Sabtu, 13 Desember 2014

Tuhan Telah Diperbanyak (God is One; Understanding of Different Religions only Distortion of Faith)


PROLOG
Aku takkan pernah melupakan sebuah pagi yang lembab di bulan agustus, di bawah kaki gunung tempat aku bersama temanku sedang melakukan perkemahan. Suatu hari dimana aku terbangun dan mendapati diriku berada di sebuah tempat yang tak pernah kusangka menjadi kenyataan. Tempat dimana tepat kumenyaksikan banyak persitiwa sejarah berlalu. Itu pula yang kemudian membuatku begitu bersemangat melalui hari-hari berikutnya. Meskipun di hari itu teman-temanku begitu merisaukan diriku yang tiba-tiba tak berada di lokasi perkemahan.
“Aku dimana?” Tanyaku yang masih saja bingung.
Aku kemudian segera mengambil botol air minum yang ada di saku tas yang merangkulku. Kuputar tutup botol itu lalu kemudian kubuka dan langsung menuangkan isinya ke dalam saluran tenggorokanku. Pluk, pluk, pluk. Tiga tegukan berhasil memuaskan dahaga dalam tenggorokanku yang seperti telah melakukan perjalanan begitu jauh di hari yang panas. Aku kembalikan botol itu ke saku tas yang sebelumnya kututup dengan rapat. Aku masih saja sangat kebingungan, Aku terbangun tanpa ada teman-teman yang bersamanku datang ke tempat itu. Tanpa tenda, tanpa bekas api unggung dan tanpa smartphone yang selalu menemaniku.

Rasa penasaran yang menghinggapiku, memenuhi seluruh ruang ragaku. Bisa kurasakan memacu begitu kencang bersama dengan darah penuh oksigen yang dipompa dari jantung bilik kiriku menuju ke ujung-ujung bagian tubuh melewati saluran nadiku. Dengan langkah waspada aku kemudian menyusuri hutan lembab itu. Hutan dengan rimbunan pohon yang menjulang tinggi dan besar. Aku berjalan agak pelan karena meyadari tanah yang kupijak sepertinya masih basah dan dipenuhi lumut yang menghijau. Tak tahu aku harus berjalan kemana, tapi aku menyadari bahwa disana ada terdengar suara hewan yang mirip domba datang dari arah matahari terbit pagi itu. Dengan cepat akhirnya aku sampai pada sebuah tempat dimana benar kudapatinya sekelompok domba sedang menikmati rumput. Tak hanya itu aku melihat sebuah kebun dipenuhi dengan pohon berbuah warna-warni. Aku tertegun.
.............
Sementara di lokasi perkemahan, di kaki gunung teman-temanku masih saja kebingungan mencariku. Arman yang sedari tadi sibuk mencari berinisiatif menghubungi telepon genggam milikku yang dia tahu sangat sulit dilepaskan olehku. Arman kemudian menekan telepon genggam miliknya, mencari sebuah nama.
“Michael”..
“Ini dia” kata Arman sambil memainkan telpon genggamnya.
Dia lalu segera menekan simbol untuk memanggil telepon genggam milikku. Nada dan getaran tiba-tiba datang dari tas kecil hitam milik Arman, itu jelas sangat dikenalnya. Itu nada tanda panggilan dari telepon genggam milik temannya, Mikail. Segera digeledah tas hitam miliknya yang melekat di sisi pinggang kirinya, akhirnya lelaki hitam itu dengan sebuah kupluk di kepalanya sadar bahwa Michael -panggilan akrab untuk Mikail- menitipkin telepon genggamnya semalam ketika hendak tidur setelah pesta api unggun dan bernyanyi bersama Jose dan Marthen.
“Michael tidak bersama Hape-nya” teriak Arman kepada teman-teman yang lain tampak panik.
Jose dan Marthen kemudian berlari menuju Arman yang berada di sisi kiri tenda, di dekat arang hitam bekas kayu yang terbakar dari api unggun semalam. Mereka masih sangat panik saat sebuah suara memecah keheningan mereka yang seketika itu begitu lemas karena mengaggap kehilangan teman tanpa jejak.
