Aku takkan pernah melupakan sebuah pagi yang lembab di bulan agustus, di
bawah kaki gunung tempat aku bersama temanku sedang melakukan perkemahan. Suatu
hari dimana aku terbangun dan mendapati diriku berada di sebuah tempat yang tak
pernah kusangka menjadi kenyataan. Tempat dimana tepat kumenyaksikan banyak
persitiwa sejarah berlalu. Itu pula yang kemudian membuatku begitu bersemangat
melalui hari-hari berikutnya. Meskipun di hari itu teman-temanku begitu
merisaukan diriku yang tiba-tiba tak berada di lokasi perkemahan.
“Aku dimana?” Tanyaku yang masih saja
bingung.
Aku kemudian segera mengambil botol air minum yang ada di saku tas yang
merangkulku. Kuputar tutup botol itu lalu kemudian kubuka dan langsung
menuangkan isinya ke dalam saluran tenggorokanku. Pluk, pluk, pluk. Tiga
tegukan berhasil memuaskan dahaga dalam tenggorokanku yang seperti telah
melakukan perjalanan begitu jauh di hari yang panas. Aku kembalikan botol itu
ke saku tas yang sebelumnya kututup dengan rapat. Aku masih saja sangat
kebingungan, Aku terbangun tanpa ada teman-teman yang bersamanku datang ke
tempat itu. Tanpa tenda, tanpa bekas api unggung dan tanpa smartphone yang selalu menemaniku.
Rasa penasaran yang menghinggapiku, memenuhi seluruh ruang ragaku. Bisa
kurasakan memacu begitu kencang bersama dengan darah penuh oksigen yang dipompa
dari jantung bilik kiriku menuju ke ujung-ujung bagian tubuh melewati saluran
nadiku. Dengan langkah waspada aku kemudian menyusuri hutan lembab itu. Hutan
dengan rimbunan pohon yang menjulang tinggi dan besar. Aku berjalan agak pelan
karena meyadari tanah yang kupijak sepertinya masih basah dan dipenuhi lumut
yang menghijau. Tak tahu aku harus berjalan kemana, tapi aku menyadari bahwa
disana ada terdengar suara hewan yang mirip domba datang dari arah matahari
terbit pagi itu. Dengan cepat akhirnya aku sampai pada sebuah tempat dimana
benar kudapatinya sekelompok domba sedang menikmati rumput. Tak hanya itu aku
melihat sebuah kebun dipenuhi dengan pohon berbuah warna-warni. Aku tertegun.
.............
Sementara di lokasi perkemahan, di kaki gunung teman-temanku masih saja
kebingungan mencariku. Arman yang sedari tadi sibuk mencari berinisiatif
menghubungi telepon genggam milikku yang dia tahu sangat sulit dilepaskan
olehku. Arman kemudian menekan telepon genggam miliknya, mencari sebuah nama.
“Michael”..
“Ini dia” kata Arman sambil memainkan
telpon genggamnya.
Dia lalu segera menekan simbol untuk memanggil telepon genggam milikku.
Nada dan getaran tiba-tiba datang dari tas kecil hitam milik Arman, itu jelas
sangat dikenalnya. Itu nada tanda panggilan dari telepon genggam milik
temannya, Mikail. Segera digeledah tas hitam miliknya yang melekat di sisi
pinggang kirinya, akhirnya lelaki hitam itu dengan sebuah kupluk di kepalanya
sadar bahwa Michael -panggilan akrab untuk Mikail- menitipkin telepon
genggamnya semalam ketika hendak tidur setelah pesta api unggun dan bernyanyi
bersama Jose dan Marthen.
“Michael tidak bersama Hape-nya” teriak Arman kepada
teman-teman yang lain tampak panik.
Jose dan Marthen kemudian berlari menuju Arman yang berada di sisi kiri
tenda, di dekat arang hitam bekas kayu yang terbakar dari api unggun semalam.
Mereka masih sangat panik saat sebuah suara memecah keheningan mereka yang
seketika itu begitu lemas karena mengaggap kehilangan teman tanpa jejak.
“Hei, Kalian!!!”
