Minggu, 15 Februari 2015

Tentang SYIAH: #3 Nikah Mut'ah Dihalalkan Nabi, Hukumnya Tetap Hingga Akhir

Seseorang bertanya "Bagaimanakah dengan nikah mut'ah? Bukan syiah meyakininya halal sementara itu adalah sama dengan zina yang dilegalkan atas nama agama?"

Sungguh pernyataan ini sangat keji dan secara sadar atau tidak sadar bukan hanya menuduh penganut mazhab syiah saja tapi juga telah menuduh Nabi Muhammad Saww pernah menghalalkan perzinaan atas nama agama. Dan lebih parahnya adalah menuduh Allah Swt sebagai penetap hukum agama melakui firmannya sebagai Zat yang membolehkan zina yang nyata-nyata di ayat lain mendekatinya saja dilarang. (Nah disini mereka mengangap bahwa mut'ah sesuatu yang sangat salah dan hanya sebagai akal bulus untuk berzina atas nama agama).

Kenyataannya adalah bahwa mereka yang menuduh ini begitu sulit untuk memahami logika dengan benar. Mereka tetap meyakini Nikah Mut'ah sebagai sesuatu yang MEMANG PERNAH DIHALALKAN NABI di masanya namun hari ini mereka MENGANGGAP MUT'AH yang diyakini mazhab syiah sebagai suatu pernikahan yang melegitimasi perzinaan atas nama agama. Bukankah dua pernyataan ini saling menimpali satu sama lain.

Seakan mereka ingin menyatakan bahwa dirinya lebih hebat dari Nabi bahkan Allah Swt dimana mereka lebih tahu tentang bahaya mut'ah dari Allah Swt dan Nabi Saww sampai-sampai tega menuduh bahwa Allah Swt pada masa awal mengahalalkannya sebagai bentuk dari sulitnya mengubah kebiasaan orang-orang jahiliah. Artinya mereka menganggap bahwa aturan Tuhan nyatanya plin-plan untuk strategi penyebaran islam.

Hebatnya, seakan hari ini mereka dengan bangga menganggap dirinya menyadari bahwa mut'ah itu adalah suatu prosesi zina yang dihalalkan dan merugikan kaum perempuan atas itu.

1. Karena kontraknya yang hanya berbatas waktu.
2. Seorang bisa melakukan mut'ah sampai seribu kali dalam sehari.
3. Anak di bawah umur bisa dimut'ah.
4. Merusak nazab keturunan karena anak yang lahir tidak akan ditahu siapa ayah biologisnya (nazabnya) lantaran seorang perempuan bisa melakukan mut ah sebanyak yang ia inginkan dalam sehari.
5. Tidak adanya hukum waris antar anak yang lahir dengan bapaknya yang menyebabkan banyak anak hasil mut'ah terlantar tanpa nazab jelas.
6. Tidak mencapai hukum pernikahan untuk memperoleh keturunan karena hanya untuk memuaskan hasrat seksual.
7. Dan masih banyak tuduhan-tuduhan yang biasa dan sangat klasik selalu didengungkan.

Saya akan mencoba menjelaskan tuduhan-tuduhan keji itu.

1. Hukum nikah jelas digambarkan dalam QS. An Nisaa ayat 23-26. Dimana hukum nikah mut'ah yang diyakini mazhab syiah ada pada ayat 24 dalam surat ini. Disana dijelaskan bahwa hukum nikah mut'ah dibolehkan dan memiliki syarat ketentuan sebagaimana hukum sahnya nikah (dhaim) yang berbeda adalah adanya masa yang menyebabkan jatuhnya talak cerai atas pernikahan itu meskipun tidak diucapkan oleh pasangan mempelai. (Ini akan sangat panjang untuk dijelaskan menyangkut fiqihnya. Tapi yang jelas bahwa hukum nikah dhaim sama dengan hukum sahnya nikah mut'ah ini hanya dibedakan pada adanya batas waktu tertentu).