“Hei, Kalian!!!”
Terdengar suara yang begitu berat dan keras melewati kabut yang masih menyelimuti kaki gunung pagi itu. Dari suaranya, tampak bahwa itu berasal dari lelaki paruh baya yang sangat tegas. Arman, Jose dan Marthen kelimpungan mencari asal suara di tengah Hutan yang penuh pepohonan itu. Apalagi di kaki gunung yang mana suara pasti terpantul oleh tebing yang ada di sekitar. Mereka saling memandang ke sekeliling seperti pengintai di tengah laut. Dan akhirnya Jose menangkap sebuah bayangan seorang lelaki yang melambaikan tangan di dekat sebuah pos polisi hutan sekitar seratus meter dari arah mereka. Jose menepuk pundak Arman dan Marthen sambil mengacungkan jari telunjuknya mengisyaratkan kepada temannya bahwa asal suara yang mereka cari datang dari arah lelaki yang berada disana. Tanpa sepatah kata Jose kemudian berlari, disusul Arman dan Marthen menuju lelaki itu.
Belum lagi Jose dan lainnya sempat bertanya, lelaki itu langsung menimpali dengan suaranya yang berat itu.
“Ini teman kalian, khan?” sambil menunjuk ke arah pemuda yang tampak lelap di dalam pos polisi hutan itu.
Kupluk yang dipakai, ransel yang merangkulnya, celana hitam panjang, sepatu cokelat serta jaket hijau toska yang dipakainya tak salah lagi bahwa dia adalah aku, Mikail.
“Yah, ini Mikail. Teman yang kami cari” kata Jose pada lelaki yang belum ditanyakan namanya itu.
“Dari tadi dia terus berbicara menyebut Habil dan Qabil” kata lelaki yang merupakan petugas polisi hutan itu memulai penjelasannya kepada Jose, Arman dan Marthen tentang bagaimana dia menemukan sosok tubuhku berada di pos polisinya dan menyebut-nyebut kata Habil dan Qabil.
 “Habil dan Qabil, itu sepertinya anak-anak Adam yang sering dibicarakan Michael kepadaku, tepatnya sering didebatkan tentang mereka hidup dimasa food producing, sekaligus menyatakan bahwa mereka benar-benar merupakan manusia pertama yang beradab, manusia yang memulai proses pembuatan gerabah dan tak lagi nomaden. Inilah yang menurutnya menjadi pembatas antara manusia dengan keberadaan manusia primit atau purba yang dimaksudkannya” kata Jose menjelaskan dengan begitu bersemangat kepada Marthen dan Arman yang rupanya masih kebingungan kenapa tubuhku berada di pos polisi hutan.
.............
Hari itu, aku datang ke kampus agak telat dari waktu yang kujanjikan pada Jose. Setelah semua yang kami alami di perkemahan minggu lalu membuat Jose akhirnya begitu penasaran pada apa yang menimpaku. Hari ini dia memaksaku berjanji untuk menemaninya diskusi agar bisa memenuhi hasrat keingintahuannya yang ternyata membuatnya begitu penasaran atas peristiwa di perkemahan itu. Yah, memang belum ada yang sempat kujelaskan padanya tentang apa maksud ‘Habil dan Qabil’ yang kusebut-sebut di pos polisi waktu itu.
Akhirnya kali ini aku berhasil juga menahan diri untuk tidak bercerita langsung pada Jose tentang apa yang aku alami di perkemahan itu. Padahal, jose tahu bahwa aku adalah orang yang sulit menahan diri untuk tidak menceritakan banyak hal padanya. Yah, bagiku Jose memang seperti saudaraku di kota ini. Selain karena dia satu kelas denganku di kampus kami, itu juga karena dialah orang yang cukup sabar untuk selalu mendengar celotehanku dan sering kutemani debat persoalan entitas Tuhan. Apalagi karena memang kami menganut agama yang berbeda dan tentu saja dari ajaran agama kami itu membuat kami berbeda pula memandang entitas KeTuhanan yang meskipun pada suatu titik kami sadar memiliki kesamaan dan Tuhan itu memang benar satu. Tapi, kami lebih suka mendebatkannya dan saling mencari celah satu sama lain untuk melemahkan tuhan masing-masing yang kami percaya.