Terdengar suara yang begitu berat dan keras melewati kabut yang masih
menyelimuti kaki gunung pagi itu. Dari suaranya, tampak bahwa itu berasal dari
lelaki paruh baya yang sangat tegas. Arman, Jose dan Marthen kelimpungan
mencari asal suara di tengah Hutan yang penuh pepohonan itu. Apalagi di kaki
gunung yang mana suara pasti terpantul oleh tebing yang ada di sekitar. Mereka
saling memandang ke sekeliling seperti pengintai di tengah laut. Dan akhirnya
Jose menangkap sebuah bayangan seorang lelaki yang melambaikan tangan di dekat
sebuah pos polisi hutan sekitar seratus meter dari arah mereka. Jose menepuk
pundak Arman dan Marthen sambil mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan
kepada temannya bahwa asal suara yang mereka cari datang dari arah lelaki yang
berada disana. Tanpa sepatah kata Jose kemudian berlari, disusul Arman dan
Marthen menuju lelaki itu.
Belum lagi Jose dan lainnya sempat bertanya, lelaki itu langsung menimpali
dengan suaranya yang berat itu.
“Ini teman kalian, khan?” sambil menunjuk ke arah
pemuda yang tampak lelap di dalam pos polisi hutan itu.
Kupluk yang dipakai, ransel yang merangkulnya, celana hitam panjang,
sepatu cokelat serta jaket hijau toska yang dipakainya tak salah lagi bahwa dia
adalah aku, Mikail.
“Yah, ini Mikail. Teman yang
kami cari”
kata Jose pada lelaki yang belum ditanyakan namanya itu.
“Dari tadi dia terus berbicara
menyebut Habil dan Qabil” kata lelaki yang merupakan petugas polisi hutan itu memulai
penjelasannya kepada Jose, Arman dan Marthen tentang bagaimana dia menemukan
sosok tubuhku berada di pos polisinya dan menyebut-nyebut kata Habil dan Qabil.
“Habil
dan Qabil, itu sepertinya anak-anak Adam yang sering dibicarakan Michael
kepadaku, tepatnya sering didebatkan tentang mereka hidup dimasa food producing,
sekaligus menyatakan bahwa mereka benar-benar merupakan manusia pertama yang
beradab, manusia yang memulai proses pembuatan gerabah dan tak lagi nomaden.
Inilah yang menurutnya menjadi pembatas antara manusia dengan keberadaan
manusia primit atau purba yang dimaksudkannya” kata Jose menjelaskan dengan
begitu bersemangat kepada Marthen dan Arman yang rupanya masih kebingungan
kenapa tubuhku berada di pos polisi hutan.
.............
Hari itu, aku datang ke kampus agak telat dari waktu yang kujanjikan pada
Jose. Setelah semua yang kami alami di perkemahan minggu lalu membuat Jose
akhirnya begitu penasaran pada apa yang menimpaku. Hari ini dia memaksaku
berjanji untuk menemaninya diskusi agar bisa memenuhi hasrat keingintahuannya
yang ternyata membuatnya begitu penasaran atas peristiwa di perkemahan itu.
Yah, memang belum ada yang sempat kujelaskan padanya tentang apa maksud ‘Habil
dan Qabil’ yang kusebut-sebut di pos polisi waktu itu.
Akhirnya kali ini aku berhasil juga menahan diri untuk tidak bercerita
langsung pada Jose tentang apa yang aku alami di perkemahan itu. Padahal, jose
tahu bahwa aku adalah orang yang sulit menahan diri untuk tidak menceritakan
banyak hal padanya. Yah, bagiku Jose memang seperti saudaraku di kota ini.
Selain karena dia satu kelas denganku di kampus kami, itu juga karena dialah
orang yang cukup sabar untuk selalu mendengar celotehanku dan sering kutemani
debat persoalan entitas Tuhan. Apalagi karena memang kami menganut agama yang
berbeda dan tentu saja dari ajaran agama kami itu membuat kami berbeda pula
memandang entitas KeTuhanan yang meskipun pada suatu titik kami sadar memiliki
kesamaan dan Tuhan itu memang benar satu. Tapi, kami lebih suka mendebatkannya
dan saling mencari celah satu sama lain untuk melemahkan tuhan masing-masing
yang kami percaya.
“Maaf Josi, aku telat datang menemuimu. Ada urusan yang harus
aku selesaikan dulu.
