Kamis, 01 Januari 2015

Harga BBM Turun, Politik Pencitraankah?

Tepat memasuki 1 januari 2015 harga BBM turun. Meskipun tak kembali ke harga sebelum naiknya yakni Rp. 6.500.
Tentu saja tak ada aksi demonstrasi, lantaran harganya diturunkan. Tapi ada yang bilang bahwa itu adalah hasil perjuangan mereka yang melakukan demonstrasi dua bulan terakhir. Apa 'iya' demikian? Ataukah memang tanpa aksi demontsrasi itu pemerintah memang sudah merencanakan ini dan mempersiapkannya?
Apapun hasil analisanya, poin penting yang harus diambil adalah bahwa apa yang ditakuykan oleh para demonstran yang menolak harga BBM naik ternyata tidak benar-benar terjadi. Meskipun memang ada keikutsertaan harga barang dengan naiknya harga BBM ketika itu. Tapi tidak ada rakyat yang sampai tercekik dan sengsara sebagaimana kekhawatiran para demonstran yang karenanya sampai menghalalkan tindakan anarkis.
Apa yang disajikan oleh demonstran pada waktu itu justru malah membuat suasana jadi mencekam. Hampur setiap hari dalam seminggu jalan raya jadi padat dan macet yang membuat pengguna jalan sengsara. Fasilitas umum banya dicoreyi bahkan dirusak. Bentrokan terjadi antara demonstran dengan warga dan aparat. Bahkan parahnya sampai trrjadi pemukulan membabi buta dan korban tewas.
Hal yang membuatnya ironis adalah yang melakukan aksi demonstrasi itu adalah mengaku kaum intelektual. Apalagi menyandang gelar mahasiswa yang katanya kritis. Namun yang terjadi adalah malahan tindakan yang diambil oleh mereka adalah hanya berasal dari asumsi perasaan kekhawatiran tentang efek naiknya harga BBM. bukan berdasarkan asumsi bahwa itu adalah kebijakan yang memang 'urgent' untuk diambil. Dan mereka tak mencoba melihat upaya yang ditawarkan pemerintah waktu itu terhadap permasalahan kenaikan harga. Seakan ada kebencian yang begitu kuat bahwa apa yang dilakukan oemerintah terhadap harga BBM adalah sesuatu yang salah dan harus dilawan.
Hanya saja, beberapa bulan ini sudah terbukti bahwa kondisi perekonomian masyarakat hampir dikata tetap stabil meskipun diawal kenaikan harga BBM memang sedikit mengalami goncangan. Tapi apa yang dihasilkan dari kebijakan itu pun ikut terbukti.
1. Negara bisa menghemat anggaran yang nilainya trilliunan rupiah dengan memangkas subsidi BBM sehingga tak jadi meminjam untuk menambah pos anggaran perubahan yang memang untuk anggaran subsidi BBM sudah habis.
2. Pemerintah telah mengupayakan untuk pengalokasian anggaran subsidi untuk sektor produktif ke berbagai wilayah negara yang tidak didominasi di daerah jawa saja.
3. Dipangkasnya subsidi membuat beberapa mafia migas kehilangan ladang rupiah lantaran tak lagi terjadi divaritas harga BBM dengan negara-negara tetangga sehingga mereka yang ingin menyelundupkan BBM ke luar negeri justru akan mengalami kerugian oada biaya distribusi lantaran harga memang hampir sama dan selisihnya tinggal sedikit.
3. Industri-industri dan mobil mewah orang kaya akhirnya banyak yang lebih memilih memakai pertamax dimaan harganya tidak jauh berbeda dengan harga premium. Bahkan sudah mulai banyak masyarakat yang ikut menggunakan pertamax. Hal itu akan cukup menarik dimana masyarakat bisa distimulus untuk secara perlahan beralih ke pertamax dan meninggalkan pemakaian premium yang ternyata memang menghabiskan 'cost production' yang cukup besar hanya untuk mengolah kembali dengan menurunkan oktannya ke premium.
4. Dalam suasana naiknya harga BBM membuat masyarakat sadar betapa pentingnya energi bagi kemajuan bangsa. Dan melihat cadngan energi BBM kita yang tidak banyak membuat pemerintah dipaksa memikirkan solusi-solusi jangka panjabg dati hanya sekedar menyenangkan hati masyarakat untuk tidak menaikkan BBM.
Dari beberapa bukti yang ada seharusnya kita senua sadar bahwa apa yang dilakukan pemerintah hari ini adalah upaya terbaik unyuk menyelamatkan negara dalam proses jangka panjang. Karena akan lebih mudah pemerintah mengambil keputusan untuk tidak memangkas subsidi BBM pada waktu itu dan menjaga citra dirinya di mata nasyarakat. Tapi sekali lagi itu adalah 'urgent' dan tak pilihan lain yang dianggap lebih baik dari kebijakan memangkas subsidi.
Namun yang masih aneh sampai hari ini adalah masih adanya sebagian masyarakat yang menganggap bahwa "Turunnya harga BBM adalah pencitraan dari Jokowi". (Ini sangat lucu).
Bagi penulis, jika Jokowi dari awal mau pencitraan dengan memainkan harga BBM maka seharusnya dia tak perlu memangkas subsidi sehingga BBM naik sebagaimana yabg diinginkan masyarakat ketika itu. Lagi pula, apa iya seorang yang niatnya dari awal melakukan pencitraan harus memulai dengan menghacurkan 'citranya' lebih dulu. Bukankah ketika Jokowi memutuskan menaikkan BBM membuat banyak amsyarakat pendukungnya kecewa? Tapi itulah Jokowi. Dia harus berani menelan pil pahit itu untuk rencana jangka panjang bagi negara. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bacalah, kemudian menuliskannya kembali. Buatlah sesuatu untuk dikenang.