Kamis, 12 Mei 2016

Dengan Mantan Penjajah Kita Berterima, Kenapa Tidak dengan 'PKI'?


Tentang Isu 'Palu Arit' yang mencuat akhir-akhir ini. Sepertinya benar bahwa kita telah membeo atas apa yang dipelajari di bangku-bangku sekolah. Dan di saat keterbukaan untuk menerima fakta ilmiah itu semakin menampakkan kemajuan, tampaknya ada saja pihak yang selalu merasa terancam atas pemikiran marx dan lenin ini.

Rasanya sudah begitu lama kita bersembunyi di balik penulisan sejarah yang tak berimbang. Warisan cerita yang tanpa disadari memupuk dendam yang membabi buta. Tidakkah kita ingin mengurai sejarah ini dan mempersaksikan kebenaran secara terang benderang?

Apakah lebih memilih merawat dendam yang belum tentu benar ketimbang merekonsiliasi kesalahan masa lalu untuk meluruskan sejarah?

Entahlah, tapi sekeyakinanku tak pernah berubah bahwa tak mungkin si penenteng palu dan arit bisa menciduk, menculik dan membunuh para jenderal berbintang yang dikelilingi prajurit bersenjata laras panjang. Ini propaganda untuk memecah bangsa agar para kapitalis bisa seenaknya menjajakan kakinya di bumi pertiwi. Lihatlah faktanya hari ini.

[Ini hipotesa yang pernah saya tuliskan berkenaan dengan simbol palu arit yang dituduh berbahaya , G30 SPKI Siapakah Dalang Kerusuhannya ?]

Begitu lamanya dendam dipupuk dan dibumbui cerita bahwa PKI pun ikut dalam pembantaian umat islam karena mereka tak mengakui keTuhanan, mereka anti agama. Diantara banyak isu pendeskreditan, isu inilah yang paling kuat pengaruhnya. Ditambah dengan sulitnya mengakses informasi yang valid (juga karena kemalasan mencari), komunis yang disebut anti keTuhanan merebak begitu mudahnya di masyarakat. Tak hanya awam, bahkan para orang yang menganggap diri terpelajar.

Titik terang untuk adanya rekonsiliasi ini memang bukan kemustahilan, tapi juga tidaklah gampang. Selama 32 tahun lebih PKI hingga hari ini masih dianggap sebagai ancaman. Bahkan buku-buku yang berkenaan dengan simbol palu arit ini ingin dimusnahkan. Gencarnya usaha pengupayaan rekonsiliasi pun dibarengi dengan upaya penolakan dari banyak pihak yang tidak mau menempatkan perkara ini dalam sebuah diskursus ilmiah. Tampaknya mereka lebih senang untuk tetap mempercayai keyakinannya bagaimana berbahayanya PKI bagi negeri, lalu melupakan bahwa PKI pernah menjadi satu diantara Partai di negeri ini di awal kemerdekaan.

Sebagaimana kelupaan mereka atas PKI sebagai Partai yang diakui, mereka pun takkan ingin percaya bahwa sederet nama yang jadi pendiri dan pengurus PKI adalah muslim seperti mereka. Bahkan diantaranya keturunan kiyai dan pernah menjadi pengurus Serikat Islam. Bahkan mereka lupa bahwa komunisme pernah menjadi ideologi bersama ideologi lainnya yang disebut NASAKOM (Nasionalisme, Agamais dan Komunisme). Mereka lupa bahwa Bung Karno bersama Founding Father merestui itu. Bahkan itu menjadi akar dari dasar negara.

Jadi, apakah kita masih akan bersikeras menentang pengungkapan sejarah dalam sebuah fakta ilmiah untuk mengungkap cerita sesungguhnya? Masihkah penting bagi kita merawat dendam pada PKI (yang jikapun sejarah itu benar) para pelakunya sudah lama tinggalkan jazadnya. Bukankah kita hari ini malah sudah begitu amat dekat dengan rakyat Belanda, Portugis dan Jepang yang secara nyata pernah menjajah nenek moyang bangsa kita?

Lalu, jika dengan negara itu (Belanda, Portugis dan Jepang) -sebagai organisasi- kita baik-baik saja, lantas apakah masih perlu kita memelihara kebencian yang begitu besar untuk tidak mengurai fakta yang belum tuntas dengan banyak penelitian ilmiah yang menyimpulkan adanya propaganda atas PKI (menyudutkan PKI sebagai Kambing Hitam) untuk memecah belah bangsa? Jika kita masih ingin merawat kebencian pada PKI, maka seharusnya pun kita tak pernah bisa menerima kembali Belanda, Portugis dan Jepang yang sudah menjajah bangsa kita. Tapi, karena kita bisa menerima kembali negara penjajah, harusnya kita mampu menerima dan merekonsiliasi kembali sejarah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.