-Michael-”.
Begitu isi pesan yang kukirimkan padanya melalui telepon genggam milikku.
Yah, aku tahu bahwa dia juga orang yang sangat menghargai waktu. Baginya dia
harus menggunakan sebanyak-banyak waktu untuk membaca banyak literatur buku pelajaran
filsafat. Bahkan dia pernah menyatakan keinginannya untuk menggunakan waktu
senggan yang dimiliki teman-teman kami yang lain, dimana dihabiskan untuk
memainkan game online di smartphone miliknya.
“Iya, tidak apa-apa kok.
Aku sabar menunggu untuk penjelasanmu tentang Habil dan Qabil
itu.
Itu membuatku susah tidur karena memikirkannya setelah apa
yang benar-benar kau alami.
Ditunggu cepat yah!
-Jose-”
Pesan darinya masuk di telepon genggam milikku.
Hari itu kami menghabiskan waktu yang banyak untuk berdiskusi sampai
mendebatkan tentang sejarah masa lalu tentang manusia primitif purba dan teori
agama tentang Adam sebagai manusia pertama. Tapi penjelasanku tentang habil dan
Qabil sepertinya bisa diterima tentang kapan sebenarnya masa Adam dan manusia
primitif purba itu terpisahkan.
.............
Berbulan-bulan kemudian, aku dan Jose masih saja
begitu gemar berdiskusi. Tapi kali ini segalanya berubah setelah peristiwa di
agustus itu. Bagiku dan bagi Jose tentu menjadi sangat berbeda. Sepertinya aku
curang menurut Jose lantaran setiap kali ada pertanyaan yang menari di benakku
pasti aku mengalami kejadian serupa seperti yang terjadi di perkemahan waktu
itu. Dan anehnya, sepertinya itu benar-benar nyata karena aku bisa menceritakan
kembali dengan baik apa yang kualami itu. Lalu yang mengherankan bagi Jose
adalah saya bisa menyampaikan dengan tepat jawaban yang juga sebenarnya sedang
dia cari atas skripsi yang sedang dia kerjakan. Hanya saja, dia tidak bisa
mengambil perkataanku sebagai rujukan karena tentu saja akan sangat sulit
baginya mempertanggungjawabkan itu di depan dosen pengujinya.
Peristiwa-peristiwa itu terus saja berulang, dan
seperti sesuatu hal yang sangat menyenangkan bagiku lantaran setiap kali
terjadi perang dalam benakku, tiba-tiba mataku akan terlelap dan di waktu
tertentu seakan aku disedot masuk dalam suatu masa dimana sebuah peristiwa
berlangsung. Dan setiap kali kudapati diriku berada di tempat- tempat itu, rasa
haus selalu saja memenuhi tenggorokanku seakan-akan aku merasa telah menempuh
perjalanan panjang di tengah terik siang.
“Mungkinkah
aku melintasi dimensi waktu?” pikirku setiap kali aku mengalami perjalanan
penyaksian peristiwa masa lalu. Setiap kali aku mulai memikirkan sesuatu secara
mendalam aku tiba-tiba kehilangan gambaran hasil penghilatan benda yang ada di
hadapanku, lalu semua menjadi gelap, hitam pekat. Tiba-tiba aku merasakan
sebuah energi yang besar menarikku ke sebuah lubang hitam kecil, Membuatku
berputar berulang kali sampai aku benar-benar kehilangan kesadaranku. Dan saat
kesadaranku mulai kembali aku membuka mata dan tiba-tiba saja berada di
tempat-tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Di tempat itulah aku
menyaksikan peristiwa berlangsung tanpa bisa aku turut mengambil peran di
dalamnya. Sepertinya lubang hitam itu adalah lubang cacing yang sering
kubicarakan dulu. Tepatnya ‘Black hole’
yang mampu menembus dimensi waktu dan menghubungkan satu dunia dengan dunia
lainnya.
