Sabtu, 07 November 2015

Secangkir Rindu Seperti Kopi

Sudah kubilang "jangan suguhkan kopi!", tapi tak tergubris.
Alhasil kopi yang dihadapkan pada saya harus kuseruput sebagai penghormatan atas yang membuatnya.
Saya membatin, "pasti saya akan menempuh malam yang panjang untuk tak lelap".

Kopi kuhabiskan. Jantung berdegup kencang memicu adrenalinku. Seakan ada aliran.darah yang begitu kuat untuk tetap membuat mata terjaga.

Akhhh... saya ingin cepat pulang walau kutahu bahwa ini sudah terlambat.

Masih terjaga. Segelas kopi penuh yang dihidangkan memang adalah ramuan ampuh untuk membuat penikmatnya tetap terjaga. Mungkin ini alasan biji pahit itu terkenal di seluruh dunia, di setiap negara. Khasiatnya memang luar biasa.

Lalu, bagaimana denganku yang terhukum karena menyeruput kopi itu? Jam segini saya menjadi lapar. Dan mata semakin tak bisa pejam.

Tiba-tiba rindu menyerangku. Kali ini tak biasa. Bertubi-tubi datang menggebu.

Akhirnya, saya menemukan dua alasan sebagai sebab untuk tidak bisa tidur malam ini. Satu karena kopi yang kuseruput dan lainnya adalah karena rindu yang terselimut.

Sudahlah...
Saya nikmati saja. Pertama saya obati rasa laparku dulu. Kedua kuobati rasa rinduku? tapi bagaimana? Sementata kutahu bahwa rindu adalah petaka bagi pecandunya yang tak bisa menemukan perjumpaan pada yang dirindukannya.

Saya menikmati sunyi meradang, menikmati rindu yang bergelimang.

Lain kali, saya takkan tergoda untuk menikmati kopi lagi jika tak butuh untuk terjaga.
Tapi, saya selalu butuh rindu meski kutahu ia bisa merajamku berkali-kali dengan sepi dan rasa sakit untuk menahan perjumpaan.

Biarlah... nikmati saja.
Karena kopi dan rindu adalah dua hal yang memang sulit dipisahkan.
Semakin diaduk, semakin merindu.
Kopi diaduk, malam yang larut. — bersama Salsabil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.