Kamis, 31 Maret 2016

Aku dan Secangkir Kopi

::: Aku dan Secangkir Kopi :::

Seorang teman pernah datang padaku saat berada di sebuah warung kopi, disaat saya menikmati secangkir kopi (tentu saja, ini warung kopi bukan kafe yang ada pilihan selain kopi) dan membaca sebuah buku.

"Apa yang harus saya lakukan dengan hidupku, sepertinya apa yang saya pilih untuk menikah cepat adalah kesalahan" katanya.

Saya tersenyum.
Kutatap dua matanya yang sembab, ada bulir yang akan menetes dari sana. Kuseruput kopiku, lalu menepuk pundaknya.

Kawanku, hidup itu bagaikan secangkir kopi ini. Kopi ini tidak akan mungkin bisa langsung datang ke meja ini dengan paduan rasa yang nikmat seperti ini.

Kamu tidak mungkin merasakan manis selamanya seperti apa yang selalu kita inginkan. Karwna minum secangkir gula itu akan membuatmu mual.
Kita kadang butuh pahit seperti kopi ini dengan takaran yang sama. Dan anggaplah Tuhan sebagai peraciknya. Dialah yang kemudian memadukan manisnya gula dan pahitnya kopi dalam takaran yang pas dan dapat kita nikmati dalam secangkir kopi.

Temanku yang tadinya menunduk menatap kepadaku.
"Tapi kenapa mesti kopi? Bukankah gula dengan takaran yang pas juga bisa dinikmati tanpa merasa mual?"

Aku tersenyum.
Anggap saja kopi itu adalah sebuah peringatan dari Tuhan tentang betapa manisnya hidup yang sudah diberikannya.
Bayangkan saja, bagaimanapun banyaknya gula yang ada di dalam gelas ini, tetap saja kita akan mengatakan.ya secangkir kopi. Bukan secangkir gula.

Itulah pelajaran yang coba disampaikan Tuhan, bahwa meskipun jika dibandingkn dengan banyaknya nikmat yang diberikan tentu saja manusia hanya akan melihatnya sebagai masalah (ujian) bukan sebagai nikmt yng harus disyukuri.

Tapi dengan belajar dari secangkir kopi ini maka kita akan tahu bahwa apa yang ada sebagai pemberian Tuhan segalanya adalah nikmatnya. Pahitnya kopi harus ada sebagai penyeimbang manisnya gula yang kadang bisa membuat mual. Dan takarannya pasti pas, karena diseduh dengan takaran oleh Sang Ahli.

Jadikah secangkir kopi yang bisa kita nikmati dan menyenngkan ini.
Temanku tersenyum.
Dia menepuk pundakku lalu berlalu menuju kasir.
"Aku bayarkan kopinya kawan!" sambil melambaikan tangannya.

Kulambaikan tanganku.
Kuseruput kopiku. Betapa nikmat Tuhan selalu ada bersama kita yang mau menerima ketetapnnya dan melihat kuasaNya. Seperti secangkir kopi yang kunikmati gratis waktu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.