“Mungkinkah
telah terjadi lubang hitam itu?” gumamku yang masih saja meragukan kejadian
ini. Tapi satu-satunya yang membuatku yakin telah melintasi dimensi waktu
adalah catatan-catatan kecilku setiap kali aku kembali dari kunjungan tanpa
sadarku itu. Kuambil segera catatan-catatan kecilku mengenai lubang hitam. Ini
memang pernah menarik perhatianku untuk kupecahkan lantaran ini berkaitan
dengan teori relativitas Einstein. Tapi, tetap saja catatan mengenai lubang
hitam memiliki syarat terbentuk yakni dibutuhkan massa yang begitu besar.
Dimana di sekitarnya akan terjadi Event
Horizon yang dapat memyerap apapun termasuk cahaya sehingga akhirnya
menjadi ‘hitam’. Namun, yang masih sangat menggangguku adalah bagaimana mungkin
lubang hitam itu terjadi? Sementara di sekitarku tak ada massa yang begitu
besar. Lagi pula saya masih bisa kembali sadarkan diri.
“Ataukah
mungkin tekanan massa yang ada dalam benakku berlaku dalam ketegori ini dan
membuat sebuah lubang hitam itu tercipta? Sebegitu beratkah beban pikiran yang
menderaku?” pikirku. Tapi, kesaksian teman-temanku bahwa tubuhku masih saja
berada di suatu tempat meskipun kadang tak di tempat yang seharusnya. Seperti
di pos polisi hutan waktu itu. Yah, mungkin lubang hitam itu memang bisa
dibentuk dari massa yang bukan materi saja. Beban pikiran barangkali. Dan
lubang hitamnya hanya menarik jiwa-jiwa yang bertengger di tubuh-tubuh biologis
setiap makhluk. Mungkin itu bisa menjelaskan kenapa jiwa-jiwa itu meninggalkan
tubuh biologisnya sehingga dihukumi sebagai suatu kematian. Mungkin jiwanya
telah ditarik masuk lubang hitam yang menuju dimensi lain yang orang-orang
sebut sebagai alam penantian -alam kubur- sebelum ditentukan nasibnya masuk
syurga atau neraka. Tapi apakah mungkin jiwa itu bisa menembus dimensi waktu
dan kembali lagi ke tubuhnya sendiri yang sebelumnya ditempati? Ini sepertinya
menjelaskan tentang prosesi ‘mati suri’ yang dialami oleh beberapa orang belakangan
ini. Jadi apakah saya sedang mengalami prosesi mati suri berulang kali saat
beban pikiranku mencapai puncaknya?
.............
Akhirnya saya harus berpisah dengan Jose yang harus
kembali ke kampung halamannya setelah lebih cepat menyelesaikan kuliah
filsafatnya. Dia hebat menurutku dan sungguh aku merasa sangat kehilangannya.
Pikirku tentu akan sangat sulit menemukan seorang yang bisa menggantikannya
menemaniku berdiskusi, debat bahkan sekedar mendengar ocehanku yang kadang
begitu sangat membosankan karena terus saja mengulang-ulang pembahasan yang
sama jika tak kutemukan jawaban yang bisa membuatku tenang. Jose cukup sabar
menemaniku selama ini, selama hampir empat tahun. Dia menyelesaikan kuliahnya
hanya tiga tahun lebih, baginya tak bisa berlama-lama meninggalkan kampungnya.
Dia harus menjadi tulang punggung keluarga setelah beberapa bulan sebelum
wisudanya ayahnya meninggal tiba-tiba.
‘Michael,
kamu bisa menghubungiku kapanpun kamu mau! Bisa lewat email ataupun langsung
menelponku. Nomorku takkan aku ganti tanpa memberitahukanmu” katanya
sembari mencoba meyakinkanku bahwa kami masih bisa terus berdiskusi dan
melanjutkan perdebatan meskipun berjauhan. Aku masih di kota ini dan dia sudah
kembali ke kampung halamannya untuk segera mencari kerja, pekerjaan yang
mungkin tak sesuai dengan jurusan yang diambilnya saat kuliah. Tapi katanya itu
tidak penting, yang penting dia bisa kerja dan membantu ekonomi keluarganya.
Akhirnya dia memilih menjadi tenaga pengajar di sebuah sekolah yang ada di
desanya. Sekolah Dasar tepatnya. Dia sering menceritakannya.
“Aku akan
sangat kehilanganmu, Josi. Tentu tidak ada yang bisa aku repotkan lagi untuk
mendengar ceritaku atau untuk kudebati”. Kataku sambil memeluknya erat saat
kami akan berpisah.