“Maaf Josi, aku telat datang menemuimu. Ada urusan yang harus aku selesaikan dulu.
-Michael-”.
Begitu isi pesan yang kukirimkan padanya melalui telepon genggam milikku. Yah, aku tahu bahwa dia juga orang yang sangat menghargai waktu. Baginya dia harus menggunakan sebanyak-banyak waktu untuk membaca banyak literatur buku pelajaran filsafat. Bahkan dia pernah menyatakan keinginannya untuk menggunakan waktu senggan yang dimiliki teman-teman kami yang lain, dimana dihabiskan untuk memainkan game online di smartphone miliknya.
“Iya, tidak apa-apa kok.
Aku sabar menunggu untuk penjelasanmu tentang Habil dan Qabil itu.
Itu membuatku susah tidur karena memikirkannya setelah apa yang benar-benar kau alami.
Ditunggu cepat yah!
-Jose-”
Pesan darinya masuk di telepon genggam milikku.
Hari itu kami menghabiskan waktu yang banyak untuk berdiskusi sampai mendebatkan tentang sejarah masa lalu tentang manusia primitif purba dan teori agama tentang Adam sebagai manusia pertama. Tapi penjelasanku tentang habil dan Qabil sepertinya bisa diterima tentang kapan sebenarnya masa Adam dan manusia primitif purba itu terpisahkan.
.............
Berbulan-bulan kemudian, aku dan Jose masih saja begitu gemar berdiskusi. Tapi kali ini segalanya berubah setelah peristiwa di agustus itu. Bagiku dan bagi Jose tentu menjadi sangat berbeda. Sepertinya aku curang menurut Jose lantaran setiap kali ada pertanyaan yang menari di benakku pasti aku mengalami kejadian serupa seperti yang terjadi di perkemahan waktu itu. Dan anehnya, sepertinya itu benar-benar nyata karena aku bisa menceritakan kembali dengan baik apa yang kualami itu. Lalu yang mengherankan bagi Jose adalah saya bisa menyampaikan dengan tepat jawaban yang juga sebenarnya sedang dia cari atas skripsi yang sedang dia kerjakan. Hanya saja, dia tidak bisa mengambil perkataanku sebagai rujukan karena tentu saja akan sangat sulit baginya mempertanggungjawabkan itu di depan dosen pengujinya.
Peristiwa-peristiwa itu terus saja berulang, dan seperti sesuatu hal yang sangat menyenangkan bagiku lantaran setiap kali terjadi perang dalam benakku, tiba-tiba mataku akan terlelap dan di waktu tertentu seakan aku disedot masuk dalam suatu masa dimana sebuah peristiwa berlangsung. Dan setiap kali kudapati diriku berada di tempat- tempat itu, rasa haus selalu saja memenuhi tenggorokanku seakan-akan aku merasa telah menempuh perjalanan panjang di tengah terik siang.
“Mungkinkah aku melintasi dimensi waktu?” pikirku setiap kali aku mengalami perjalanan penyaksian peristiwa masa lalu. Setiap kali aku mulai memikirkan sesuatu secara mendalam aku tiba-tiba kehilangan gambaran hasil penghilatan benda yang ada di hadapanku, lalu semua menjadi gelap, hitam pekat. Tiba-tiba aku merasakan sebuah energi yang besar menarikku ke sebuah lubang hitam kecil, Membuatku berputar berulang kali sampai aku benar-benar kehilangan kesadaranku. Dan saat kesadaranku mulai kembali aku membuka mata dan tiba-tiba saja berada di tempat-tempat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Di tempat itulah aku menyaksikan peristiwa berlangsung tanpa bisa aku turut mengambil peran di dalamnya. Sepertinya lubang hitam itu adalah lubang cacing yang sering kubicarakan dulu. Tepatnya ‘Black hole’ yang mampu menembus dimensi waktu dan menghubungkan satu dunia dengan dunia lainnya.