2. Sebagaimana dijelaskan hukum nikah tentang cerai dan adanya masa iddah bagi perempuan yang diceraikan atau terceraikan maka hal ini pula berlaku dengan nikah mut'ah yang jatuh talak cerainya saat masa kontrak habis. Maka ketika masah nikahnya (kontrak) habis maka otomatis pernikahan sudah dinyatakan cerai. Olehnya perempuan tersebut harus melakukan masa iddah sebagaimana masa iddah pernikahan pada umumnya (3 kali masa nifas/ haid bagi perempuan). Masa itu seorang perempuan yang pernah melakukan nikah mut'ah tidak bisa lagi melakukan pernikahan sebelum masa iddahnya selesai. (Jadi tuduhan bisanya dilakukan mutah sesuka hati itu tidak benar). Lagi pula nikah mut'ah hanyalah sebuah solusi dalam agama yang ditujukan pada manusia agar bisa menyalurkan hasrat seksualnya dengan benar. Sebagaimana dibolehkannya poligami (pernikahan lebih dari 1 istri) memiliki syarat dan ketentuan untuk dilakukan. Jadi tidak serta merta mengakui mut'ah halal maka itu bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. (HARUS ADA KONDISI YANG MEMBOLEHKAN ITU DILAKUKAN).

3. Untuk hal ini tentu jelas tidak benar karena mereka yang boleh melakukan itu adalah mereka yang memang tahu hukum nikah ini sebagaiman dengan nikah (dhaim) pada umumnya. Serta syaratnya memang membolehkan kondisi Orang tersebut.

4. Adanya masa iddah (penjelasan poin 2) untuk seorang perempuan yang dicerai atau tercerai untuk menjaga tidak tercampurnya nazab jikalau dalam pernikahan sebelum cerai perempuan ini ternyata mengandung anak dari mantan suaminya. Masa tiga kali nifas/ haid adalah masa yang bisa dipastikan ada atau tidaknya keturunan yang dikandung dari seorang lelaki yang bercerai. Inilah yang menjaga nazab dalam islam kenapa masa iddah harus ada.

5. Hukum waris antar anak dan ayah jelas diatur dalam islam. Bahwa setiap anak akan mewarisi orang tuanya (tidak menyangkut hukum pernikahan) karena anak tidak ikut dalam status pernikahan. Sehingga jika ada anak yang lahir dari hasil nikah mut'ah itu kewajiban ayah menafkahi anaknya dan sang anak mewarisi ayahnya dan bernazab kepadanya. Sebagaimana jika posisi anak jika terjadi cerai dalam nikah (daim) pada umumnya. Anak tetap bernazab di ayahnya dan memiliki hak waris.

6. Bukankah memang pernikahan dalam hal ini satu diantara tujuannya adalah untuk menyalurkan hasrat seksual dengan benar sesuai anjuran agama agar tidak terjadi kekacauan sosial dalam masyarakat? Jika memang menikah harus memiliki keturunan baru dikatakan sebagai pernikahan yang benar. Maka baagimanakah hukumnya pernikahan Nabi dengan beberapa istrinya yang lain? Dimana kita tahu bersama bahwa hanya pada Sy. Khadijah As sajalah Nabi memiliki keturunan (anak) yang menjaga nazab rasulullah hingga hari ini.

7. Bagi kita yang hari ini tetap mau menganggap nikah mut'ah sebagai sesuatu hal yang keliru dan dengan itu menghukumi mazhab syiah telah sesat karena tetap menghalalkan mutah. Maka tentu saja kita telah menuduh Nabi dan Allah Swt sebagai dalang dari dihalakannya nikah mut'ah ini.

Beranikah kita tetap mau menganggap nikah mut'ah sebagai legitimasi perzinaan yang akan merusak nazab dan menelantatkan perempuan dan anak hasil dari mut'ah?

Sadarlah, bahwa mengakui dibolehkannya (halalnya) nikah mut'ah bukan berarti kita bisa dengan mudah melakukannya apalagi mengharuskannya. Nikah mut'ah dalam mazhab syiah tak lebih dipahami sebagai sebuah solusi dari adanya hasrat seksual manusia sebagai makhluk biologis yang harus dipenuhi. Dan Allah Swt lewat nabinya telah memberikan aturannya sebagai sebuah solusi atas permasalahan itu jika kita mendapati kondisi yang tidak memungkinkan melakukan nikah (dhaim) secara utuh. Sebagaimana poligami dibolehkan (halal) sebagai solusi bagi mereka yang tak mampu terpenuhi hasratnya (baik biologis maupun rohani) oleh satu istrinya. Namun dengan syarat "harus berlaku adil"!.
__________________________________________________
"Wahai Nabi, janganlah engkau haramkan apa yang telah ALLAH halalkan bagimu!...." (Q.S At Thamrin ayat 1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.