“Masih ada
Arman dan Marthen” katanya.
“Mereka?, Sudahlah.
Kamu tahu bagaimana aku harus bersikap pada mereka. Tentu akan sangat bosan aku
bercerita kepada mereka seperti seorang pendeta atau ustadz yang sedang
memberikan ceramahnya. Mereka hanya akan jadi jamaah yang patuh dan menganggap
yang kubicarakan adalah titah Tuhan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
setelah berada di belakangku mereka tidak pernah benar-benar mendengarkan apa
yang kukatakan karena mereka sama sekali tak memahaminya dan hanya berlalu di
lorong-lorong telinganya. Seperti jamaah yang datang ke masjid-masjid atau
gereja-gerejanya yang setelah keluar dari sana tetap saja tak menjalankan
aturan yang telah disampaikan oleh ustadz atau pendetanya.”
.............
Tiga bulan berlalu, aku melewati kehidupanku tanpa bisa
bercengkrama langsung dengan Jose. Hanya berkirim email atau saling menelpon satu sama lain menanyakan kabar dan
sedikit menyinggung persoalan entitas Tuhan yang selalu menjadi kebiasaan kami
dulu. Tapi kutahu, kini Jose bukan lagi Mahsiswa sepertiku yang punya banyak
waktu untuk mendiskuikan dan berdebat tentang hal yang mungkin dianggap sepele
oleh kebanyakan orang. Benar saja, Jose pun kini mulai menganggap bahwa entitas
Tuhan itu tak perlu dibincangkan lagi, yang hanya perlu adalah mematuhi aturanya
sesuai yang ada di kitab-kitab dan literatur agama masing-masing. Dia
sepertinya memang benar-benar fokus menjadi tulang punggung keluarga lantaran
kutahu benar dia seperti apa. Dia punya desakan rasa penasaran yang besar
seperti yang aku miliki apalagi dengan entitas Tuhan itu sendiri. Entitas yang
bagi kami menyimpan begitu banyak misteri. Dimana walaupun semua yang meyakini
bahwa Dia adalah berkuasa penuh atas setiap kejadiaan. Tetap masih saja ada hal
yang mengganggu kehidupan di dunia ini.
Kuyakin Jose-pun masih bergejolak dengan
pemikirannya sendiri. Dia pasti masih terus mencari apa yang selama ini
dibincangkannya dan membuatnya tertarik. Akhirnya aku memutuskan untuk
membiarkannya fokus dulu dalam menopang hidup keluarganya. Selain jadi tenaga
pengajar, katanya diapun sering ke hutan di dekat rumahnya untuk mengumpulkan
kayu agar bisa dijualnya. Sambil sesekali dia meneliti jenis tumbuhan yang ada
disana. Suatu hari dia memintaku datang ke desanya, untuk memperlihatkan
sejumlah artefak yang menurutnya akan sangat menarik perhatianku. Karenanya aku
memulai mencari tahu tentang apa yang ingin diperlihatkannya padaku. Dan
ternyata aku benar-benar mendapatkan fakta yang mencenangkan tentang itu.
Setelah membiarkan Jose leluasa dengan kehidupan
barunya, aku masih saja terus mencari dan mengalami peristiwa kehilangan
kesadaran berkali-kali. Hanya saja, perjalanan melintasi lubang hitam itu tak
lagi kubicarakan pada orang lain. Hanya kupendam sendiri dan menuliskannya
dalam catatan-catatan kecilku. Sesekali juga banyak yang kuketik di smartphone milikku kalau-kalau aku
sedang tidak membawa catatanku dan terlintas gagasan baru di benakku.
Begitu banyak kejadian sejarah yang selama ini
mengganggu benakku akhirnya bisa kusaksikan sendiri dan melihat bagaimana itu
terjadi. Peristiwa yang menjawab setiap pertanyaan yang begitu membebaniku
setiap hari apabila tidak segera terpuaskan jawabannya. Peristiwa yang nantinya
akan aku ceritakan pada teman SMA-ku, Qanur. Tidak lama ini kami bertemu, sekitar empat
bulan setelah Jose tidak menemaniku berdebat lagi dan menjadikannya tempat
berbagi cerita. Qanur adalah teman kelasku dulu. Dia tampaknya begitu mendalami
agama sekarang. Terdapat dua titik hitam di jidatnya, selalu memakai baju gamis
dengan celana yang sedikit tergantung. Katanya Nabi melarang untuk memanjangkan
celana melebihi mata kaki. Aku suka karena dia menjadi begitu tampak mendalami
agama. Selalu mengajakku datang ke pengajiannya untuk mendengarkan ceramah dari
ustadz yang baginya sangat dihormati dan dibenarkan ucapannya.
Aku sangat senang berjumpa dengan Qanur ini. Teman
yang menggantikan Jose untuk menjadi lawan debatku. Yah, untuk Qanur sepenuhnya
kami hanya berdebat. Tak pernah dia merasa sepakat dengan apa yang kubincangkan
dan kukatakan padanya. Hanya saja, meskipun dia kadang tidak cukup sabar dan
lebih sering meninggalkanku saat tidak bisa menjawab pertanyaanku, tetap dia
akan datang kembali menemuiku. Membawakan tema yang kadang membuatku cukup
bosan karena itu-itu saja yang dibawakan. Katanya bagiku tidak perlu lagi
mendebat tentang entitas Tuhan. Biarlah itu menjadi urusan orang yang beragama
dan biarkanlah orang-orang itu berada dalam keyakinannya selama tak menggangu
pribadi kita dan agama kita. Bahkan katanya, aku ini berpikiran sesat lantaran
membincangkan Tuhan dan melecehkannya dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Qanur rupanya tak sesabar yang kupikir. Akhirnya
dia meninggalkanku setelah kujejali dengan begitu banyak pertanyaan yang tidak
bisa dijawabnya dengan memuaskanku. Sementara aku selalu saja bisa
memberikannya jawaban yang membuatnya merasa tertegun dengan apa yang aku
sampaikan padanya atas pertanyaan yang katanya sangat menggangu pikirannya,
namun tetap tak berani disampaikan pada ustadznya. Yah, aku menjawab pertanyaan
itu dan kujelaskan peristiwanya lebih detail dari apa yang diharapkannya. Itu
karena terkadang pertanyaannya menggiringku masuk ke dalam lubang hitam hingga
kutemukan jawaban untuknya.
“Aku
membawakanmu jawaban dari masa lalu. Aku bisa menemukannya lewat perenunganku.
Setelah itu aku akan larut dalam sebuah poros energi yang cukup kuat. Lalu
sekelilingku hanya hitam dan aku tak sadarkan diri. Satu-satunya yang kurasakan
adalah aku berputar dalam kondisi yang begitu gelap dan pekat. Lalu pada
akhirnya aku terbangun pada suatu tempat yang dimana aku saksikan peristiwa
yang kau tanyakan berlangsung.” Aku mencoba menjelaskan padanya tentang
lubang hitam itu, hanya saja dia tampak tak mengerti dan malah kebingungan.
Satu-satunya yang dia mau pahami adalah apa yang dikatakan oleh orang yang
selalu disebutnya ustadz itu atau rujukan kitab-kitab yang disebutkan
ustadznya.
Kata-kataku sepertinya memecah
kesadarannya, perlahan kulihat dia mulai mengangguk sambil sesekali memegang
kepalanya dan melepaskan penutup kepala yang selalu dikenakannya ketika berada
di luar rumahnya.
“Ada apa?” kataku.
Dia hanya menggelengkan kepala mengisyaratkan kalau
dia baik-baik saja. Hanya saja tetap jelas bahwa dia kini mulai kebingungan
dengan doktrin-doktrin yang didapatinya sebelumnya. Saya masih saja terus
menjejalinya dengan banyak pertanyaan. Dia hanya mencoba berdalih dengan bicara
bahwa itu bukan kewenangan manusia untuk menjawabnya. Sambil membawakan
riwayat-riwayat dan menyebutkan nama-nama dalam pengejaan bahasa arab kepadaku.
Aku tak terlalu mengenal nama-nama yang dia maksud. Jadi kubiarkan saja
mulutnya menyebut nama-nama itu tanpa bisa menimpalinya. Tapi aku mencatat
baik-baik nama-nama yang disebutkannya.