“Mungkinkah telah terjadi lubang hitam itu?” gumamku yang masih saja meragukan kejadian ini. Tapi satu-satunya yang membuatku yakin telah melintasi dimensi waktu adalah catatan-catatan kecilku setiap kali aku kembali dari kunjungan tanpa sadarku itu. Kuambil segera catatan-catatan kecilku mengenai lubang hitam. Ini memang pernah menarik perhatianku untuk kupecahkan lantaran ini berkaitan dengan teori relativitas Einstein. Tapi, tetap saja catatan mengenai lubang hitam memiliki syarat terbentuk yakni dibutuhkan massa yang begitu besar. Dimana di sekitarnya akan terjadi Event Horizon yang dapat memyerap apapun termasuk cahaya sehingga akhirnya menjadi ‘hitam’. Namun, yang masih sangat menggangguku adalah bagaimana mungkin lubang hitam itu terjadi? Sementara di sekitarku tak ada massa yang begitu besar. Lagi pula saya masih bisa kembali sadarkan diri.
“Ataukah mungkin tekanan massa yang ada dalam benakku berlaku dalam ketegori ini dan membuat sebuah lubang hitam itu tercipta? Sebegitu beratkah beban pikiran yang menderaku?” pikirku. Tapi, kesaksian teman-temanku bahwa tubuhku masih saja berada di suatu tempat meskipun kadang tak di tempat yang seharusnya. Seperti di pos polisi hutan waktu itu. Yah, mungkin lubang hitam itu memang bisa dibentuk dari massa yang bukan materi saja. Beban pikiran barangkali. Dan lubang hitamnya hanya menarik jiwa-jiwa yang bertengger di tubuh-tubuh biologis setiap makhluk. Mungkin itu bisa menjelaskan kenapa jiwa-jiwa itu meninggalkan tubuh biologisnya sehingga dihukumi sebagai suatu kematian. Mungkin jiwanya telah ditarik masuk lubang hitam yang menuju dimensi lain yang orang-orang sebut sebagai alam penantian -alam kubur- sebelum ditentukan nasibnya masuk syurga atau neraka. Tapi apakah mungkin jiwa itu bisa menembus dimensi waktu dan kembali lagi ke tubuhnya sendiri yang sebelumnya ditempati? Ini sepertinya menjelaskan tentang prosesi ‘mati suri’ yang dialami oleh beberapa orang belakangan ini. Jadi apakah saya sedang mengalami prosesi mati suri berulang kali saat beban pikiranku mencapai puncaknya?
.............
Akhirnya saya harus berpisah dengan Jose yang harus kembali ke kampung halamannya setelah lebih cepat menyelesaikan kuliah filsafatnya. Dia hebat menurutku dan sungguh aku merasa sangat kehilangannya. Pikirku tentu akan sangat sulit menemukan seorang yang bisa menggantikannya menemaniku berdiskusi, debat bahkan sekedar mendengar ocehanku yang kadang begitu sangat membosankan karena terus saja mengulang-ulang pembahasan yang sama jika tak kutemukan jawaban yang bisa membuatku tenang. Jose cukup sabar menemaniku selama ini, selama hampir empat tahun. Dia menyelesaikan kuliahnya hanya tiga tahun lebih, baginya tak bisa berlama-lama meninggalkan kampungnya. Dia harus menjadi tulang punggung keluarga setelah beberapa bulan sebelum wisudanya ayahnya meninggal tiba-tiba.
‘Michael, kamu bisa menghubungiku kapanpun kamu mau! Bisa lewat email ataupun langsung menelponku. Nomorku takkan aku ganti tanpa memberitahukanmu” katanya sembari mencoba meyakinkanku bahwa kami masih bisa terus berdiskusi dan melanjutkan perdebatan meskipun berjauhan. Aku masih di kota ini dan dia sudah kembali ke kampung halamannya untuk segera mencari kerja, pekerjaan yang mungkin tak sesuai dengan jurusan yang diambilnya saat kuliah. Tapi katanya itu tidak penting, yang penting dia bisa kerja dan membantu ekonomi keluarganya. Akhirnya dia memilih menjadi tenaga pengajar di sebuah sekolah yang ada di desanya. Sekolah Dasar tepatnya. Dia sering menceritakannya.
