Minggu, 05 Agustus 2018

Masalah Vaksin: Ikhtiar vs Kepasrahan Diri yang Tak Pasrah dan kehalalan yang Lebay

Masalah Vaksin: Ikhtiar vs Kepasrahan Diri yang Tak Pasrah dan kehalalan yang Lebay
Tiba-tiba jagad media dibuat heboh dengan soalan vaksin. Pro dan kontra menjadi hal lumrah atas apa yang terjadi ini. Tapi mengajak (memprovokasi) masyarakat lain untuk menolak dengan asumsi yang berlebihan juga tidak boleh dibiarkan. Apatah lagi kebanyakan malah menyebar hoax yang intinya ingin menyudutkan pihak Pemerintah yang sedang melakukan upaya vaksinasi (memberi daya kebal) bagi tubuh anak Indonesia untuk bisa melawan virus Measses Rubella (MR). Virus yang teramat berbahaya jika anak tak kebal terhadapnya.
Perkembangan pengetahuan yang terus diteliti oleh Para Ilmuwan Kesehatan atas kasus yang disebabkan virus MR ini intens dilakukan hingga ditemukan terobosan vaksin untuk menangkapnya dengan mengembangbiakkan dalam tubuh anak. Sekadara untuk diketahui, bahwa dalam tubuh anak-anak ada sistem imunitas yang akan aktif untuk membuat anti bodi saat ada virus dalam skala kecil (masih mampu ditangani) masuk dalam tubuhnya. Nah, rekayasa inilah yang diperlukan untuk menciptakan antibodi atas virus MR ini.
Banyak kemudian yang menuliskan seolah-olah dengan penuh kepasrahan, "biarlah Allah yang menjaga anak-anakku dari marabahaya. Dialah sebaik-baik penjaga dan penolong. Dulu kami juga tidak divaksin, tapi baik-baik saja kok.".
Rasanya saya ingin berteriak di telinga orang seperti ini. "Memangnya kau anggap Tuhan apaan?" kalau kau tidak vaksin waktu kecil dan baik-baik saja hingga hari ini ya syukur. Tapi kau harus tahu, bahwa beberpa virus berkembang belakangan dan itu rentan terhadap anak-anak. Entah karena pengaruh ekologi, pola hidup makan instan atau konspirasi, jelasnya virus itu ada dan mengincar anak-anak. Termasuk anak-anak kalian. Tuhan bilang segala penyakit pastinada obatnya, dan ilmuawan telah menemukan bahwa obat yang perlu disiapkan adalah membentuk sistem imun pada diri anak-anak melalui vaksin MR ini.
Saya beri analogi, proses vaksinasi itu adalah mempersiapkan diri bagi yang divaksin untuk kebal atas penyakit yang tidak diharapkan terjadi padanya. Misalnya, kita menggunakan sabuk pengaman atau helm saat berkendara itu semua proses vaksinasi (mempersiapkan diri) menghadapi kecelakan meskipun berharap kecelakaan itu tak pernah terjadi. Tapi jika kecrlakan tetap terjadi, setidaknya kita sudah ikhtiar (berusaha) melindungi diri sehingga bisa selamat atau meminimalkan cidera saat terjadi. Nah, begitulah proses vaksin bekerja. Kita tak tahu bahwa penyakit itu akan menyerang anak-anak kita. Kalau tida diserang yah syukur, tapi kalaupun kenyataannya diserang yah kita sudah mempersiapkannya agar bisa selamat atau paling tidak mengurangi dampaknya. Inilah yang disebut ikhtiar. Berusaha maksimal lalu pasrah. Bukan pasrah tapi tidak pernah berupaya melakukan tindakan yang jelas ada dan tersedia, gratis pula.
Lalu bagaimana dengan kehalalannya?
Ini juga menjadi lucu. Kenapa seolah-olah kita jadi mabuk sertifikat halal untuk sebuah vaksin yang tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit? Lah, selama ini makanan yang kita makan dalam kemasan itu tak semua berlabel halal dari MUI. Lalu apakah berbeda posisinya vaksin ini dengan makanan kemasan lainnya?
Kenapa misalkan saat kita beri anak-anak uang jajan, kita tanyakan apa yang mereka beli? Permen. Apakah permennya sudah ada label halalnya? Kenapa kita tak peduli itu, padahal frekuensi memakan permen bagi anak-anak kita jauh lebih besar dari vaksin yang cuman sekali. Belum lagi makanan kemasan lain. Coklat, mie instan, kerupuk dll. Apakah kita peduli label halalnya sebelum dikonsumsi anak-anak kita?
Saya ingin membidik ke telinga mereka. Coba pahami fiqih agama anda. Bukankah dibolehkan memakan daging babi (yang dianggap haram) dalam kondisi tertentu? Lalu atas dasar apa itu dibolehkan? Tentu karena melihat mamfaatnya untuk menyelamatkan jiwa anda. Sama halnya penggunaan narkoba atau zat bius lainnya. Apakah dalam kondisi normal itu dibolehkan? Tidak. Tapi ini atas dasar pengobatan maka dianggap dibolehkan. Kalaupun misalkan vaksin itu memang mengandung babi, yah bagaimana lagi jika baru itu satu-satunya vaksin yang ditemukan. Bisa jadi itulah manfaat Tuhan menciptakan babi di dunia. Bukan hanya unyuk ditunjuki di hidungnya bahwa si hewan haram.
Sekali lagi, bukankah segala penyakit ada obatnya kecuali tua? Maka itulah obat yang diciptakan orang berilmu (ilmuwan) yang dalam setiap kitab agama diapresiasi.
Terakhir, vaksin MR itu telah dijelaskan tidak mengandung babi. Sama seperti makanan kemasan lain yang juga tidak mengandung babi dan tidak bersertifikat halal. Jadi apa masalahnya? Janganlah terlalu lebay.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.