Sebenarnya Qanur mulai mencoba mengikuti alur
pikirku untuk menjadikan setiap apa yang diyakini sebelumnya sebagai bentuk
kecurigaan. Mencurigai bahwa itu adalah sebuah doktrin agama yang menjadikan
manusia terbelenggu menurutku. Manusia terbelenggu lantaran harus mengikuti
perintah yang katanya dari Tuhan meskipun mereka tak tahu maksud dan tujuannya.
Aku bertanya pada Qanur “Apakah tujuan Tuhan menciptakan manusia yang mana sebelumnya telah
menciptakan Dinosaurus lalu membinasakannya? Kenapa Tuhan tidak memberikan
kemampuan pikir kepada Dinosaurus untuk mengurus Bumi ini yang mana postur
tubuh mereka benar-benar lebih besar dari manusia?”
Qanur hanya terdiam kembali. Dia tak berani menatap
mataku. Dia hanya selalu mengulang untuk menhgajakku datang ke pengajiannya dan
mencoba meyakinkanku bahwa itu akan dijawab oleh orang yang jadi ustadznya. Aku
tersenyum dan mengabaikannya. Sepertinya aku mulai meremehkan ustadz yang
dimaksudnya itu. Qanur tahu aku meremehkan dan sepertinya dia tersinggung.
Meskipun aku berulang kali meminta maaf atas
sikapku itu. Tapi sepertinya anggapan bahwa aku telah mengalami kekacauan
beragama lantaran menanyakan beberapa hal yang menurutnya tak bisa ditanyakan
karena hanya melecehkan Tuhan membuatnya benar-benar tak tahan lagi dan tak
pernah memunculkan diri lagi di hadapanku.
Bahkan kontak Qanur sangat sulit kuhubungi lagi,
meskipun berkali-kali panggilanku coba kutembuskan pada telepon genggam
miliknya. Akhirnya aku memilih untuk membiarkannya saja, meskipun ada beban
melihat Qanur begitu sulit menerima perbedaan pandangan orang lain dengannya.
Dia sepertinya amat terpesona dengan oran yang disebutnya ustadz sehingga tak
berani menanyakan apa yang mengganggu pikirannya.
Itulah Qanur yang beberapa waktu kemudian malahan
datang kepadaku untuk mengajakku berdikusi tentang apa yang disaksikannya
dengan keluarganya yang ‘bissu’. Berawal
dari keluarganya, Qanur nyatanya menjadi temanku yang bisa menggantikan Jose
sebagai tempatku membagi beban pikiran tentang entitas Tuhan itu. Qanur kini
bisa memahamiku yang selalu tampak dahaga sebelum meneguk anggur pengetahuan
sebagai jawaban atas pertanyaanku yang mendesak masuk di kepalaku.
Dia kini meminta tinggal bersamaku karena ingin
lebih intens berdiskusi denganku. Sepertinya
sebuah pertanyaanku di pertemuan terakhir kami yang dulu mengenai benaknya dan
membuatnya berpikir lebih jauh tentang entitas Tuhan itu. Bukan Tuhan yang dia
pikir selama ini yang begitu ekslusif dan hanya dimiliki oleh golongan umat
tertentu.
.............
Aku menelepon Jose, menceritakan tentang Qanur yang
bisa mengganti posisinya untuk mendengarkan ceritaku dan berdebat denganku.
Jose senang mendengarnya dan menyatakan kalau dia akan sangat senang jika
berkesempatan bertemu Qanur. Aku menjajikannya bahwa akan datang ke kampumg
halamannya bersama Qanur di akhir tahun ini. Dia gembira dan berjanji
menyiapkan segala yang kami butuhkan disana nantinya.
“Aku akan menyiapkan perjalanan wisata
untukmu jika benar sudah sampai disini.
Aku akan mengambil cutiku dari sekolah
supaya bisa menemanimu disini.
-Jose-“
Isi pesan yang dikirimkan Jose sesaat telepon
kumatikan.
Aku tak membalasnya. Ternyata telepon genggamku tak
bisa mengirim pesan lantaran pulsa yang kumiliki habis setelah kupakai menelpon
Jose. Jelasnya, itu membuat kami semangat untuk berkunjung ke kampung
halamannya nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar