BADIK- Manusia Bissu tentu sudah banyak dibahas dan
dituliskan, baik yang berupa opini maupun suatu hasil penelitian. Namun,
meskipun banyak dibahas manusia bissu selalu punya daya tarik kuat untuk selalu
diungkap dan ditelusuri jejaknya. Bagitupun dengan saya yang sampai hari ini
masih memendam hasrat yang besar untuk mengungkap rahasia di balik manusia
bissu ini. Akhirnya dengan berbagai upaya pencarian dan perenungan, maka saya
merasa perlu untuk menuangkan gagasan saya tentang manusia bissu ini. Gagasan
ini tentu saja akan menuai tanggapan, sebagai respon atas apa yang coba fikiran
liar saya utarakan.
Manusia Bissu dalam Masyarakat Bugis
Manusia Bissu adalah seorang
laki-laki setengah perempuan (Calabai) yang diyakini memiliki kekuatan
spiritual yang tinggi sehingga bisa menyambungkan dengan roh-roh langit. Mereka
dikatakan calabai (setengah perempuan) lantaran meskipun secara biologis
adalah lelaki tapi memiliki jiwa yang menyerupai perempuan dan membuatnya
berprilaku lembut gemulai layaknya perempuan. Sehingga dari ciri-ciri ini pula
banyak yang menganggap bahwa mereka adalah waria.
Namun, tidak demikian adanya. Karena meskipun manusia
bissu ini berjiwa perempuan, mereka tak pernah mendandani diri mereka sampai
kepada bentuk meneyerupai perempuan layakmya kebanyakan waria. Lagi pula,
sebutan untuk bissu adalah untuk calabai yang diyakini memiliki
kelebihan dari segi spiritual dan kekuatan supranatural. Jadi tidak semua calabai
adalah bissu dan itu hanya ditujukan pada mereka yang memiliki syaratnya.
Siapa Manusia Bissu itu dalam tradisi Bugis?
Manusia bissu dalam tradisi
bugis pada awalnya adalah penasihat kerajaan. Hal itu disebabkan lantaran bissu
diyakini mampu membaca gejala alam dan memberi petuah yang tepat bagi raja
dalam mengambil suatu tindakan. Kepiawaian membaca alam dan memberi petuah ini
diyakini karena manusia bissu punya keterikatan kuat dengan Dewata (Tuhan,
masyarakat bugis menyebutnya). Sehingga mampu menentukan sikap apa yang tepat
diambil dalam banya hal.
Akhirnya dari kepiawaian itulah manusia bissu secara
turun temurun dipercaya menjadi penasihat kerajaan. Namun, hari ini kerajaan
bugis tak lagi ada. Meskipun demikian bissu masih tetap ada dalam suatu bentuk
komunitas manusia bissu yang ada di beberapa daerah bekas kerajaan bugis pernah
berkuasa. Dan meskipun tidak lagi bertindak sebagai penasihat kerajaan, manusia
bissu masih mendapat tempat yang dianggap sakral bagi sebagian masyarakat.
Benarkah warisan Teologi Buddha?
Ada keterikatan yang sangan
kuat antara manusia bissu dalam tradisi bugis dengan teologi buddha.
dimana kata bissu sendiri sangat identik dengan sebutan biksu pada teologi
buddha. Biksu dalam teologi buddha pun sangat identik dengan bissu ini. Dimana
biksu adalah orang yang taat pada dharma dan menghindari pantangan sebagai
bentuk ketinggian spiritualnya. pada tahap sebelum menjadi biksu pun harus
dilalui dengan proses pertapaan sebagaimana yang dilakukan oleh manusia
bissu dalam tradisinya.
Walaupun biksu disini bukan
seorang calabai, tapi ada sosok biksu yang dianggap kedudukannya tinggi
hingga mencapai derajat sebagai buddha. Ia adalah Dewi Kwan Im. Sosok dalam
teologi Buddha yang sebelumnya sebagai seorang laki-laki yang belakangan
dilukis menyerupai perempuan.
Adapun makna kata Buddha dalam hal ini adalah sang
guru agung, penyampai kebijakan dan ajaran serta dianggap sebagai sosok yang
mengejewantahkan pesan langit dan alam. Dewi kwan Im disini dianggap sebagai
sosok yang melambangkan keperkasaan dan kelembutan dalam satu wujud.
Inilah keterkaitan yang
merujuk kepada manusia bissu. Apalagi jika mengingat bahwa jejak
tradisi di nusantara sebelumnya sangat dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Buddha
sebelum kedatangan misionaris kristiani dan pedagang serta ulama muslim dari
timur tengah. Maka keidentikan manusia bissu dengan teologi buddha adalah benar
adanya. Hanya saja dalam perkembangannya, seiring masuknya agama islam maka
sangat memungkinkan manusia bissu di masa kerajaan bugis masa lalu ikut memeluk
agama islam mengikuti raja-rajanya yang terlebih dahulu memeluk agama islam.
Akhirnya terjadilah afiliasi dari tradisi manusia bissu sebagai warisan
teologi buddha dengan ajaran islam.
Buktinya adalah manusia
bissu yang tetap eksis sampai hari ini mengakui diri menganut ajaran
islam namun tetap melakukan ritual-ritual yang dianggap adalah warisan budaya
hindu-buddha. Karena itu, dengan fakta ini, saya menemukan sebuah gagasan baru.
Bahwa penerimaan manusia bissu yang di masa lalu sebagai penganut ajaran
buddha terhadap ajaran islam adalah suatu hal yang sangat menakjubkan.
Pada tahap ini harus diakui
bahwa manusia bissu yang memilki spiritual dan kekuatan supranatural dan
dianggap mampu mengejewantahkan pesan alam dan langit tentu memiliki
pertimbangan yang kuat sebelum mengizinkan (menasihati) raja untuk memeluk
agama islam. Dimana manusia bissu ini pun ikut memeluk agama islam.
Meskipun dalam hal ini bisa dikatakan bahwa bisa saja memungkinkan manusia bissu memeluk islam karena
keterpaksaan atas titah raja yang mengumumkan islam sebagai agama formal bagi
kerajaannya. Itu karena posisi manusia
bissu sebagai penasihat dan memiliki spiritual serta kekuatan supranatural
tinggi bisa saja menolak dan meninggalkan raja jika memang ajaran islam tak
sesuai penerimaan bagi dirinya dan keyakinan spiritualnya. Maka fakta ini
adalah menjadi gagasan baru yang bisa diungkap lebih jauh betapa kuatnya
keterikatan suatu ajaran agama dengan ajaran agama lain sehinggan dalam
perkembangan terjadi migrasi keyakinan menuju agama lain yang dianggap memiliki
kebenaran lebih utuh dari sebelumnya. Semoga kita bisa berjumpa di lain waktu
untuk membahas lebih terperinci mengenai gagasan ini. Namun, yang harus diakui
adalah manusia bissu dalam masyarakat
bugis adalah warisan dari teologi buddha di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar