Senin, 04 April 2016

Sepeti Ceritamu; Karena Ara Benci Hujan

Tik... tik... tik....

Bunyi hujan sepanjang perjalanan meninggalkan halamanku ke halaman lainnya di kota ini.
Menembus derai rintihan hujan yang meringis tak lagi gerimis.

Sekali lagi... sepertinya hujan memang adalah mantra yang mampu menyeret kita pada sebuah kenangan. Seperti itu yang dialami oleh jiwaku malam ini.

Entah kenapa, hujan dan malam menjadi paduan yang tepat untuk membuat kita terseret. Seperti banjir bandang yang meluap dan menyeret tebing di sepanjang alirannya. Kecuali sebuah rumah yang tetap berdiri kokoh disana waktu itu. Rumah dimana rindu bersemayam.

Sebenarnya saya ingin menuliskan tentang seorang dan hujan. Namanya Ara, panjangnya Sahara. Dia seorang perempuan yang sedang menunggu di sebuah terminal bus di saat hujan turun. Sebagaimana hujan yang berderai, di matanya ada mendung yang tiba-tiba ikut menitih membasah di pipinya. Ara menangis. Ara tak suka hujan, ia membencinya.

Tiba-tiba datang seorang lelaki sebagaimana tiba-tiba tangisnya semakin deras. Berbeda dengan Ara yang membenci hujan sebagaimana namanya Sahara. Sebuah gurun yang teramat jarang didatangi hujan. Tapi bukan karena itu Ara membencinya. Hujan punya kenangan yang sama saat Ara harus menjadi yatim katanya pada Mikail yang datang itu.

Saya tak mampu memahami sebelumnya kenapa dengan mikail dan sahara? Mikail menyukai hujan, ia mencintainya seperti saya mencintai hujan. Tapi saya tak bisa ikut nimbrung dalam percakapan Ara dan Mikail disana. Saya hanya bisa memahami tentang dua insan yang berbeda dalam mengenang saat hujan turun. Ara yang membencinya karena kenangan pahitnya. Dan Mikail yang mencintainya karena baginya hujan adalah waktu tepat untuk berdo'a. Ia selalu berdo'a untuk rezky yang dilimpahkan sebanyak bulir hujan yang jatuh itu.

"Karena Ara benci Hujan", entah siapa penulis cerita pendek itu yang saya temukan di sudut surat kabar kenamaan waktu hujan turun di sebuah perpustakaan sekolah. Ketika itu Ara dan Mikail masih saling bercakap saat kutemukan dua mata yang menatapku di balik mata jendela di ruang itu.

Saya sadar itu tatapan penuh makna buatku. Rasanya hangat tatapan itu. Saya baru tersadar saat terdengar suara memecah keheningan ruangan perpustakaan. "Dek, masih mau tinggal? Perpus sudah mau tutup." Urai ibu penjaga perpustakaan sekolah mengisyaratkan saya segera bergegas.

Tik... tik... tik...

Di luar masih hujan. Tapi saya harus meninggalkan ruang perpustakaan, begitupun dengan Ara dan Mikail yang masih bercakap di terminal bus saat hujan turun. Entah bagaimana akhir percakapan mereka waktu itu.

Saya segera pulang di bawah guyuran hujan. Serasa di film-film india, saya sangat senang bisa berbasahan di guyur hujan. Hanya saja saya tak sempat menari dan bernyanyi. Namun, seingat saya bahwa dari sejak itu saya mulai mencintai hujan dan selalu senang bila bisa berbasahan di bawah derainya.

Tik... tik... tik... (sebenarnya ini sedikit romantik)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.