Mendengar kata AMMATOA mungkin masih begitu asing
bagi beberapa orang dan sangat lekat istilah ini bagi beberapa orang
lainnya yang pernah datang di TANATOA, Kajang Kab. Bulukumba Sul-Sel.
TANATOA merupakan suatu kawasan yang dipercaya oleh masyarakat sebagai
Tanah yang paling tua di negari ini, dimana kawasan ini dihuni oleh
masyarakat yang memiliki adat dan kepercayaan yang mungkin dianggap
ekstrem bagi masyarakat secara umum. Sedikit penggambaran bahwa
masyarakat yang berada dikawasan ini adalah sepenuhnya masyarakat yang
menolak teknologi modern untuk berada dalam kawasan, sehingga ketika
berkunjung ke tempat ini maka kita tak akan menemui kendaraan roda dua,
roda empat ataupun lainnya yang menggunakan teknologi modern. Apalagi
dengan alat teknologi semacam TV, HP dll tidak akan kita jumpai
digunakan masyarakat. Jangankan alat elektronik tadi, listrik pun tidak
masuk dalam kawasan ini.
Memang sangat berbeda dengan kehidupan yang kita
jumpai selama ini, dimana kita tidak bisa jauh dari teknologi modern.
Tapi itulah realitas yang ada bahwa masih ada masyarakat yang begitu
konsisten untuk menjaga prinsipnya. Yah, sekumpulan masyarakat yang
selalu mengenakan pakaian hitam dalam keseharian mereka. Sekelompok
masyarakat yang dipimpin oleh seorang yang sangat mereka hormati dan
ikuti setiap apa yang menjadi keputusannya, pemimpin mereka disebut
sebagai AMMATOA.
Beberapa hari yang lalu, 1 Juli 2012 saya mendapat
kesempatan untuk berkunjung ke tempat itu. Setelah menempuh perjalanan
sekitar lebih dari 30 KM dari posisi saya di Bulukumba (Baca; Posko KKN
REGULER UNM ANGK. XXVII di Kec. Bontobahari). Setelah sampai di salah
satu tempat sekitar 3 KM sebelum masuk wilayah TANATOA, saya mengunjungi
salah satu kerabat saya yang juga merupakan kemanakan dari salah satu
Orang yang mendapat kedudukan di TANATOA. Beliaulah yang akan
mengantarkan kami memasuki kawasan TANATOA itu. Setelah perjalanan 3 KM
itu dengan mengendarai sepeda motor, tibalah kami di depan gerbang
kawasan dimana teknologi tak bisa lagi digunakan. Setelah parkir motor,
kami yang juga mengenakan pakaian serba hitam melepaskan sepatu sebelum
memasuki kawasan ini. Setelah melepaskan sepatu, kami mulai berjalan
memasuki kawasan dimana tepat di hadapan kami melihat sekelompok orang
yang berbaju hitam tengah menunggu kedatangan kami di atas rumah (atau
mungkin balai desa, balai pemerintahan kalau di daerah kita). Sebelum
sampai di rumah, saya sempat bertanya saat berjalan melintasi jalan
berbatu dengan tanah yang agak licin karena baru saja gerimis mengguyur
tempat ini. Dengan sedikit menahan sakit akibat kaki yang tak biasa
bertelanjang untuk berjalan. “kenapa mesti melepaskan sepatu? Atau
mungkin paling tepatnya kenapa masyarakat disini tak mengenakan alas
kaki?” tapi, dia hanya menjawab “nanti kita tanyakan pada AMMATOA!. Ini
membuat saya semakin penasaran. Seperti apakah gerangan sosok AMMATOA
ini?.
Setelah sampai di kaki tangga yang beranjak menuju
balai pertemuan yang sudah ada AMMATOA disana, saya masih saja
kebingungan mencari sumber air atau sekedar lap kaki untuk membersihkan
kaki yang saya anggap kotor karena telapaknya penuh dengan tanah. Tapi
salah satu orang yang ada di atas rumah itu langsung menyahut “langsung
naik saja, tidak perlu dibersihkan. Memang seperti inilah kebiasaan kami
di sini”. Dalam hati aku sedikit menggumpat, tapi kan kotor sambil
menanjak menaiki tangga. Saat menginjakkan kaki di tangga terakhir, mata
saya langsung tertuju pada mereka yang sedang duduk menunggu kedatangan
kami. Sosok yang memakai pakaian hitam dengan semacam surban dikepala
yang mereka kenal dengan nama ‘passapu’ . setelah dipersilahkan
duduk, salah satu dari rombongan memulai pembicaran dengan AMMATOA
(saya lupa; sebenarnya kami memasuki kawasan ini beserta rombongan dari
UIN Alauddin Makassar yang ingin meneliti tentang perbandingan budaya,
agama dan kepercayaan). Beliau adalah juga merupakan orang di daerah
ini, namun tidak tingal dalam kawasan TANATOA ini.
