki tapi memiliki jiwa yang menyerupai perempuan dan membuatnya berprilaku lembut gemulai layaknya perempuan. Sehingga dari ciri-ciri ini pula banyak yang menganggap bahwa mereka adalah waria.
Namun, tidak demikian adanya. Karena meskipun manusia bissu ini berjiwa perempuan, mereka tak pernah mendandani diri mereka sampai kepada bentuk meneyerupai perempuan layakmya kebanyakan waria. Lagi pula, sebutan untuk bissu adalah untuk calabai yang diyakini memiliki kelebihan dari segi spiritual dan kekuatan supranatural. Jadi tidak semua calabai adalah bissu dan itu hanya ditujukan pada mereka yang memiliki syaratnya.
Siapa Manusia Bissu itu dalam tradisi Bugis?
     Manusia bissu dalam tradisi bugis pada awalnya adalah penasihat kerajaan. Hal itu disebabkan lantaran bissu diyakini mampu membaca gejala alam dan memberi petuah yang tepat bagi raja dalam mengambil suatu tindakan. Kepiawaian membaca alam dan memberi petuah ini diyakini karena manusia bissu punya keterikatan kuat dengan Dewata (Tuhan, masyarakat bugis menyebutnya). Sehingga mampu menentukan sikap apa yang tepat diambil dalam banya hal.
Akhirnya dari kepiawaian itulah manusia bissu secara turun temurun dipercaya menjadi penasihat kerajaan. Namun, hari ini kerajaan bugis tak lagi ada. Meskipun demikian bissu masih tetap ada dalam suatu bentuk komunitas manusia bissu yang ada di beberapa daerah bekas kerajaan bugis pernah berkuasa. Dan meskipun tidak lagi bertindak sebagai penasihat kerajaan, manusia bissu masih mendapat tempat yang dianggap sakral bagi sebagian masyarakat.
Benarkah warisan Teologi Buddha?
     Ada keterikatan yang sangan kuat antara manusia bissu dalam tradisi bugis dengan teologi buddha. dimana kata bissu sendiri sangat identik dengan sebutan biksu pada teologi buddha. Biksu dalam teologi buddha pun sangat identik dengan bissu ini. Dimana biksu adalah orang yang taat pada dharma dan menghindari pantangan sebagai bentuk ketinggian spiritualnya. pada tahap sebelum menjadi biksu pun harus dilalui dengan proses pertapaan sebagaimana yang dilakukan oleh manusia bissu dalam tradisinya.
     Walaupun biksu disini bukan seorang calabai, tapi ada sosok biksu yang dianggap kedudukannya tinggi hingga mencapai derajat sebagai buddha. Ia adalah Dewi Kwan Im. Sosok dalam teologi Buddha yang sebelumnya sebagai seorang laki-laki yang belakangan dilukis menyerupai perempuan.
Adapun makna kata Buddha dalam hal ini adalah sang guru agung, penyampai kebijakan dan ajaran serta dianggap sebagai sosok yang mengejewantahkan pesan langit dan alam. Dewi kwan Im disini dianggap sebagai sosok yang melambangkan keperkasaan dan kelembutan dalam satu wujud.
     Inilah keterkaitan yang merujuk kepada manusia bissu. Apalagi jika mengingat bahwa jejak tradisi di nusantara sebelumnya sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Buddha sebelum kedatangan misionaris kristiani dan pedagang serta ulama muslim dari timur tengah. Maka keidentikan manusia bissu dengan teologi buddha adalah benar adanya. Hanya saja dalam perkembangannya, seiring masuknya agama islam maka sangat memungkinkan manusia bissu di masa kerajaan bugis masa lalu ikut memeluk agama islam mengikuti raja-rajanya yang terlebih dahulu memeluk agama islam. Akhirnya terjadilah afiliasi dari tradisi manusia bissu sebagai warisan teologi buddha dengan ajaran islam.
     Buktinya adalah manusia bissu yang tetap eksis sampai hari ini mengakui diri menganut ajaran islam namun tetap melakukan ritual-ritual yang dianggap adalah warisan budaya hindu-buddha. Karena itu, dengan fakta ini, saya menemukan sebuah gagasan baru. Bahwa penerimaan manusia bissu yang di masa lalu sebagai penganut ajaran buddha terhadap ajaran islam adalah suatu hal yang sangat menakjubkan. 
     Pada tahap ini harus diakui bahwa manusia bissu yang memilki spiritual dan kekuatan supranatural dan dianggap mampu mengejewantahkan pesan alam dan langit tentu memiliki pertimbangan yang kuat sebelum mengizinkan (menasihati) raja untuk memeluk agama islam. Dimana manusia bissu ini pun ikut memeluk agama islam. Meskipun dalam hal ini bisa dikatakan bahwa bisa saja memungkinkan manusia bissu memeluk islam karena keterpaksaan atas titah raja yang mengumumkan islam sebagai agama formal bagi kerajaannya. Itu karena posisi manusia bissu sebagai penasihat dan memiliki spiritual serta kekuatan supranatural tinggi bisa saja menolak dan meninggalkan raja jika memang ajaran islam tak sesuai penerimaan bagi dirinya dan keyakinan spiritualnya. Maka fakta ini adalah menjadi gagasan baru yang bisa diungkap lebih jauh betapa kuatnya keterikatan suatu ajaran agama dengan ajaran agama lain sehinggan dalam perkembangan terjadi migrasi keyakinan menuju agama lain yang dianggap memiliki kebenaran lebih utuh dari sebelumnya. Semoga kita bisa berjumpa di lain waktu untuk membahas lebih terperinci mengenai gagasan ini. Namun, yang harus diakui adalah manusia bissu dalam masyarakat bugis adalah warisan dari teologi buddha di masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.