Rabu, 30 Maret 2016

Budaya Siri na Pacce dalam Konteks Kepemimpinan


Bagaimana lagi kita bersikap? Di tengah permasalahan yang dihadapi bangsa ini sepertinya tidak henti-hentinya silih berganti datang secara beruntun mendera. Dalam kondisi masyarakat yang ‘sekarat’ ini, sepertinya kita tak memiliki harapan untuk keluar dari lingkar masalah yang menggerogoti ini. Kompleksitas masalah yang melanda masyarakat hari ini rasanya sudah cukup untuk menjadi penderitaan yang teramat menyedihkan bagi masyarakat kaum bawah, masyarakat miskin dan minoritas. Penderitaan yang harusnya juga kita rasakan bersama sebagai wujud kepedulian kita sebagai manusia, makhluk yang katanya memiliki rasa selain nalar yang dianugerahi sang pencipta. Tapi rasanya tatkala melihat kondisi masyarakat hari ini, maka bisa ditebak bahwa rasa kemanusiaan kita benar-benar telah terkikis oleh zaman yang semakin modern ini.


Berbagai masalah yang dihadapi masyarakat hari ini, sebenarnya jika kita ingin mengurainya lebih jauh maka kita akan sampai pada persoalan kepemimpinan. Yah, kepemimpinan yang tak mampu menjadi solusi terhadap permasalahan hari ini. Kemepemimpinan yang tak mampu menjawab tantangan zaman untuk memberi rasa kesejahteraan pada masyarakatnya. Kepemimpinan yang bisa dikata gagal karena tak dihuni oleh pemimpin yang layak dan memiliki karakter yang dibutuhkan masyarakat hari ini. Dimana pemandangan yang kita saksikan hari ini adalah tentang gagalnya berbagai pemimpin lembaga negara ini yang diberi wewenang, amanah dan tanggungjawab dalam menjalankan tugasnya untuk memenuhi sejahteranya masyarakat terungkap satu demi satu. Dan akhirnya, masyarakat menjadi terkhianati atas perilaku-perilaku pemimpin-pemimpin itu yang ternyata sibuk mengurusi kantongnya sendiri dan melupakan kepentingan masyarakat. 

Sebut saja berbagai kasus korupsi, suap, kolusi dan kasus lainnya menjerat pemimpin-pemimpin lembaga, institusi negara bahkan sampai pada partai yang harusnya menjadi tumpuan rakyat sebagai penyalur aspirasi terwakilkannya di parlemen negara ini. Bahkan yang masih hangat sampai hari ini adalah kasus suap yang melibatkan Mantan Ketua Mahkamah konstitusi AM, persoalan pemimpin partai yang terlibat dugaan kasus pencucian uang, institusi kepolisian yang menyalahgunakan dana simulator SIM, kasus Bank Century serta hambalang yang juga melibatkan para pemimpin negara ini serta kasus-kasus lainnya yang sementara dalam penyelidikan atas dugaannya untuk diungkap dan yang belum terungkap. Singkatnya, jika kita ingin mengumpulkan fakta dan data tentang skandal permasalahan negara ini maka akan didapati bahwa itu berasal dari perilaku dari pemimpin-pemimpin yang memegang wewenang tapi kemudian mengkhianati tanggungjawabnya. Bagaimana tidak, uang yang begitu banyak mengalir diantara mereka, diselundupkan dan dikorupsi harusnya bisa digunakan untuk mensejahterahkan masyarakat. Karena kita tentu yakin bahwa seandainya uang-uang itu dikelola dengan benar (untuk kesejahteraan rakyat) maka tentu saja masyarakat akan merasakan kesejahteraan itu.

Melihat kondisi yang sedemikian mengerihkan menjangkiti pemimpin-pemimpin bangsa ini, apakah tak lagi ada harapan untuk kita mengembalikan apa yang seharusnya dirasakan masyarakat, yakni kesejahteraan? Tentu saja jawabnya pasti ada. Tapi sejauh mana kita ingin itu terwujud maka itulah yang menjadi usaha kita. Karena perubahan tentu hanya akan lahir dari sebuah semangat yang besar dimana terealisasi dalam lingkup nyata. Akan tetapi, semua ini akan kembali kepada pemimpin yang mengambil alih wewenang dan tanggungjawab itu.

Siri’ na pacce sebagai nilai.