“Aku akan sangat kehilanganmu, Josi. Tentu tidak ada yang bisa aku repotkan lagi untuk mendengar ceritaku atau untuk kudebati”. Kataku sambil memeluknya erat saat kami akan berpisah.
“Masih ada Arman dan Marthen” katanya.
“Mereka?, Sudahlah. Kamu tahu bagaimana aku harus bersikap pada mereka. Tentu akan sangat bosan aku bercerita kepada mereka seperti seorang pendeta atau ustadz yang sedang memberikan ceramahnya. Mereka hanya akan jadi jamaah yang patuh dan menganggap yang kubicarakan adalah titah Tuhan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan setelah berada di belakangku mereka tidak pernah benar-benar mendengarkan apa yang kukatakan karena mereka sama sekali tak memahaminya dan hanya berlalu di lorong-lorong telinganya. Seperti jamaah yang datang ke masjid-masjid atau gereja-gerejanya yang setelah keluar dari sana tetap saja tak menjalankan aturan yang telah disampaikan oleh ustadz atau pendetanya.”
.............
Tiga bulan berlalu, aku melewati kehidupanku tanpa bisa bercengkrama langsung dengan Jose. Hanya berkirim email atau saling menelpon satu sama lain menanyakan kabar dan sedikit menyinggung persoalan entitas Tuhan yang selalu menjadi kebiasaan kami dulu. Tapi kutahu, kini Jose bukan lagi Mahsiswa sepertiku yang punya banyak waktu untuk mendiskuikan dan berdebat tentang hal yang mungkin dianggap sepele oleh kebanyakan orang. Benar saja, Jose pun kini mulai menganggap bahwa entitas Tuhan itu tak perlu dibincangkan lagi, yang hanya perlu adalah mematuhi aturanya sesuai yang ada di kitab-kitab dan literatur agama masing-masing. Dia sepertinya memang benar-benar fokus menjadi tulang punggung keluarga lantaran kutahu benar dia seperti apa. Dia punya desakan rasa penasaran yang besar seperti yang aku miliki apalagi dengan entitas Tuhan itu sendiri. Entitas yang bagi kami menyimpan begitu banyak misteri. Dimana walaupun semua yang meyakini bahwa Dia adalah berkuasa penuh atas setiap kejadiaan. Tetap masih saja ada hal yang mengganggu kehidupan di dunia ini.
Kuyakin Jose-pun masih bergejolak dengan pemikirannya sendiri. Dia pasti masih terus mencari apa yang selama ini dibincangkannya dan membuatnya tertarik. Akhirnya aku memutuskan untuk membiarkannya fokus dulu dalam menopang hidup keluarganya. Selain jadi tenaga pengajar, katanya diapun sering ke hutan di dekat rumahnya untuk mengumpulkan kayu agar bisa dijualnya. Sambil sesekali dia meneliti jenis tumbuhan yang ada disana. Suatu hari dia memintaku datang ke desanya, untuk memperlihatkan sejumlah artefak yang menurutnya akan sangat menarik perhatianku. Karenanya aku memulai mencari tahu tentang apa yang ingin diperlihatkannya padaku. Dan ternyata aku benar-benar mendapatkan fakta yang mencenangkan tentang itu.
Setelah membiarkan Jose leluasa dengan kehidupan barunya, aku masih saja terus mencari dan mengalami peristiwa kehilangan kesadaran berkali-kali. Hanya saja, perjalanan melintasi lubang hitam itu tak lagi kubicarakan pada orang lain. Hanya kupendam sendiri dan menuliskannya dalam catatan-catatan kecilku. Sesekali juga banyak yang kuketik di smartphone milikku kalau-kalau aku sedang tidak membawa catatanku dan terlintas gagasan baru di benakku.