Pembicaraan dimulai dan kami diberi kesempatan
untuk bertanya. Meskipun dijawab oleh AMMATOA dengan bahasa yang masih
sulit saya mengerti, tapi saya bisa paham yang dikatakan lewat kerabat
saya tadi. Beberapa pertanyaan akan saya rangkum dalam percakapan di
bawah ini, dimana sepenuhnya pertanyaan dijawab oleh AMMATOA dalam
bahasa ‘konjo’ (bahasa daerah yang dipakai masyarakat KAJANG, dan
beberapa daerah di bulukumba yang hampir mirip dengan bahasa
‘makassar’).
“Kenapa kawasan ini disebut sebagai TANATOA?”,
Kawasan ini disebut TANA TOA (TANA; Tanah dan TOA; Tua) yang artinya
Tanah yang Tua, karena kami percaya bahwa inilah merupakan tanah yang
paling tua di daerah ini dimana dalam kesejarahan setiap masyarakat yang
ada di Gowa, Bone dan Luwu berasal dari masyarakat ini, tanah tua yang
merupakan asal mereka. Tanah ini asal nenek moyang mereka sebelum ada
masyarakat di daerah tersebut.
“Apa artinya itu AMMATOA?”, AMMATOA (AMMA; Bapak
dan TOA; Tua) artinya bapak yang dituakan. Dimana seorang AMMATOA
menjadi pemimpin bagi segenap masyarakat yang ada disini. Kekuasaannya
absolut, melingkupi kebijakan dalam bidang adat, pemerintahan dan aturan
agama. Tidak ada yang boleh menentang keputusan AMMATOA sebagai seorang
yang dituakan dan diamanahkan untuk menduduki jabatan ini.
“Sejak kapan AMMATOA memimpin dan bagaimana
kriteria untuk bisa jadi AMMATOA serta siapa yang memilih AMMATOA?”
AMMATOA adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang pantas untuk
menjadi pemimpin. Adapun dimulainya istilah AMMATOA sejak datangnya ‘Tomanurung’
(menurut kepercayaan; Tomanurung adalah cikal bakal masyarakat di Sul
Sel). AMMATOA yang petama adalah Datuk moyang yang sampai sekarang sudah
AMMATOA yang ke-22 sejak AMMATOA yang pertama. Kedudukan AMMATOA adalah
seumur hidup, artinya sampai Orang yang sudah dilantik jadi AMMATOA
meninggal dunia. Setelah itu dipilih lagi AMMATOA baru yang harus
memenuhi beberapa kriteria tertentu yang merupakan sesuatu yang gaib,
artinya mendapat petunjuk dari Turae Ra’na (baca; Tuhan) untuk
melakukan beberapa hal sebelum jadi AMMATOA. Tapi yang paling penting
adalah orang tersebut adalah orang yang jujur, tidak pernah menyakiti,
menjaga diri dari perbuatan jahat, tidak merusak alam serta senantiasa
mendekatkan diri pada “Turae ra’na”. Jadi, jabatan AMMATOA
bukan sesuatu yang didapatkan karena pemilihan secara Demokrasi yang
mungkin bisa dengan cara kotor (money Politik, intervensi dan tendensi).
Tapi harus mendapat petunjuk dari Tuhan dan memenuhi syarat yang ada,
sehingga bisa dikatakan bahwa jabatan AMMATOA adalah penunjukan oleh ‘Turae Ra’na’.
“Kenapa memasuki Kawasan ini kita harus mengenakan
pakaian warna hitam dan melepaskan alas kaki?”. Warna hitam adalah warna
yang tua, sesuai dengan tanah ini yang juga merupakan tanah yang tua.
Hitam adalah warna yang mampu melebur semua warna yang ada menyatu
menjadi warnanya. Melepaskan alas kaki berarti kita langsung bersentuhan
langsung dengan tanah, dengan begitu kita akan sadar tentang hakikat
penciptaan kita yang dari tanah. Menyentuh tanah secara langsung akan
senantiasa mengingat bahwa pada akhirnya kita pun akan kembali ke tanah
dan menjadi sesuatu yang tak lagi hidup. Artinya, mengingatkan kita
terhadap kematian yang akan dikuburkan di dalam tanah.