Sebenarnya, dalam lingkup budaya bugis-makassar ada nilai-nilai  dari kearifan lokal yang mampu mengentaskan permasalahan ini, dan saya kira dalam budaya masyarakat lainnya pun memiliki itu hanya pada batas kata yang berbeda tapi meiliki makna yang sama. Ada idiom yang tak mampu terlepas dalam budaya masyarakat bugis-makassar sebagai suatu tatanan nilai yang sehrusnya mengatur pola hidup bermasyarakat (bernegara). Idiom itu dikenal “siri na’ pacce (siri’ na pase)”. Dua kata yang tak terpisahkan satu sama lain dan telah menjadi warisan budaya kearifan lokal suku bugis-makassar. Hanya saja akhir-akhir ini pun juga tak lagi menjadi roh bagi perjalanan hidup dari masyarakat suku ini. Bahkan dalam realitanya cenderung terlupakan dan akhirnya tak terpahami sebagai sebuah nilai yang sebenarnya mampu mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera. Olehnya itu, pengamalan dari budaya siri’ na pacce ini harus kembali digalakkan sebagai sebuah nilai luhur warisan dari pendahulu yang tentunya memiliki karakter yang arif bijaksana.

Siri’ memiliki makna rasa malu, dimana rasa malu (siri’) ini bagi masyarakat bugis-makassar adalah sesuatu yang dianggap sangat sakral, sehingga orang yang dianggap melakukan tindakan mengurangi atau menghilangkan rasa malunya (mappakasiri’) akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat setempat dan dipandang tidak terhormat lagi. Sehingga dalam kehidupannya, masyarakat bugis-makassar akan senantiasa berhati-hati dalam melakukan tindakan agar tidak menjadi malu (masiri’). Sedangkan pacce (passe) adalah rasa kasih sayang (kepedulian) yang begitu tulus yang dimiliki seseorang dalam budaya bugis-makassar. Sehingga dengan itu, ia akan menjadi peduli dengan kondisi sekitarnya, memiliki rasa sepenanggungan dengan masyarakat lainnya.

Budaya siri na pacce ini bila kita kaitkan dengan kondisi pemimpin bangsa hari ini, maka tentu saja akan terwujud sebuah pemerintahan yang mampu mewujudkan kesejahteran jika pemimpin-pemimpin bangsa ini memiliki nilai-nilai dari budaya siri na pacce ini. Bagaimana tidak, jika seorang pemimpin memahami dan mengamalkan makna siri’ na pacce maka ia akan menjadi pemimpin yang berkarakter bersih, amanah dan peduli. Karena tentu ia akan masiri’ (kehilangan kehormatan) jika dalam bertindak tidak amanah dan melanggar tanggungjawab dan wewenangnya. Dan bagi masyarakat bugis-makassar, kehilangan siri’ (kehormatan) membuatnya sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat lantaran ia dinilai sebagai manusia yang rendah. Apatah lagi dengan pacce (kepedulian) yang menjadi dasarnya, sehingga ia akan senantiasa peduli masyarakat dan mencurahkan fikirnya untuk mensejahterahkan mereka tanpa ada niatan untuk mengkhianati masyarakat.

Hanya saja, rasanya semua pemaknaan kita terhadap budaya siri’ na pacce ini sesungguhnya telah tercoreng oleh mereka yang telah dikenal sebagai putra dari masyarakat sulawesi selatan (yang notabene suku bugis-makassar) dengan kasus yang melibatkannya dalam korupsi. Membuat pemaknaan kita terhadap kearifan lokal ini menjadi hambar lantaran ulah segelintir manusia. Yah, karena nila setitik hancur susu sebelanga. 

Akan tetapi, bagaimanapun kondisinya. Nilai kearifan lokal siri’ na pacce tetap menjadi solusi diantara berbagai solsusi yang bisa ada untuk memperbaiki bangsa ini, mensejahterahkan masyarakatnya. Olehnya itu, pendidikan dalam rangka pemahaman nilai-nilai kearifan lokal ini seharusnya lebih digalakkan lagi agar masyarakat bugis-makassar yang tentunya sebagai calon pemimpin kelak dapat membekas dalam dirinya sehingga ia akan akan menjadi pemimpin yang menjaga kehormatan dirinya, keluarga dan masyarakatnya dengan tidak bertindak diluar wewenang dan tanggungjawabnya. Agar memiliki rasa kepedulian yang tulus sehingga dalam proses kepemimpinannya selalu memikirkan kepentingan khalayak ramai. Dan pada akhirnya, nilai kearifan lokal ini bisa direduksi oleh masyarakat lainnya (diluar bugis-makassar) menjadi nilai dalam karakter kepemimpinan di amsa-masa akan datang yang tentunya akan mewujudkan kondisi masyarakat yang sejahtera.

Karena bagaimanapun, untuk mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan masalah yang begitu kompleks maka harus dimulai dari pemimpin yang amanah, bertindak sesuai wewenang dan tanggung jawabnya tanpa pernah menyelewengkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyat. Dan semoga, kearifan lokal, budaya siri’ na pacce menjadi suatu jawaban atas solusi yang diharapkan bangsa ini, setidaknya di sulawesi selatan. Sebagaimana Para Karaeng yang memegang budaya siri’ na pacce dan telah berhasil memimpin tanah daeng di periode-periode sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.