Begitu banyak kejadian sejarah yang selama ini mengganggu benakku akhirnya bisa kusaksikan sendiri dan melihat bagaimana itu terjadi. Peristiwa yang menjawab setiap pertanyaan yang begitu membebaniku setiap hari apabila tidak segera terpuaskan jawabannya. Peristiwa yang nantinya akan aku ceritakan pada teman SMA-ku, Qanur.  Tidak lama ini kami bertemu, sekitar empat bulan setelah Jose tidak menemaniku berdebat lagi dan menjadikannya tempat berbagi cerita. Qanur adalah teman kelasku dulu. Dia tampaknya begitu mendalami agama sekarang. Terdapat dua titik hitam di jidatnya, selalu memakai baju gamis dengan celana yang sedikit tergantung. Katanya Nabi melarang untuk memanjangkan celana melebihi mata kaki. Aku suka karena dia menjadi begitu tampak mendalami agama. Selalu mengajakku datang ke pengajiannya untuk mendengarkan ceramah dari ustadz yang baginya sangat dihormati dan dibenarkan ucapannya.
Aku sangat senang berjumpa dengan Qanur ini. Teman yang menggantikan Jose untuk menjadi lawan debatku. Yah, untuk Qanur sepenuhnya kami hanya berdebat. Tak pernah dia merasa sepakat dengan apa yang kubincangkan dan kukatakan padanya. Hanya saja, meskipun dia kadang tidak cukup sabar dan lebih sering meninggalkanku saat tidak bisa menjawab pertanyaanku, tetap dia akan datang kembali menemuiku. Membawakan tema yang kadang membuatku cukup bosan karena itu-itu saja yang dibawakan. Katanya bagiku tidak perlu lagi mendebat tentang entitas Tuhan. Biarlah itu menjadi urusan orang yang beragama dan biarkanlah orang-orang itu berada dalam keyakinannya selama tak menggangu pribadi kita dan agama kita. Bahkan katanya, aku ini berpikiran sesat lantaran membincangkan Tuhan dan melecehkannya dengan pertanyaan-pertanyaanku.
Qanur rupanya tak sesabar yang kupikir. Akhirnya dia meninggalkanku setelah kujejali dengan begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya dengan memuaskanku. Sementara aku selalu saja bisa memberikannya jawaban yang membuatnya merasa tertegun dengan apa yang aku sampaikan padanya atas pertanyaan yang katanya sangat menggangu pikirannya, namun tetap tak berani disampaikan pada ustadznya. Yah, aku menjawab pertanyaan itu dan kujelaskan peristiwanya lebih detail dari apa yang diharapkannya. Itu karena terkadang pertanyaannya menggiringku masuk ke dalam lubang hitam hingga kutemukan jawaban untuknya.
“Aku membawakanmu jawaban dari masa lalu. Aku bisa menemukannya lewat perenunganku. Setelah itu aku akan larut dalam sebuah poros energi yang cukup kuat. Lalu sekelilingku hanya hitam dan aku tak sadarkan diri. Satu-satunya yang kurasakan adalah aku berputar dalam kondisi yang begitu gelap dan pekat. Lalu pada akhirnya aku terbangun pada suatu tempat yang dimana aku saksikan peristiwa yang kau tanyakan berlangsung.” Aku mencoba menjelaskan padanya tentang lubang hitam itu, hanya saja dia tampak tak mengerti dan malah kebingungan. Satu-satunya yang dia mau pahami adalah apa yang dikatakan oleh orang yang selalu disebutnya ustadz itu atau rujukan kitab-kitab yang disebutkan ustadznya.
Kata-kataku sepertinya memecah kesadarannya, perlahan kulihat dia mulai mengangguk sambil sesekali memegang kepalanya dan melepaskan penutup kepala yang selalu dikenakannya ketika berada di luar rumahnya.
“Ada apa?” kataku.
Dia hanya menggelengkan kepala mengisyaratkan kalau dia baik-baik saja. Hanya saja tetap jelas bahwa dia kini mulai kebingungan dengan doktrin-doktrin yang didapatinya sebelumnya. Saya masih saja terus menjejalinya dengan banyak pertanyaan. Dia hanya mencoba berdalih dengan bicara bahwa itu bukan kewenangan manusia untuk menjawabnya. Sambil membawakan riwayat-riwayat dan menyebutkan nama-nama dalam pengejaan bahasa arab kepadaku. Aku tak terlalu mengenal nama-nama yang dia maksud. Jadi kubiarkan saja mulutnya menyebut nama-nama itu tanpa bisa menimpalinya. Tapi aku mencatat baik-baik nama-nama yang disebutkannya.
Sebenarnya Qanur mulai mencoba mengikuti alur pikirku untuk menjadikan setiap apa yang diyakini sebelumnya sebagai bentuk kecurigaan. Mencurigai bahwa itu adalah sebuah doktrin agama yang menjadikan manusia terbelenggu menurutku. Manusia terbelenggu lantaran harus mengikuti perintah yang katanya dari Tuhan meskipun mereka tak tahu maksud dan tujuannya.
Aku bertanya pada Qanur “Apakah tujuan Tuhan menciptakan manusia yang mana sebelumnya telah menciptakan Dinosaurus lalu membinasakannya? Kenapa Tuhan tidak memberikan kemampuan pikir kepada Dinosaurus untuk mengurus Bumi ini yang mana postur tubuh mereka benar-benar lebih besar dari manusia?”
Qanur hanya terdiam kembali. Dia tak berani menatap mataku. Dia hanya selalu mengulang untuk menhgajakku datang ke pengajiannya dan mencoba meyakinkanku bahwa itu akan dijawab oleh orang yang jadi ustadznya. Aku tersenyum dan mengabaikannya. Sepertinya aku mulai meremehkan ustadz yang dimaksudnya itu. Qanur tahu aku meremehkan dan sepertinya dia tersinggung.
Meskipun aku berulang kali meminta maaf atas sikapku itu. Tapi sepertinya anggapan bahwa aku telah mengalami kekacauan beragama lantaran menanyakan beberapa hal yang menurutnya tak bisa ditanyakan karena hanya melecehkan Tuhan membuatnya benar-benar tak tahan lagi dan tak pernah memunculkan diri lagi di hadapanku.
Bahkan kontak Qanur sangat sulit kuhubungi lagi, meskipun berkali-kali panggilanku coba kutembuskan pada telepon genggam miliknya. Akhirnya aku memilih untuk membiarkannya saja, meskipun ada beban melihat Qanur begitu sulit menerima perbedaan pandangan orang lain dengannya. Dia sepertinya amat terpesona dengan oran yang disebutnya ustadz sehingga tak berani menanyakan apa yang mengganggu pikirannya.
Itulah Qanur yang beberapa waktu kemudian malahan datang kepadaku untuk mengajakku berdikusi tentang apa yang disaksikannya dengan keluarganya yang ‘bissu’. Berawal dari keluarganya, Qanur nyatanya menjadi temanku yang bisa menggantikan Jose sebagai tempatku membagi beban pikiran tentang entitas Tuhan itu. Qanur kini bisa memahamiku yang selalu tampak dahaga sebelum meneguk anggur pengetahuan sebagai jawaban atas pertanyaanku yang mendesak masuk di kepalaku.
Dia kini meminta tinggal bersamaku karena ingin lebih intens berdiskusi denganku. Sepertinya sebuah pertanyaanku di pertemuan terakhir kami yang dulu mengenai benaknya dan membuatnya berpikir lebih jauh tentang entitas Tuhan itu. Bukan Tuhan yang dia pikir selama ini yang begitu ekslusif dan hanya dimiliki oleh golongan umat tertentu.
.............
Aku menelepon Jose, menceritakan tentang Qanur yang bisa mengganti posisinya untuk mendengarkan ceritaku dan berdebat denganku. Jose senang mendengarnya dan menyatakan kalau dia akan sangat senang jika berkesempatan bertemu Qanur. Aku menjajikannya bahwa akan datang ke kampumg halamannya bersama Qanur di akhir tahun ini. Dia gembira dan berjanji menyiapkan segala yang kami butuhkan disana nantinya.
“Aku akan menyiapkan perjalanan wisata untukmu jika benar sudah sampai disini.
Aku akan mengambil cutiku dari sekolah supaya bisa menemanimu disini.
-Jose-“
Isi pesan yang dikirimkan Jose sesaat telepon kumatikan.
Aku tak membalasnya. Ternyata telepon genggamku tak bisa mengirim pesan lantaran pulsa yang kumiliki habis setelah kupakai menelpon Jose. Jelasnya, itu membuat kami semangat untuk berkunjung ke kampung halamannya nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.