“Bagaimana sistem kehidupan masyarakat TANA TOA?”
Masyarakat disini hidup berdampingan dengan alam, dimana pohon dan
makhluk yang ada dalam kawasan TANA TOA ini tidak boleh disakiti ataupun
dirusak, begitupun dengan sesama manusia yang ada di daerah ini. Itu
yang menjadi pesan ataupun ketentuan yang disampaikan Turae Ra’na yang
disampaikan kepada AMMA TOA. Sehingga, kepemimpinan absolut dari AMMA
TOA semakin jelas menjadi sistem kehidupan masyarakat. Dimana setiap
pesan adat, agama dan yang berkaitan dengannya harus bersumber dari AMMA
TOA yang diyakini sebagai penyampai (penghubung) pesan dari Turae Ra’na.
“Bagaimana dengan agama dan keyakinan yang dianut masyarakat TANA TOA?” Kami disini seluruhnya menganut agama Islam (SALLANG; bahasa Konjo). Tidak ada agama lain selain Islam disini, kami percaya kepada Turae Ra’na
sebagai asal segala sesuatu dan pemberi kekuatan bagi segenap
makhluknya. Disini, masyarakat harus hidup berdasarkan agama islam.
Antara perempuan dan laki-laki tidak boleh jalan berdua jika tidak ada
ikatan pernikahan, jika kedapatan maka akan dikenakan denda (sanksi)
atas ketetapan hukum yang sudah ditetapkan AMMA TOA. Dan setiap
masyarakat harus tunduk dalam ajaran Islam. Dan kita harus tahu bahwa
setiap pembangunan rumah disini mengahadap ke kiblat (ka’bah). Itu
memperjelas bahwa semenjak awal masyarakat TANA TOA menganut ajaran
Islam.
“Bagaimanakah caranya seorang AMMA TOA menjaga
pesan-pesan (baca; petunjuk atau aturan) dari AMMA TOA sebelumnya?” Jadi
pesan-pesan itu dipelajari dari AMMA TOA sebelumnya dengan belajar.
Seperti kalian yang belajar di sekolah ataupun di kampus dalam mencari
ilmu. Setiap yang jadi AMMA TOA juga belajar mengerti dan memahami
pesan-pesan itu, jadi bukan hanya sekedar menghafal pesan-pesan itu.
Selain itu, orang yang bisa menghafal pesan-pesan itu juga harus orang
yang benar-benar mengikuti pesan-pesan itu. Saya (baca; AMMA TOA
sekarang) mempelajari pesan-pesan itu selama 30 tahun dan sampai
sekarang masih ingat semua dengan jelas. Seperti itulah pesan kami jaga
sebagai anugerah dari Turae Ra’na.
(Masih ada beberapa pertanyaan yang terlontar namun
tak sempat terekam dengan jelas olehku, namun pertanyaan yang diatas
sudah menjadi hasil representatif dari semua pertanyaan yang hadir pada
hari itu.)
Tak terasa waktu berlalu, dimana tiba saatnya untuk
rombongan kembali dari tempat ini. Dengan ucapan terimakasih kepada
segenap pemangku adat yang dengan ramah tamahnya menyambut kami dan
diakhiri dengan jabat tangan sebagai pelengkap dari kunjungan kami hari
itu.
Banyak pesan yang bisa kami ambil pelajaran dari
kunjungan kami, bahwa di TANAH TOA lah yang dipimpin oleh AMMATOA
memperlihatkan konsistensi dan komitmen manusia dalam menjaga pola-pola
kehidupan yang manusia dan menjaga keberlangsungan Alam. Dengan tunduk
sepenuhnya akan titah Tuhan untuk menjadi pemelihara bagi manusia dan
alam. Disini, banyak nilai luhur yang tetap menjadi bagian dari
masyaraklat meskipun mereka tak menjadi modern karena menolak
modernisme. Akan tetapi, disisi lain mereka mampu menunjukkan tentang
suatu kehidupan yang penuh harmonisasi. Tak ada perang, tak ada ambisi
kuasa, tak ada penghianatan, tak ada pembangkangan dan semua patuh atas
pimpinannya sebagai keyakinan menjadi wakil bagi Tuhan dalam menjaga
pesan perdamaian itu, yang dimana tak hanya sebatas perdamaian sesama
manusia melainkan perdamaian dengan Alam. Itulah salah satukarismatik
yang hendaknya dicontoh oleh bangsa ini. AMMATOA dari TANATOA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar